KEBATILAN MANHAJ DAKWAH HIZBIYAH
Ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu ke Yaman, beliau bersabda:
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum dari kalangan ahlul kitab, maka jadikanlah awal yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah kalimat laa ilaaha illallah [1] -dalam satu riwayat: (awal yang engkau dakwahkan adalah) agar mereka mentauhidkan Allah-. Bila mereka menaatimu dalam perkara itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Bila mereka menaatimu dalam perkara itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat yang wajib) yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu diberikan kepada orang-orang fuqara di kalangan mereka. Bila mereka menaatimu dalam perkara itu, maka hati-hatilah engkau dari harta-harta mereka yang berharga /terbaik. Dan hati-hatilah dari doanya orang yang terdzalimi, karena tidak ada hijab/ penghalang antara doanya itu dengan Allah.”
Hadits yang berbicara tentang manhaj dakwah ilallah (metode berdakwah/ mengajak manusia kepada Allah Subhanahu wa ta’ala) di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (dengan Fath Syarhu Shahih Al-Bukhari) no. 1395 dan juga dalam beberapa tempat lain pada kitab Shahih-nya. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (dengan Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim) no. 121, 122, 123. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 2435 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 1584 serta selain mereka.
Hadits di atas menerangkan tahapan-tahapan yang wajib ditempuh seorang da’i yang mengajak manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla. Pertama kali yang wajib dia dakwahkan adalah permasalahan tauhid dan mengesakan Allah Azza wa Jalla saja dalam peribadatan, menjauhi kesyirikan yang kecil maupun yang besar, sehingga yang harus ia dakwahkan adalah mengajak manusia kepada syahadah laa ilaaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah. Yang dimaukan dengan syahadah ini adalah segala macam ibadah itu merupakan hak yang hanya pantas diberikan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata. Tidak ada sesuatu pun yang pantas diibadahi walau sedikit, baik dia malaikat yang dekat maupun nabi yang diutus, baik dia seorang lelaki yang shalih, ataupun batu, pohon, mentari maupun rembulan. Sehingga tidak ada yang diseru kecuali hanya Allah Azza wa Jalla saja, tidak ada yang dimintai pertolongan ketika bahaya maupun dalam keadaan aman kecuali hanya Dia, dan tidak ada tempat seorang hamba bertawakal kecuali hanya kepada-Nya, dan tidak ada yang ditakuti dan ditujukan harapan kecuali Dia. Dengan demikian, syahadah ini tidak hanya sekedar ucapan lisan akan tetapi harus mengetahui maknanya, mengamalkan kandungannya, dan harus menyempurnakan syarat-syaratnya.
Adapun syahadah Muhammad Rasu-lullah, tidak pula sekedar diucapkan lisan pula tapi harus mengetahui maknanya dengan membenarkan apa yang dikabarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, menaati apa yang beliau perintahkan, menjauhi apa yang beliau larang dan cerca, serta beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan apa yang beliau syariatkan, bukan dengan hawa nafsu dan bukan pula dengan mengada-ada. (Mudzakkiratul Hadits An-Nabawi fil ‘Akidah wal Ittiba’, Syaikh Muhaddits Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, hal. 9-10)
Dakwah adalah Ibadah
Mengajak manusia ke jalan Allah Azza wa Jalla merupakan ibadah yang agung yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dia Yang Maha Suci berfirman:
“Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang mengajak (manusia) kepada Allah dan dia beramal shalih dan menyatakan; sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah Subhanahu wa ta’ala).” (Fushshilat: 33)
Orang yang berdakwah kepada Allah Azza wa Jalla merupakan pewaris para nabi dalam tugas-tugas mereka, sebagaimana Allah Azza wa Jalla menyatakan hal ini kepada penutup dan pemimpin para nabi:
“Katakanlah (wahai Nabi): ‘Inilah jalanku, aku menyeru (manusia) kepada Allah di atas ilmu, demikian pula orang yang mengikutiku (dari kalangan para da’i ilallah). Maha suci Allah dan aku tidaklah termasuk orang-orang musyrik’.”
