Jalan Meraih Manisnya Iman

Jalan Meraih Manisnya ImanJALAN MERAIH MANISNYA IMAN

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal, Lc. hafizhaullah

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, (3) ia membenci untuk kembali kepada kekafiran—setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya darinya—sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.”

Takhrij Hadits

Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu muttafaqun ‘alaihi. Al-Bukhari Rahimahullah meriwayatkan dalam “Kitabul Iman” bab “Halawatil Iman (Manisnya Iman)” (1/60 no. 16), dan dalam “Kitab al-Ikrah” bab “Man Ikhtara adh-Dharb wal Qatl wal Hawan ‘alal Kufri (Orang yang Lebih Memilih Pukulan, Bunuh, atau Kebinasaan daripada Kekafiran)” (16/315 no. 6941).

Al-Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu di atas dalam “Kitabul Iman”, bab “Khishal man Ittashafa Bihinna Wajada Halawatal Iman (Sifat-Sifat yang Dengannya Seseorang Merasakan Manisnya Iman)” no. 163.

Hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan pula oleh para imam ahlul hadits lain dengan beberapa perbedaan lafadz.

Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, demikian pula an-Nasai, meriwayatkan dengan lafadz,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ وَطَعْمَهُ: أَنْ يَكُونَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ فِي اللهِ وَأَنْ يَبْغُضَ فِي اللهِ، وَأَنْ تُوقَدَ نَارٌ عَظِيمَةٌ فَيَقَعَ فِيهَا أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يُشْرِكَ بِاللهِ شَيْئًا

“Tiga hal yang jika ada pada seseorang, ia akan merasakan manis dan lezatnya iman: (1) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; (2) ia mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membenci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala; dan (3) seandainya api yang sangat besar dinyalakan lalu ia dilemparkan ke dalamnya, itu lebih ia sukai daripada menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Iman, Pokok Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah sesuatu yang dicari oleh setiap manusia. Mereka siap mengorbankan apa pun yang berharga—termasuk jiwa—demi memperoleh kebahagiaan itu.

Banyak manusia mendefinisikan kebahagiaan, namun yang pasti kebahagiaan hakiki bukan pada banyaknya harta, tingginya kedudukan atau status sosial, walaupun kebanyakan manusia menilai kebahagiaan dengan banyaknya dunia yang dikumpulkan.
Dunia memang dijadikan indah dalam pandangan manusia hingga banyak manusia tertipu dengan hijau dan gemerlapnya dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14)

Dunia memang indah, namun benarkah anggapan kebanyakan manusia bahwa dunia adalah kebahagiaan dan puncak keberuntungan? Mari kita tadabburi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikutnya,

Katakanlah, “Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah, dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa, “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 15—16)

Ayat ini menunjukkan bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya adalah dengan iman dan amalan saleh, dengan bertakwa kepada-Nya. Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 96)

Hakikat Iman

Iman bukan sekadar keyakinan atau pengakuan semata. Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata,

لَيْسَ الْإِيْمَانُ بِالتَّحَلِّي وَلَا باِلتَّمَنِّي وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي الْقَلْبِ وَصَدَّقَتْهُ الْأَعْمَالُ

“Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan atau pengakuan semata, namun iman adalah keyakinan yang tertancap dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman [1/80])

Ya, iman bukan sekadar angan-angan. Iman adalah keyakinan yang kokoh dalam hati yang dibuktikan dengan ucapan lisan dan amal perbuatan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, serta orang-orang yang menunaikan zakat….” (al-Mu’minun: 1—4)

Saudaraku, rahimakumullah. Iman dimisalkan sebagai sebuah pohon yang sangat indah sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24—25)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memisalkan kalimat iman—kalimat yang paling indah—dengan sebuah pohon yang paling indah dengan sifat-sifatnya yang terpuji. Akar-akarnya kokoh, tumbuh dengan sempurna, terus-menerus mengeluarkan buah-buahnya setiap saat dan waktu. Manfaat-manfaatnya pun terus dirasakan pemiliknya dan orang lain. Pohon ini berbeda-beda keadaannya sesuai dengan perbedaan kalbu orang-orang yang beriman perbedaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sifat-sifatnya.

