Katakan Tidak Untuk Pacaran

Katakan Tidak Untuk PacaranKATAKAN TIDAK UNTUK PACARAN

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifa’i

 

وَلَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahram) karena sesungguhnya yang menjadi pihak ketiga adalah setan.”

Hadits dan Takhrijnya

Hadits di atas adalah penggalan dari hadits Jabir bin Samurah radhiyallahuanhu. Secara lengkap, di dalam hadits tersebut Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Berbuat baiklah kepada para sahabatku, kemudian kepada generasi setelahnya, lalu generasi yang berikutnya. Kemudian, akan datang sekelompok orang, salah seorang di antara mereka bersumpah sebelum ia diminta untuk bersumpah. Ia memberikan persaksian sebelum diminta untuk bersaksi. Barang siapa di antara kalian yang menginginkan buhbuhatal jannah (bagian tengah, terluas, dan terindah), berpeganglah ia dengan al-jama’ah, karena setan bersama orang yang sendiri. Ia lebih jauh dari orang yang berdua.

Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahram), karena sesungguhnya yang ketiga adalah setan. Barang siapa di antara kalian yang gembira karena kebaikan yang dilakukannya dan bersedih karena kejelekan yang diperbuatnya, dia adalah seorang mukmin.”

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2/64); ath-Thahawi dalam Syarhul Ma’ani (2/284—285); Ibnu Hibban (no. 2282) tanpa sabda Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam, ‘Barang siapa di antara kalian yang menginginkan….’; ath-Thayalisi (hlm. 7 no. 31); Ahmad (1/177); dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya (1/45, cetakan al-Maktab al-Islami) dari jalur Jarir, dari Abdul Malik bin Umair, dari Jabir bin Samurah radhiyallahuanhu. Beliau bercerita bahwa Umar radhiyallahuanhu pernah menyampaikan khutbah di hadapan kaum muslimin di daerah al-Jabiyah.

Beliau menyatakan, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam pernah berdiri tepat di tempat aku berdiri saat ini, beliau bersabda seperti hadits tadi’.” (as-Silsilah ash-Shahihah, 1/717)

Adapun lafadz di atas adalah lafadz yang dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah. Sanad hadits ini sahih, seluruh perawinya adalah perawi kutubus sittah.

Al-Hakim rahimahullah memberikan isyarat adanya ‘illah (cacat) dalam al-Mustadrak (1/114), namun beliau tidak menyebutkannya. Barangkali yang dimaksud adalah perbincangan tentang Abdul Malik bin Umair mengenai ikhtilath dan perubahan hafalannya. Akan tetapi, hadits di atas sahih.

Hadits ini diriwayatkan dari jalan lain yang dikeluarkan oleh Ahmad (1/114), at-Tirmidzi (3/207), al-Hakim yang menyatakannya sahih, dan al-Baihaqi (7/91), dari jalur Abdullah bin al-Mubarak, dari Muhammad bin Sauqah, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahuanhu. Al-Hakim rahimahullah berkata, “Sahih menurut syarat Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim).” Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah sepakat dengan beliau.

Menjaga Diri dari Godaan Setan

Al-Munawi rahimahullah dan Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan makna hadits di atas, “Sebab, setan akan menggoda dengan membisikkan waswas, membangkitkan gairah hingga akhirnya menjerumuskan mereka berdua dalam perbuatan zina atau perbuatan lainnya yang mengantarkan kepada zina.” (at-Taisir dan Tuhfatul Ahwadzi)

Amr bin Qais al-Mula’i rahimahullah berkata, “Ada tiga hal yang tidak sepantasnya seorang laki-laki merasa mampu menjaga diri dari salah satunya. Pertama, janganlah ia bermajelis dengan orang-orang yang menyimpang karena dikhawatirkan Allah Subhanahuwata’ala akan menghukumnya dengan hati yang berpaling seperti mereka. Kedua, janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita. Ketiga, jika seorang penguasa memanggilmu untuk membacakan al-Qur’an untuknya, jangan engkau lakukan.” (Syarah Ibnu Baththal)

Meskipun ringkas, hadits ini menggambarkan kepada kita secara utuh tentang ajaran Islam yang begitu memerhatikan dan menjaga kaum wanita. Allah Subhanahuwata’ala menciptakan laki-laki memiliki kecenderungan terhadap wanita, pun sebaliknya. Allah Subhanahuwata’ala juga menetapkan hubungan antara dua jenis manusia ini haruslah di atas akad nikah atau kepemilikan budak.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Mu’minun: 5—7)

Apabila telah terjadi akad nikah, hubungan antara seorang lelaki dan seorang wanita menjadi istimewa dan khusus.