Perlu diketahui, bahwa diterima atau tidaknya ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, apapun bentuk dan macam ibadah tersebut, tergantung dua syarat: pertama, ikhlas karena Allah Azza wa Jalla saja; kedua, mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bila terkumpul dua perkara ini dalam satu amalan, barulah amalan tersebut dikatakan sebagai amal shalih yang Allah Azza wa Jalla nyatakan dalam firman-Nya:
“…maka siapa yang berharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia melakukan amal shalih dan janganlah ia menyekutukan Rabbnya dalam peribadatan dengan seorang/ satu makhluk pun.” (Al-Kahfi: 110)
Orang yang meninggalkan keikhlasan dalam beribadah maka ia musyrik, sedangkan orang yang tidak mau mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia mubtadi’ (ahlul bid’ah).
Bila telah diketahui bahwa dakwah merupakan ibadah, maka seorang da’i harus memperhatikan dua syarat tersebut ketika ia menunaikan tugas dakwahnya sehingga amalnya tersebut teranggap sebagai amal shalih yang diterima. (Al-Hujajul Qawiyyah ‘ala anna Wasa`ilad Da’wah Tauqifiyyah, Asy-Syaikh Dr. Abdus Salam bin Barjas, hal. 18)
Mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (Mutaba’ah terhadap Sunnah Beliau) adalah Jalan Keselamatan
Orang yang berdakwah kepada Allah Azza wa Jalla mungkin bisa ikhlas dalam dakwahnya, semata-mata karena Allah Azza wa Jalla, tidak mencampurinya dengan niatan/ tujuan lain. Namun metode dan tata caranya, mereka mengada-adakan sendiri, tidak mengikuti dan mencontoh praktek dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal mengikuti beliau merupakan jalan keselamatan, karena Allah Azza wa Jalla telah meme-rintahkan:
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepada kalian maka ambillah. Dan apa yang beliau larang kalian darinya maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata: “Ulama kita yang telah terdahulu menya-takan: berpegang teguh dengan As-Sunnah itu adalah keselamatan.” (Diriwayatkan oleh Al-Lalikai, no. 15, 136, 137)
Al-Imam Malik rahimahullah berkata: “As-Sunnah adalah safinah (perahu) Nuh, siapa yang menaikinya dia akan selamat dan siapa yang tertinggal (tidak menaikinya) dia akan tenggelam.” (Tarikh Baghdad 7/336, Tarikh Dimasyq 14/9, sebagaimana dalam Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur fil I’tiqad was Sunnah, hal. 106)
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggal di atas Islam dan As-Sunnah maka ia meninggal di atas kebaikan seluruhnya.” (Al-Manaqib, Ibnul Jauzi, hal. 180, sebagaimana dalam Lammud Durril Mantsur, hal. 106)
Manhaj Dakwah ilallah itu Tauqifiyyah [2] di atas Manhaj Nubuwwah
Dari keterangan yang telah lewat dapat kita pahami bahwa seorang da’i tidak boleh mereka-reka sendiri cara dakwahnya. Ia harus mencontoh metode/ cara atau manhaj dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bila ia membuat jalan/ cara baru dalam berdakwah maka sama artinya ia menganggap bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam kurang dalam penyampaian risalah dan beliau tidak pandai menggunakan wasilah (sarana) yang akan memberi banyak faedah dan pengaruh. (ta’liq terhadap Al-Ajwibatul Mufidah ‘an As`ilah Al-Manahijil Jadidah, Asy-Syaikh Jamal bin Al-Furaihan Al-Haritsi hal. 43)
Dia menganggap ada yang kurang dari agama yang dibawa oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sementara Allah Subhanahu wa ta’ala menyatakan:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
Hadits tentang pengutusan Mu’adz rahimahullah sebagai da’i ke negeri Yaman di atas, secara jelas dan gamblang menunjukkan bahwa manhaj dakwah ilallah itu tauqifiyyah. Karena bila dibolehkan menggunakan metode baru atau metode sendiri dalam berdakwah, niscaya Mu’adz paling pantas untuk melakukannya karena beliau lebih mumpuni daripada ribuan da’i yang ada pada saat ini.