Maka dari itu, seorang hamba yang mendapatkan taufik seharusnya terus berupaya mengenali pohon iman itu, mengenali sifat-sifat dan sebab-sebabnya, pokok-pokok dan cabang-cabangnya, kemudian mencurahkan segala kemampuannya untuk mewujudkan pohon iman itu dengan ilmu dan amal. Sesungguhnya, bagian kebaikan dan keberuntungan seseorang di dunia dan akhirat itu sesuai dengan keadaan pohon iman tersebut.” (at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman)

Manisnya Iman

Jika iman terus dipupuk dengan amalan saleh dan dijaga dari segala hal yang merusaknya, yaitu syirik, bid’ah, dan maksiat [1], sebagaimana seseorang memelihara pohon kurma yang sangat ia sayangi, setiap pagi dan sore ia sirami, tidak lupa ia memupuknya dan menjauhkannya dari hama dan penyakit, sungguh orang tersebut akan senantiasa mendapatkan kebahagiaan, kedamaian, ketenteraman yang tidak bisa dilukiskan. Ia akan mendapatkan manisnya iman sebagaimana hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ

“Ada tiga hal yang ada pada diri seseorang, dia akan merasakan manisnya iman.” (al-Hadits)

Asy-Syaikh al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam mengabarkan bahwa iman memiliki rasa manis dalam kalbu. Jika seorang hamba telah merasakan manisnya iman, manisnya iman akan menghiburnya dari segala kesenangan duniawi (yang tidak ia peroleh, -pen.) dan (menyelamatkannya dari) berbagai dorongan hawa nafsu, serta akan mewujudkan kehidupan yang thayyibah (penuh kebahagiaan). Karena, seseorang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya pastilah ia akan selalu berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikianlah keadaan orang yang mencintai sesuatu pasti akan banyak menyebutnya. Ia juga akan bersungguh-sungguh dalam mengikuti Rasul Shallallahu `alaihi wa sallam dan lebih mendahulukan ketaatan kepada beliau Shallallahu `alaihi wa sallam daripada ucapan orang lain. Ia pun lebih mendahulukan beliau Shallallahu `alaihi wa sallam daripada kehendak hawa nafsunya.

Orang yang demikian keadaannya, akan tenteram dan selalu dihiasi dengan ketaatan. Dadanya menjadi lapang untuk Islam. Ia pun berada di atas cahaya dari Rabbnya. Namun, kebanyakan orang yang beriman belum mencapai derajat yang sangat tinggi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan setiap orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Rabbmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (al-An’am: 132) (at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman hlm. 56)

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang manisnya iman. Al-Abbas bin Abdil Muththalib Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

ذَاقَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْناً وَمُحَمَّدٍ رَسُولاً

“Akan merasakan manisnya iman, seorang yang ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 150 dan at-Tirmidzi no. 2623)

Atsar Salaf Tentang Manisnya Iman

Pembaca, rahimakumullah. Sebagai generasi terbaik, para sahabat telah merasakan lezatnya iman. Kebahagiaan pun telah mereka raih bersama bimbingan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Mari kita simak beberapa atsar sahabat tentang halawatul iman.

Sahabat Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu pernah berwasiat kepada putranya,

يَا بُنَيَّ، إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ  يَقُولُ : إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ. قَالَ: رَبِّ، وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ. يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ  يَقُولُ: مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي.

Wahai anakku, sungguh engkau tidak akan mendapatkan kelezatan hakikat iman hingga engkau meyakini bahwasanya apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpamu tidak akan luput darimu, dan apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak mungkin mengenai dirimu. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, yang pertama kali diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah qalam (pena), lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Pena berkata, ‘Wahai Rabbku, apa yang aku tulis?’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Tulislah takdir-takdir segala sesuatu hingga tegak hari kiamat’.”

