Makanan termasuk nikmat yang amat berharga dari Allah. Namun, masih ada saja orang yang tidak menghargai karunia ini dengan mencela hidangan yang disuguhkan kepadanya dengan berbagai celaan. Perbuatan ini berbeda jauh dengan ajaran Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلَّا تَرَكَهُ
“Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan sama sekali. Jika beliau menyukai suatu makanan, beliau memakannya. Jika tidak menyukainya, beliau meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3563)
Ibnu Baththal menjelaskan bahwa yang seperti ini termasuk akhlak mulia. Sebab, ketika seseorang mencela makanan berarti dia telah menolak rezeki yang telah Allah karuniakan kepadanya. Sementara itu, segala nikmat yang kita dapatkan dari-Nya wajib kita syukuri, bukan malah kita cela. (Lihat Syarah Shahih al-Bukhari Libni Baththal 9/478)
Oleh karena itu, jika kita disuguhi hidangan/makanan, hendaknya kita menyantapnya. Jika memang enggan dan tidak menyukainya, hendaknya kita diam dan membiarkan hidangan itu tanpa mencelanya sedikit pun. Jangan sampai kita membuat murka Sang Maha Pencipta ataupun membuat sedih orang yang telah memasaknya. (Lihat Umdatul Qari 21/49)
Namun, jika kita merasakan ada yang kurang dalam masakan, lalu memberi saran kepada orang yang memasaknya supaya di masa yang akan datang bisa membuat masakan lebih lezat, yang demikian diperbolehkan. Sebab, pada kondisi ini dia tidak mencela makanan, tetapi memberikan masukan atau pengajaran. (Lihat asy-Syarh al-Mumti’ 12/34)
Berbeda halnya jika itu adalah makanan yang haram. Kita boleh mencelanya dan melarang orang lain menyantapnya. Hal ini pernah dilakukan oleh Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam. (Lihat Umdatul Qari 21/49)