Karena itu, yang pertama kali harus didakwahkan seorang da’i kepada mad’u (obyek dakwah)-nya adalah tauhid, mengajak manusia untuk mengesakan Allah Subhanahu wa ta’ala dan membersihkannya dari segala bentuk kesyirikan. Ini merupakan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam baik secara amalan (‘amalan) maupun pengajaran (ta’liman). Selama 10 tahun tinggal di Makkah, dakwah beliau berpusat untuk mengajak kaumnya kepada tauhid/ ibadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Adapun secara ta’lim (pengajaran) sebagaimana tersebut dalam hadits di atas:
“…maka jadikanlah awal yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah kalimat laa ilaaha illallah [3] -dalam satu riwayat: (awal yang engkau dakwahkan adalah) agar mereka mentauhidkan Allah-. Bila mereka menaatimu dalam perkara itu….”
Dan demikianlah keadaan para rasul dalam berdakwah. Tidak ada awal yang mereka perintahkan dan serukan kepada manusia kecuali tauhid. (At-Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam, Al-Imam Al-Albani, hal. 5-6)
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah bersama para shahabatnya, tegaklah daulah Islamiyyah di atas dukungan para shahabat Muhajirin dan Anshar. Dan di atas asas/pondasi tauhid, perhatian beliau kepada tauhid semakin bertambah. Sementara ayat-ayat Al-Qur`an yang berbicara tentang tauhid terus turun. Demikian pula bimbingan kenabian seputar masalah tauhid juga menyebar (di antara manusia). Namun beliau tidak merasa cukup dengan semua itu. Bahkan beliau membai’at para pembesar/tokoh shahabat untuk tidak menyekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala. Beliau mengirim surat ke berbagai penjuru negeri dan kepada para penguasa/ raja untuk mengajak mereka mentauhidkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Beliau mempersiapkan pasukan jihad untuk meninggikan kalimat tauhid, dan sebelum mengobarkan peperangan beliau membimbing para panglima perang berikut tentaranya untuk mengajak musuh kepada tauhid. Beliau mengirim da’i-da’i ke berbagai negeri untuk mengajak kepada tauhid, sebagaimana Mu’adz diutus ke negeri Yaman dan sebagainya. (secara ringkas dari Manhajul Anbiya‘ fid Da’wah ilallah fihil Hikmah wal ‘Aql, Syaikhul Muhaddits Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, hal. 81-87)
Asy-Syaikh Al-Albani t, tokoh terkemuka dalam bidang hadits (imam ahli hadits) di jaman ini, berkata: “Rasul kita Shalallahu ‘alaihi wa sallam merupakan uswah hasanah (teladan yang baik) dalam mengobati problema kaum muslimin di jaman kita ini, dan demikian pula di setiap waktu dan masa.
Hal itu menuntut kita untuk memulai dengan apa yang Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wa sallam mulai, yaitu pertama kali: memperbaiki akidah/ keyakinan yang rusak dari kaum muslimin; kedua: memperbaiki ibadah mereka, dan ketiga: suluk (adab/ akhlak) mereka. Namun urutan ini tidaklah saya maksudkan untuk memisahkan perkara yang awal dari perkara yang lainnya. Sehingga yang didakwahkan hanyalah perkara yang paling penting (sementara pelaksanaan perkara lain tidak diacuhkan), kemudian yang penting, kemudian yang di bawahnya. Namun yang aku inginkan di sini hanyalah agar para da’i mementingkan dan memperhatikan dengan sangat perkara akidah.” (At-Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam, hal. 5)
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah seorang ulama terkemuka dan juga mufti (ahli fatwa) di negeri-negeri selatan Kerajaan Saudi ‘Arabia menyebutkan tentang manhaj dakwah para rasul yang tersebut dalam Al-Qur`an, di mana para rasul ini mengawali dakwah mereka dengan tiga perkara yang merupakan asas akidah:
Pertama: Tauhid, yaitu menyerahkan peribadatan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang Mahatunggal, tidak kepada selainnya berupa sesembahan-sesembahan yang diada-adakan oleh manusia.
