Bismillah,
Alhamdulilah, wash shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah,
Amma ba’du:
Sebelumnya, dengan terpaksa, diri Ana yang masih sangat jahil ini mencoba memberanikan diri untuk memberikan sumbangsih kapada saudara2ku yang cinta kepada dakwah dan ulamanya.
Ana awali dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keberkahan itu diperoleh dengan berjalan bersama para ulama kibar.”
Ikhwati fillah,
Di forum ini ana ingin menuliskan beberapa kalimat utk diri ana pribadi dan semoga bermanfaat untuk antum semua.
Ana menyerukan kepada kita semua utk bertakwa kepada Allah, selalu berjuang untuk ikhlas, dan jujur dalam beragama, dan jauhilah sifat ta’asshub.
Ikhwani fiddin rahimakumullah,
Terkait dengan fatwa syaikh Rabi hafizhahullah Ta’ala tentang tahdzir terhadap Dzulqarnain, janganlah benih2 ta’asshub dan ‘ashabiyah menyelimuti akal kita, sehingga kita ragu atau bahkan menolak fatwa tersebut.
Ikhwah fillah,
Apabila ada berita yg terkait dengan keamanan, rasa takut, dll, bukankah Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ” Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyebarkannya. Dan kalau mereka MENYERAHKANNYA KEPADA RASUL DAN ULIL AMRI di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (RASUL DAN ULIL AMRI).” [an-Nisa: 83]
Ikhwatil kiram,
Kalau memang kita jujur dalam beragama dan bermanhaj, mari kita amalkan bimbingan Allah dalam ayat di atas.
Janganlah antum bersikap dan berbuat kecuali dengan bimbingan ulama.
Dan bimbingan ulama telah datang.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (ulama dan umara) di antara kamu.” [an-Nisa: 59]
Ikhawani fiddin,
Ana khawatir, apabila kita menyelisihi perintah Allah walaupun cuma satu saja, hal itu akan membawa kita kepada fitnah.
Sehingga yang namanya fitnah itu, ada pada orang2 yang tidak mau mengikuti bimbingan ulama.
Merekalah ahli fitan sesungguhnya.
Renungilah firman Allah Ta’ala berikut ini (yang artinya), “Hendaklah berhati-hati/takut orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul, mereka akan ditimpa dengan fitnah, atau ditimpa dengan azab yang pedih.” [an-Nur: 63]
Ya ikhwah rahimakumullah..
Bukankah dulu ketika fitnah itu datang, sebagian kita (karena minimnya ilmu dan informasi yang benar) terus berada di atas kebingungan, siapakah yang benar dari kedua pihak YANG BERSELISIH tersebut.
Kepada siapa kita menilai kebenaran yang ada pada mereka?
Dengan apa kita menilainya?
Sedang masing2 mereka, mengklaim bahwa merekalah yang benar.
Ya ikhwah,
Bukankah ketika kita berani menilai dengan modal ilmu yang pas-pasan (sangat minim), akhirnya kita pun terus terjatuh ke dalam perselisihan!?
Sehingga, walaupun jasad kita bersatu, tp hati kita berselisih dan bercerai berai?
Terasa tidak enak, bukan?
Ya Ikhwah…
Tdk ada yang bisa menyelamatkan kita dari fitnah ini kecuali kembali kepada bimbingan Allah dan Rasul-Nya, serta kembali kepada bimbingan para ulama, terkhusus ulama kibar yang berkompeten di bidangnya, dalam hal ini adalah syaikh Rabi hafizhahullah Ta’ala.
Beliau adalah ulama kibar, baik dari segi umur atau ilmu.
Hal itu tdk kita ragukan lagi, bukan?
Apalagi kalau kita melihat pujian para ulama kibar, seperti syaikh Albani dan syaikh bin Baz rahimahumallah Ta’ala.
Ya ikhwah, apa yang kita tunggu?
Bukankah dari dahulu kita selalu menunggu fatwa para ulama, terkhusus syaikh Rabi, yang mana beliau adalah ulama yang paling tahu tentang kondisi INDONESIA. Kurang lebih dua puluh tahun lamanya beliau selalu mengikuti perkembangan dakwah di Indonesia.
Jujur saja antum, 20 tahun yang lalu antum di mana????
Di mana ya Akhi?
Coba antum bercermin dan muhasabah.
Sekarang…
sudah muncul fatwa itu….
Kenapa sebagian kita masih ragu?
Apakah antum merasa lebih sayang terhadap dakwah ini daripada syaikh Rabi?
Mana yang lebih sayang terhadap keselamatan dakwah, umat, dan Dzulqarnain itu sendiri?
Ketahuilah, ana memandang bahwa beliaulah yang paling sayang terhadap dakwah, umat, dan Dzulqarnain?
Kenapa?