“Mereka itu adalah pakaian bagi kalian, kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah: 187)

Sebelum masing-masing menjadi pakaian bagi yang lain dengan akad nikah, seorang wanita adalah ajnabiyah (asing/tidak halal) bagi seorang laki-laki.

Melalui Sabda Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam, Islam Membatasi Pergaulan

Laa haula wala quwwata illa billah. Seolah-olah semua pihak turut mengamini terjadinya pergeseran pandangan: yang haram dianggap halal, yang halal justru dimusuhi. Padahal Allah l telah menutup setiap celah yang dapat menyebabkan seorang hamba tergoda kepada wanita melalui jalan yang haram. Allah l telah memberikan batasan dalam hal pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (an-Nur: 30)

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka.” (an-Nur: 31)

Apa yang akan kita ucapkan ketika menyaksikan para penghuni zaman ini dan faktanya, saat membaca hadits Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam berikut? Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Siapa pun wanita yang menggunakan parfum kemudian keluar melewati sekelompok laki-laki agar mereka dapat mencium wanginya, maka wanita tersebut adalah seorang pezina.” (HR. an-Nasai no. 5126, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram)

Sungguh, Islam sangat berkeinginan untuk memberikan jalan keselamatan dari godaan-godaan setan. Dalam sebuah hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu, tentang kisah pelaksanaan haji Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam memalingkan wajah al-Fadhl ibnu Abbas Shalallahu’alaihi wa sallam ketika ia memerhatikan seorang gadis dari suku Khats’am yang bertanya kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,

رَأَيْتُ شَابًّا وَشَابَّةً فَلَمْ آمَنْ الشَّيْطَانَ عَلَيْهِمَا

“Aku melihat seorang pemuda dan seorang gadis, maka aku tidak merasa aman dari setan atas keduanya.” (HR. at-Tirmidzi no. 885)

Hanya melihat dan memerhatikan, tidak lebih dari itu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam mengkhawatirkannya. Itu pun terjadi pada sahabat, kaum yang paling beriman. Apakah dapat diterima alasan sebagian orang, “Pacaran kan untuk menjajaki calon pasangan. Mereka tentu dapat menjaga diri.” Alasan yang dibisikkan oleh setan, Allahul musta’an.

Di dalam hadits lain, dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, dan janganlah seorang wanita melakukan safar melainkan ia disertai oleh mahramnya.” Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, aku telah tercatat dalam sebuah pasukan perang, padahal istriku akan berangkat haji.” Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Berangkatlah haji bersama istrimu!” (HR. al-Bukhari no. 2844 dan Muslim no. 1341)

Demikian juga Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Uqbah bin ‘Amr radhiyallahuanhu,

“Berhati-hatilah kalian. Jangan menemui (berduaan) dengan wanita!” Seorang sahabat dari Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang al-hamwu?” Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Al-Hamwu adalah kematian.” (HR. al-Bukhari no. 4934 dan Muslim no. 2172)

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, al-hamwu adalah kerabat laki-laki suami, seperti kakak, adik, paman, sepupu, dan keponakan.
Astaghfirullah, bagaimana dengan keadaan kita dan keadaan kaum muslimin? Sangat bermudah-mudahan dalam pergaulan dengan alasan, “Kan keluarga sendiri, bukan orang lain”, “Sok suci kamu!”, “Dengan saudara sendiri kok jual mahal!” serta alasan-alasan hawa nafsu lainnya. Sungguh, sering terjadi perzinaan dilakukan oleh sesama saudara, ipar atau kerabat dekat, entah kakak, adik, bibi, tante, atau yang lain. Na’udzubillah!
Islam benar-benar menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Simaklah hadits Jabir radhiyallahuanhu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ لاَ يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ

“Ketahuilah! Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menginap di rumah seorang janda melainkan ia telah menikah dengannya atau mahramnya.” (HR. Muslim no. 2171)

An-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Disebutkannya wanita yang berstatus janda karena secara umum merekalah yang biasa ditemui. Adapun wanita yang masih gadis, biasanya terjaga dan terpelihara. Mereka benar-benar dijauhkan dari kaum lelaki sehingga tidak perlu disebutkan, sebab hadits ini termasuk bab peringatan. Artinya, jika terhadap wanita yang telah berkeluarga saja—yang biasanya dianggap ringan untuk menemuinya—terlarang, lebih-lebih lagi terhadap gadis.” (Syarah Shahih Muslim 14/153)

Disebutkan dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahuanhu, beberapa orang dari Bani Hasyim menemui Asma’ radhiyallahuanha. Kemudian, datanglah Abu Bakr ash-Shidiq radhiyallahuanhu, suami Asma’. Saat melihat mereka, Abu Bakr tampak tidak senang. Beliau lalu menceritakannya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam. Beliau Shalallahu’alaihi wa sallam berkata, “Aku tidak melihat selain hanya kebaikan.” Kemudian Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Subhanahuwata’ala telah menyucikannya dari hal tersebut.”

Lalu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bangkit berdiri di atas mimbar dan bersabda,

لاَ يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ إِلاَّ وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ

“Setelah hari ini, janganlah seorang laki-laki menemui seorang wanita yang sedang ditinggal pergi suaminya, melainkan ia ditemani seorang laki-laki lain atau dua orang laki-laki.” (HR. Muslim no. 2173)

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Peristiwa ini terjadi pada saat Abu Bakr sedang pergi. Akan tetapi, kepergian Abu Bakr masih dalam jarak mukim, bukan safar. Selain itu, ini terjadi pada orang-orang yang diketahui sebagai orang baik dan saleh. Ditambah lagi, mereka memiliki akhlak yang baik sejak sebelum masa Islam yang tidak asal menuduh dan menilai. Hanya saja, Abu Bakr mengingkari hal tersebut berdasarkan cemburu tabiat dan agama. Pada saat beliau menceritakannya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda berdasarkan pengetahuan tentang orang-orang tersebut dan Asma’, ‘Aku tidak melihat selain kebaikan.’

Beliau tujukan hal ini kepada kedua belah pihak karena beliau mengetahui setiap individunya. Mereka adalah kaum muslimin dari Bani Hasyim. Kemudian, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam mengkhususkan Asma’ dengan persaksian, ‘Sesungguhnya, Allah telah menyucikannya dari hal itu.’ Artinya, menyucikannya dari perasaan yang muncul dalam diri Abu Bakr. Hal ini adalah keutamaan besar bagi Asma’, bahkan yang terbesar.
Tidak hanya ini, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam juga mengumpulkan para sahabat dan berdiri di atas mimbar untuk melarang mereka serta menjelaskan yang diperbolehkan, “Setelah hari ini, janganlah seorang laki-laki menemui seorang wanita yang sedang ditinggal pergi suaminya, kecuali ia ditemani seorang laki-laki lain atau dua orang laki-laki.”

Hal ini untuk menutup celah khalwat dan mencegah munculnya tuduhan. Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam hanya menyebutkan satu atau dua orang laki-laki (untuk menemani) karena mereka adalah orang-orang yang saleh. Sebab, tuduhan tidak akan terjadi dengan bilangan tersebut. Adapun hari ini, bilangan ini belumlah cukup, harus dalam jumlah orang yang banyak karena kerusakan yang telah menyebar dan tujuan-tujuan yang buruk. Semoga Allah Subhanahuwata’ala merahmati al-Imam Malik yang bersikap keras dalam hal ini.” (al-Mufhim, 5/502)
Saudara pembaca….

Al-Qurthubi, Abul Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim, lahir pada tahun 578 H dan meninggal pada tahun 656 H. Beliau menjelaskan hal ini pada masanya. Lantas, apa yang akan beliau katakan jika hidup dan menyaksikan dunia kita di abad kelima belas hijriah ini?!