Kedua: Iman kepada hari akhir dan hal-hal yang tercakup di dalamnya, berupa hisab, jaza‘ (balasan), surga dengan berbagai kenikmatannya, dan neraka dengan berbagai adzabnya.
Ketiga: Iman kepada risalah yang diturunkan dari langit dan mengimani bahwa para rasul seluruhnya membimbing kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan kepada jalan-Nya. Pembimbing itu bukanlah apa yang dibuat-buat oleh nenek moyang, bukan yang diikrarkan oleh tukang ramal dan bukan pula yang dianut oleh masyarakat umum. Dalil dari tiga perkara ini terdapat dalam kisah-kisah yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan untuk kita dalam surat-surat Makkiyah (yang diturunkan di Makkah) yang berisi pembicaraan antara para rasul tersebut dengan umat mereka, dan juga penetapan Al-Qur‘an terhadap asas ini serta penunjukan dalil aqliyyah, kauniyyah, dan selainnya.” (Al-Mauridul ‘Udzb Az-Zulal, hal. 61)
Asy-Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim berkata: “Adapun dalam masalah materi dakwah, maka yang awal disampaikan kepada mad’u adalah perbaikan akidah. Karena akidah ini merupakan asas dalam amalan, sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika tinggal di Makkah. Setelah itu perkara yang paling penting, kemudian perkara yang penting berikutnya berupa hal yang wajib diamalkan dengan kesepakatan kaum muslimin, atau perkara yang wajib dijauhi. Dan dalam berdakwah, seorang da’i jangan disibukkan dengan perkara yang mandub (sunnah) sehingga yang wajib malah terlalaikan. Dan jangan sibuk dengan memberi peringatan dari yang makruh sementara yang haram terabaikan…” (Dharuratud Da’wah Ilallah wa Atsaruha, hal. 53)
Dalam manhaj dakwahnya kepada manusia seluruhnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dengan metode yang jelas, gamblang, mudah dan selaras dengan fitrah manusia. Beliau r mulai dakwahnya dengan mengajak manusia beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai sesembahan yang diibadahi, tidak ada sekutu baginya.
“Dan ilallah kalian adalah ilaah yang satu, tidak ada ilaah kecuali Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)
“Katakanlah (wahai Nabi): Aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwasanya ilaah kalian itu adalah ilaah yang satu. Maka siapa yang berharap bertemu dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal dengan amalan shalih dan janganlah ia menyekutukan dalam peribadatan kepada Rabbnya dengan seorang pun.” (Al-Kahfi: 110) (Manhajul Qur`an fid Da’wah ilal Iman, Dr. ‘Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi, guru besar Universitas Islam Madinah dan pengajar di Masjid Nabawi, hal. 10-11)
Wasilah Dakwah pun Tauqifiyyah
Sebagaimana manhaj dakwah itu sifatnya tauqifiyyah, demikian pula wasilah (sarana) yang digunakan dalam berdakwah, sifatnya tauqifiyyah di atas manhaj nubuwwah bukan ijtihadiyyah. Sehingga tidak halal bagi seseorang untuk membuat cara baru yang tidak diizinkan oleh Allah dan tidak dilaksanakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau, dikarenakan:
1. Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini.
2. Allah Azza wa Jalla mewajibkan untuk menaati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, di mana Allah menggandengkan kebahagiaan hamba dengan menaatinya dan kesengsaraan hamba bila mendurhakainya.