Bukankah antum tahu, bahwa salah satu bentuk kasih sayang terhadap dakwah, umat, dan pribadi yang bersalah adalah dengan tahdzir terhadapnya?
Dengan tahdzir itulah kemaslahatan untuk dakwah, umat, dan person tercapai?
Bagi dakwah dan umat jelas..
Lalu, bagaimana dengan person yang bersalah kemudian ditahdzir, di mana letak kasih sayangnya?
Letaknya adalah dengan person tersebut ditahdzir maka akan memperkecil daerah fitnah, mempersedikit jumlah yang mengikutinya, sehingga dengan itu akan mengurangi dosa2nya, dan yang paling diharapkan adalah hal itu akan mengembalikan dia kepada al-haq dan bimbingan ulama (tentunya bagi yang dirahmati Allah Ta’ala).
Contoh dalam hal ini adalah perintah Rasulullah untuk menghajr tiga sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabuk.
Padahal antum tahu, siapa yang lebih sayang terhadap umat, dan 3 sahabat tersebut?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan?
Tapi beliau dengan kasih sayangnya memerintahkan para sahabat untuk menghajr Ka’ab bin Malik dan 2 sahabat lainnya.
Antum baca kembali bagaimana tentang kisah mereka yang dipenuhi dengan kejujuran, tanpa ada PENENTANGAN dan PENYELISIHAN terhadap keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengharap ridha Allah Ta’ala.
Ka’ab bin Malik,
dengan kejujurannya beliau berterus terang tentang ketidakhadirannya di perang Tabuk.
Walaupun beliau bisa saja beralasan dan mencari-cari alasan yang dengan itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memaafkannya, padahal beliau sangat pandai untuk bisa melakukannya, tapi beliau tidak melakukannya.
Kenapa beliau tidak melakukannya, dan memilih jujur, serta bersabar dalam masa pemboikotan, sehingga bumi terasa sempit, dan masa terasa lama dan panjang?
Kenapa?
Karena mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala.
Dan Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang jujur.
Tapi dengan kejujuran mereka, mereka jalani semuanya dengan tobat, penyesalan, dan doa kepada Allah Ta’ala.
Sampai kemudian, Allah mengampuni mereka semua.
Ya Akhil karim,
apakah beratnya bagi antum untuk menerimanya?
Dan apakah beratnya bagi Dzulqarnain untuk menerimanya.
Itupun kalau dia mau jujur, ikhlas, dan menyadari akan kekurangannya.
Para sahabat dan salafuna ash-shalih sebagai teladan kita.
Tidak ada dari mereka yang ma’shum. Tp yang bisa kita ambil adalah keteladanan mereka dalam hal cepatnya mereka rujuk kepada al-haq ketika ada kesalahan, dan ada yang menasihati mereka.
Bukan malah membela diri, apalagi di hadapan ulama kibar seperti syaikh Rabi’ yang paling tahu, dan paling sayang terhadap umat, dan kita semua.
Tapi, kalau di hati ada kesombongan maka siapa yang akan bisa memberi nasihat kepadanya?
Sombong adalah menolak al-haq dan meremehkan manusia.
Ya Akhi,
janganlah antum menganggap bahwa fatwa tersebut terlalu terburu2 dan tidak ilmiah, kemudian engkau menyibukkan diri dengan mencari2 bukti, data, dan kesalahan2 dari kedua belah pihak, untuk engkau timbang mana yang benar?
Allahul Musta’an, siapa dirimu?
Selain engkau bukan ahlinya, engkau juga akan tersibukkan dengan hal itu?
Kenapa engkau tidak mencukupkan diri dengan fatwa tersebut?
Kenapa engkau tidak mengembalikan urusan yang besar ini kepada ulama?
Coba bandingkan sikap antum, dengan sikap para ulama yang lain.
Antum bisa melihat bagaimana syaikh Muhammad al-Wushabi, syaikh Muhammad al-Imam, dan syaikh Abdurrahman al-‘Adeny, mereka semua sepakat bahwa ketika sudah muncul fatwa tersebut, ikuti para ulama.
Tinggal ANTUM, ke mana akan melangkah…
Jalan siapa yang antum ikuti?
Apakah antum akan mengikuti Dzulqarnain dan husnuzhan kepadanya,
sementara antum tinggalkan fatwa ulama, jalan para ulama, dan suuzhan kepada mereka.
Silakan antum memilih…
Semoga Allah Ta’ala selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus, menguatkan kita untuk selalu istiqamah di atas jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada,
dan shalihin, sehingga kita berharap bisa dikumpulkan oleh Allah bersama mereka di dalam jannah-Nya.
Amin ya Mujiibas Sailin.
Dari akhukum fillah,
Al-Faqir ila Rabbihi Ta’ala, Abu umar ibrahim.
Markiz Daril Hadits al-Fiyush.