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Pada hadits ini dan hadits-hadits berikutnya, terdapat dalil tentang diharamkannya berkhalwat (berduaan) dengan wanita ajnabiyah, dan bolehnya berkhalwat dengan wanita mahram. Kedua hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan).” (Syarah Muslim 14/153)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimaullah telah menyebutkan ijma’ tentang hal ini (Fathul Bari 4/77). Demikian juga al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam. Berpacaran Tentu Saling Bersentuhan

Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin, menyebutkan,

وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ

“Tidak. Demi Allah, tidak pernah tangan Rasulullah menyentuh tangan seorang wanita.” (HR. al-Bukhari no. 4609 dan Muslim no. 1866)

Demikian pula hadits Umaimah binti Ruqaiqah tentang baiat kaum muslimah. ”Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak menjabat tangan kami?”

Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan kaum wanita.” (HR. Malik 2/982, at-Tirmidzi 4/151, an-Nasai 7/149, Ahmad 6/401. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah no. 529)

Ingat-ingatlah hadits Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam dari sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahuanhu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,

لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Sungguh, kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum besi lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang tidak halal untuknya.” (HR. ath-Thabarani dan al-Baihaqi, lihat as-Silsilah ash-Shahihah 226)

Ucapkanlah, “Astaghfirullah!”

Fakta mengejutkan diungkapkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Data yang dimiliki BKKBN menunjukkan, sejak tahun 2010 diketahui sebanyak 50 persen remaja perempuan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sudah tidak perawan karena pernah melakukan hubungan seks pranikah.

Di Jakarta, 51 persen remaja perempuannya sudah tidak perawan. Di Surabaya mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen. BKKBN juga menjelaskan bahwa seks pranikah adalah salah satu pemicu meningkatnya kasus HIV/AIDS. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, pada pertengahan 2010 jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS positif dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20—29 tahun (48,1 persen) dan usia 30—39 tahun (30,9 persen).

Kemudian, ada fakta lain yang mengejutkan. Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, UNFPA, dan BKKBN menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15—19 tahun melahirkan. Masih menurut lembar fakta tersebut, sekitar 2,3 juta kasus aborsi juga terjadi di Indonesia dan 20 persennya dilakukan oleh remaja.

Saudara pembaca…

Islam menginginkan jalan kebaikan bagi umatnya dan tidak mengajarkan hal-hal yang bisa mendatangkan mudarat. Melalui pembahasan di atas, kita melihat betapa Islam membatasi pergaulan antara pria dan wanita, untuk menghindarkan keburukan dunia dan akhirat. Berbahagialah seorang hamba yang tunduk dan taat kepada ajaran Islam.

Sebagai penutup, kami akan membawakan sebuah berita yang telah diucapkan oleh baginda Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam ribuan tahun lalu.

Anas bin Malik radhiyallahuanhu mengatakan,

لَأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيثًا لَا يُحَدِّثُكُمْ أَحَدٌ بَعْدِي، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ n يَقُولُ: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ

“Sungguh, aku akan menyampaikan sebuah hadits kepada kalian yang tidak akan ada orang lain setelahku yang bisa menyampaikannya kepada kalian. Aku mendengar Rasulullah n bersabda, ‘Di antara tanda-tanda hari kiamat: berkurangnya ilmu, menyebarnya kejahilan, menyebarnya perbuatan zina, dan jumlah wanita sangat banyak sedangkan laki-laki lebih sedikit. Sampai-sampai lima puluh wanita diurus oleh seorang laki-laki’.” (HR. al-Bukhari)

Semoga Allah Subhanahuwata’ala memberikan taufik kepada segenap kaum muslimin untuk menjaga putra-putri mereka dari kehancuran. Semoga Allah Subhanahuwata’ala membimbing kita menjadi orang tua yang memilihkan jalan iman daripada jalan dunia penuh materi. Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah Subhanahuwata’ala).

Amin ya Mujibas sa’ilin.

*

Sumber:  Majalah Asy Syariah

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.