“Dan siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya maka mereka itu bersama orang-orang yang Allah berikan kenikmatan kepada mereka dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, mereka itulah sebaik-baik teman.” (An-Nisa`: 69)
“Dan siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka baginya neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (Al-Jin: 23)
3. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan semua kebaikan dan telah melarang dari semua kejelekan, beliau menghalalkan semua yang baik dan mengharamkan yang buruk.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun kecuali wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang dia ketahui untuk mereka dan melarang mereka dari kejelekan yang dia ketahui untuk mereka.” (HR. Muslim dengan Al-Minhaj no. 4753)
Dari beberapa alasan di atas, kita pastikan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan kepada umat beliau wasilah-wasilah dakwah, baik dengan ucapan atau dengan perbuatan, atau dengan kedua-duanya. Karena bagaimana mungkin Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan adab buang hajat dan semisalnya sementara wasilah-wasilah dakwah yang pilar Islam tidak akan tegak kecuali dengannya, lantas beliau tinggalkan penjelasannya? Keterangan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang wasilah tersebut merupakan jalan syar’i yang dapat membimbing orang yang sesat dan memberi hidayah kepada orang yang tidak mengetahui jalan. Dengan jalan inilah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Dan jalan ini pula yang ditempuh oleh para shahabat sepeninggal beliau r, demikian pula orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan. Maka apa yang menjadikan baik perkara mereka, itu pula yang menjadikan baik perkara kita, sebagaimana kata Al-Imam Malik t: “Tidak akan baik perkara/ keadaan orang-orang yang akhir dari umat ini kecuali dengan apa yang membaikkan generasi awalnya.” (secara ringkas dari Al-Hujajul Qawiyyah ‘ala anna Wasa`ilad Da’wah Tauqifiyyah, hal. 45-60)
Bila demikian halnya, mengapa para da‘i itu mengambil wasilah yang tidak ditetapkan oleh syariat, sementara apa yang ditetapkan syariat itu mencukupi untuk mencapai tujuan dakwah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, yaitu membuat taubat orang yang bermaksiat dan memberi hidayah kepada orang yang sesat?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang sekumpulan orang yang berkumpul untuk melakukan dosa besar seperti membunuh jiwa, membegal di jalanan, mencuri, minum khamr dan selainnya. Kemudian ada seorang syaikh yang dikenal dengan kebaikan dan mengikuti As-Sunnah ingin mencegah mereka dari perbuatan dosa tersebut. Dan baginya tidak ada cara untuk merealisasikan tujuan tersebut kecuali mengumpulkan mereka untuk memperdengarkan nyanyian-nyanyian penyanyi dengan syair-syair yang mubah, yang didendangkan dan dilantunkan disertai tabuhan rebana yang tidak memakai gemerincing. Ketika Syaikh tersebut melakukan hal ini, banyak di antara mereka yang bertaubat. Orang yang tadinya tidak shalat, tidak menunaikan zakat, bahkan ia mencuri, akhirnya taubat. Ia menjaga diri dari yang syubhat, menunaikan kewajiban agama dan menjauhi perkara yang diharamkan. Apakah cara dakwah yang dilakukan oleh Syaikh ini dibolehkan karena adanya maslahat yang diperoleh, sementara memang tidak mungkin mendakwahi mereka kecuali dengan cara seperti ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan jawaban yang panjang. Beliau menegaskan kesempurnaan agama ini dan menekankan untuk berpegang teguh kepada Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Beliau mene-rangkan bahwa syariat itu tidaklah melalaikan satu wasilahpun dari wasilah-wasilah dakwah yang dengannya seorang yang sesat bisa mendapatkan hidayah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian beliau rahimahullah menyatakan: “Syaikh yang disebutkan ingin mengajak orang-orang yang berkumpul untuk melakukan dosa besar itu bertaubat, namun tidak memungkinkan bagi si Syaikh merealisasikan tujuan tersebut kecuali dengan jalan/ cara bid’ah. Hal ini menunjukkan Syaikh tersebut jahil/ tidak mengetahui jalan atau cara-cara syar’i yang akan membuat ahlul maksiat bertaubat, atau Syaikh tersebut orang yang lemah yang tidak mampu untuk melaksanakan cara yang syar’i tersebut. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat dan tabi’in, telah mendakwahi orang-orang yang lebih jelek dari mereka (para pelaku dosa besar yang berkumpul itu). Di mana mereka (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, dan tabi’in) menghadapi orang-orang kafir, fasik dan ahli maksiat dengan cara-cara syar’i, yang dengannya Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kecukupan sehingga tidak melakukan cara-cara bid’ah. Tidak boleh dikatakan bahwa dalam cara-cara syar’i yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya tidak ada tata cara yang bisa membuat pelaku maksiat bertaubat. Karena telah diketahui secara pasti tanpa perlu pembuktian dan diketahui dari penukilan yang mutawatir bahwa ada orang-orang kafir, fasik dan pelaku maksiat yang bertaubat dengan cara dakwah yang syar’i. Sementara tidak ada yang dapat menghitung jumlah mereka yang bertaubat ini kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala, dan mereka ini tidaklah dikumpul-kan dengan cara bid’ah (seperti yang dilakukan syaikh tersebut, –pent.) Bahkan para shahabat Muhajirin dan Anshar dari kalangan as-sabiqunal awwalun, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan –sementara mereka adalah sebaik-baik wali Allah Subhanahu wa ta’ala yang bertak-wa dari kalangan umat ini–. Mereka semuanya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan cara dakwah yang syar’i bukan dengan cara bid’ah.
Dan di penjuru negeri kaum muslimin dan daerah-daerah mereka, baik dahulu maupun sekarang, dipenuhi orang-orang yang bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan takut kepada-Nya, dan mereka melaku-kan apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala cintai dan ridhai dengan cara dakwah yang syar’i, bukan dengan cara-cara bid’ah. Dengan demikian tidak mungkin dikatakan bahwa pelaku maksiat tidak dapat bertaubat kecuali dengan cara yang bid’ah tersebut.
Bahkan yang semestinya dikatakan adalah bahwa Syaikh tersebut jahil tentang cara-cara dakwah yang syar’i, tidak mampu mewujudkannya, tidak adanya ilmu Al-Kitab dan As-Sunnah pada dirinya yang bisa ia sampaikan dan perdengarkan kepada mereka, berupa perkara-perkara yang akan menjadikan Allah Subhanahu wa ta’ala mengampuni mereka. Sehingga karena kejahilan dan kelemahan tersebut, si Syaikh berpaling dari cara yang syar’i menuju cara yang bid’ah. Bisa jadi tujuannya baik, karena ia seorang yang beragama dan bisa jadi bertujuan meraih kepemimpinan di hadapan mereka dan mengambil harta mereka secara batil…” (Majmu’ Al-Fatawa, 11/620-624)
Kebatilan Manhaj Dakwah Hizbiyyah
Dakwah hizbiyyah yang mengajak manusia kepada kelompok, partai, atau organisasinya tanpa didasari Al-Qur‘an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-salafus shalih, seperti dakwah Firqah Ikhwanul Muslimin, Firqah Jama’atut Tabligh, Firqah Jama’atul Jihad, Firqah Hizbut Tahrir dan firqah-firqah yang lain, merupakan dakwah yang batil karena menyelisihi manhaj nubuwwah. Mereka tidak mem-perhatikan dakwah yang bertujuan me-murnikan akidah/ tauhid. Bahkan tauhid merupakan perkara yang di-abaikan, atau mereka simpangkan menurut selera hawa nafsu mereka. Sehingga banyak anggota mereka yang bertahun-tahun di kelompok tersebut tidak mengerti mana tauhid mana syirik, bahkan ia berkubang dalam kesyirikan.
Belum lagi wasilah yang mereka gunakan dalam berdakwah dengan memakai sarana bid’ah, maksiat dan kemungkaran seperti dengan menggunakan musik, nyanyian, gamelan, sandiwara, masuk ke parlemen dan sebagainya, yang ini jelas menyimpang dari wasilah yang syar’i. Orang yang berbuat seperti ini jelas tidak akan selamat, bahkan ia akan jatuh ke jurang kebinasaan. Karena apa yang ia ada-adakan itu adalah bid’ah, maksiat dan kemungkaran yang diharamkan dalam agama ini.
Firqah Ikhwanul Muslimin sebagai permisalan, mereka memusatkan dakwah mereka untuk mendirikan daulah (negara) dan mengembalikan khilafah sebagaimana dikatakan oleh muassis (pendiri)-nya, Hasan Al-Banna, dalam Majmu’atur Rasail-nya (hal. 178): “Islam adalah agama, daulah, mushaf dan pedang.” Setelahnya ia mengucapkan beberapa kalimat, kemudian menyatakan: “Karena itulah Ikhwanul Muslimun menjadikan fikrah khilafah dan upaya untuk mengembalikan khilafah tersebut sebagai pokok dalam manhaj mereka.”
Dan karena itulah mereka ramai-ramai membuat partai politik untuk bisa masuk ke parlemen, dengan harapan bisa memperjuangkan Islam versi mereka lewat lembaga tersebut. Sebagaimana bisa kita saksikan perbuatan yang bid’ah dan mungkar ini di seluruh negeri kaum muslimin, tidak terlepas pula di negeri kita ini.
Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata membantah ucapan Hasan Al-Banna di atas: “Ungkapan/ pernyataan seperti ini –walaupun mengan-dung kebenaran, dalam artian agama memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya daulah yang melindunginya dan menegakkan hukum-hukum Allah Subhanahu wa ta’ala di dalamnya– namun kita tidaklah dibebani untuk berdakwah guna mendirikan daulah. Yang dibebankan kepada kita hanyalah berdakwah mengajak manusia kepada agama yang haq, yang tegak di atas tauhid, yang merupakan makna laa ilaaha illallah, di mana tidaklah para rasul itu diutus, tidaklah kitab-kitab suci diturunkan dan pedang-pedang dihunuskan kecuali karena hendak menetapkan tauhid ini dan mengamal-kannya.
Tidaklah surga dan neraka diciptakan melainkan karena hendak memberikan balasan kepada orang-orang yang mengamalkan tauhid dan membalas orang-orang yang menolak tauhid. Inilah dakwah para rasul, dan tidak diketahui ada seorang nabi pun atau seorang rasul pun yang mengajak/ berdakwah guna mendirikan khilafah. Allah Azza wa Jalla telah mengisahkan berita-berita mereka kepada kita, dan menjelaskan jalan mereka kepada kita, dan memerin-tahkan kita untuk mencontoh jejak mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Mereka itulah orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah, maka contohlah oleh kalian petunjuk mereka.” (Al-An’am: 90)
Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan menerima dakwah yang tidak ditegakkan di atas asas yang dijalani oleh para nabi, dari rasul yang awal Nuh u sampai rasul yang akhir dan penutup para nabi, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Mauridul ‘Udzb Az-Zulal, hal. 185-186)
Firqah Jama’atut Tabligh contoh yang kedua. Mereka memiliki manhaj tersendiri dalam berdakwah dan memiliki enam ushul, asas dan pokok sebagai rujukan yang disebutkan al-ushulus sittah. Salah satunya adalah merealisasikan kalimat thayyibah, Laa Ilaaha Illallah Muhammadan Rasulullah (tauhid). Namun tauhid yang mereka maukan di sini adalah pembicaraan seputar tauhid rububiyyah, dan meninggalkan tauhid uluhiyyah serta tauhid asma wash shifat. Karena mereka memiliki pegangan yang pokok dari metode jamaah mereka dalam menjalankan manhajnya, yaitu segala sesuatu yang menyebabkan orang lari, menyebabkan perpecahan dan perselisihan di antara dua orang, harus dihindarkan. Sehingga ketika berbicara tauhid mereka hanya memen-tingkan rububiyyah, karena akan diterima oleh semua kalangan, bahkan oleh orang kafir sekalipun (bahkan Iblis pun menerima tauhid ini dengan pengakuannya bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur).
Sedangkan tauhid uluhiyyah/ ibadah dan asma wa shifat, ditinggalkan karena akan membuat perpecahan dan perselisihan (menurut mereka).” (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, Abu Ibrahim bin Sulthan Al-’Adnani, hal. 4-5)
Firqah Hizbut Tahrir dengan teriakannya hendak mengembalikan khilafah Islamiyyah guna menegakkan hukum dan syariat Islam, mereka pun mementingkan terjun ke dunia politik dengan membentuk partai politik demi merebut dan meraih kekuasaan, walaupun yang berkuasa itu pemerintah kaum muslimin.
Hal ini karena Hizbut Tahrir memang sebuah partai politik, walaupun katanya berasaskan akidah Islam (dalam tanda petik). Hal ini dikemukakan dalam buku Hizbut Tahrir yang berjudul The Method to Re-Establish the Khilafah oleh Syabab Hizbut Tahrir Inggris dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh pengikut Hizbut Tahrir di Indonesia dengan judul Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah dalam bab kelima sub bab Pembentukan Partai Politik. Mereka menyatakan: “…perkara utama umat saat ini adalah reunifikasi negeri-negeri Islam ke dalam satu pemerintahan Islam dengan kembali tegaknya Negara Khilafah.
Akar dari segala kemungkaran yang menjadi sumber segala bentuk kemungkaran yang lain adalah kekufuran berikut sistem kufurnya, sementara itu pangkal dari segala kemakrufan yang akan mengembalikan setiap bentuk kemakrufan dan menghidupkan Din al-Islam secara total adalah negara khilafah. Negara Khilafahlah yang akan kembali menegakkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Karena itu, partai politik itu harus berjuang menegakkan Negara Khilafah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Partai harus melakukan langkah-langkah nyata untuk mengembalikan tegaknya Negara Khilafah. Jadi, partai itu harus memiliki pemahaman dalam masalah, misalnya, sistem pemerin-tahan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan aturan-aturan yang telah Islam turunkan. Tanpa itu semua, partai tidak akan mampu menegakkan negara Khilafah.” (hal. 109)
Kemudian kita bertanya kepada firqah-fiqah yang sesat dan menyesatkan ini: Jika cara, manhaj dan metode tersebut baik dan paling bagus, kenapa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya Radhiyallahu ‘anhuma sebagai generasi terbaik umat ini tidak melakukannya dan tidak memberikan contohnya kepada umat ini? Ataukah kita akan mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya Radhiyallahu ‘anhuma kurang wawasan? Atau contoh dan penjelasan mereka dianggap masih kurang, sehingga kita yang jelek ini perlu menambah-nambahi dengan sesuatu? Ataukah bahkan kita mengatakan bahwa mereka telah berkhianat, karena tidak menyampaikan kepada kita sehingga agama ini perlu penyempurnaan dari sisi kita? Ma’aadzallah, haatuu burhanakum inkuntum shadiqiin! (Allah sajalah tempat berlindung. Datangkanlah dalil kalian, bila kalian memang orang-orang yang benar!) Lihatlah beberapa contoh penyimpangan manhaj dakwah hizbiyyah di atas, di antara sekian banyak contoh yang tidak dapat disebutkan di sini.
.
Belum lagi wasilah yang mereka gunakan untuk berdakwah merupakan wasilah yang bid’ah. Mereka berdakwah dengan mengajak orang untuk dzikir bersama, mendendangkan nasyid, sandiwara, film, musik dan wasilah yang semisalnya, yang tidak pernah dicontohkan oleh Salafus Shalih.
Sesungguhnya dalam perkara yang Allah Subhanahu wa ta’ala perbolehkan telah cukup, sehingga tidak perlu menengok kepada apa-apa yang dilarang dan diharamkan-Nya. Dia telah mencukupkan untuk kita dalam syariat-Nya hal-hal yang kita butuhkan dalam kehidupan ini, berupa agama-Nya yang lurus lagi mudah yang tersampaikan lewat lisan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk mencenderungi setiap kebatilan dan keharaman yang memudharatkan. (Ighatsatul Lahafan, 2/69)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
[1] Tidak ada ilaah (sesembahan) yang berhak/ patut untuk disembah kecuali hanya Allah Subhanahu wa ta’ala
[2] Baku, paten sesuai nash yang ada, tidak diperkenankan berijtihad di dalamnya.
[3] Tidak ada ilaah (sesembahan) yang berhak/ patut untuk disembah kecuali hanya Allah Azza wa Jalla.
—————————————–
Sumber: Majalah Asy Syariah