Wahai anakku, sungguh aku mendengar Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mati tidak di atas keimanan kepada takdir, ia bukan dari golonganku.” (Sunan Abu Dawud no. 4078, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat peraih janji surga berkata,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: الْإِنْفَاقُ مِنَ الْإِقْتَارِ، وَإِنْصَافُ النَّاسِ مِنْ نَفْسِكَ، وَبَذْلُ السَّلَامِ لِلْعَالَمِ

“Tiga hal yang jika ada pada seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: berinfak di masa sempit, bertindak adil kepada manusia, dan menebarkan salam kepada manusia.” (Riwayat Abdurrazaq dalam al-Mushannaf no. 19439 dari Ma’mar, dari Abu Ishaq, dari Shilah bin Zufar, dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu)

Abdullah bin Mas’ud al-Hudzali Radhiyallahu ‘anhu berkata,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ يَجِدُ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: تَرْكُ الْمِرَاءِ فِي الْحَقِّ، وَالْكَذِبِ فِي الْمِزَاحَةِ، وَيَعْلَمُ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ

“Tiga hal yang jika itu ada pada seseorang, niscaya ia akan meraih manisnya iman: meninggalkan perdebatan dalam keadaan ia benar, meninggalkan dusta meskipun dalam gurauan, serta ia yakin bahwa apa yang ditakdirkan pasti tidak akan luput darinya, dan apa yang tidak ditakdirkan tidak akan menimpanya.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Kabir [9/157 no. 8790] dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf no. 20082)

Berlomba Meraih Manisnya Iman

Hadits-hadits dan atsar sahabat di atas menunjukkan bahwa manisnya iman bisa dirasakan oleh seorang mukmin. Namun, kelezatan dan manisnya iman tersebut tentu bertingkat-tingkat, berbeda antara seorang mukmin dan mukmin lainnya.

Kelezatan iman dalam kalbu seorang mukmin yang kokoh adalah kenikmatan yang agung, melebihi kenikmatan-kenikmatan dunia, bahkan tidak bisa dibandingkan. Bisa jadi, seseorang mengalami kekurangan dari sisi duniawi, namun sesungguhnya ia orang yang berada di puncak kebahagiaan karena iman yang tertanam dalam kalbunya.

Suatu saat, Ibrahim bin Adham [2] t—salah seorang ulama ahlul hadits dan ahli zuhud di zamannya—berjalan dalam sebuah safar bersama sahabat-sahabatnya. Dalam perjalanan tersebut, mereka beristirahat untuk menikmati bekal berupa potongan roti kering—bukan daging dan roti basah dari tepung gandum halus yang biasa dihidangkan di meja para raja. Kemudian Ibrahim turun ke sungai. Dia ambil air dengan tangannya, meneguknya dengan menyebut Asma Allah Subhanahu wa Ta’ala, lantas berkata,

لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ

“Seandainya para raja dan para pangeran mengetahui (kebahagiaan dan kelezatan) yang sedang kita rasakan, niscaya mereka akan berebut dengan kita dengan pedang-pedang (karena iri dan tidak mendapatkan kebahagiaan itu, –pen.).” (Hilyatul Auliya 7/370)

Subhanallah, demikianlah kebahagiaan meliputi kalbu manakala iman telah mendarah daging. Sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dicapai oleh para penguasa dunia.

Sebagian salaf mengungkapkan kelezatan iman dengan ucapannya,

مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ

“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”

Kelezatan iman adalah surga di dunia ini. Sebagian ulama berkata,

إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً، مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لاَ يَدْخُلُ جَنَّةَ الْآخِرَةِ

“Sungguh, di dunia ada surga, siapa yang belum memasuki surga di dunia itu, ia tidak akan masuk surga di akhirat.” (Surga yang dimaksud adalah kelezatan iman yang berupa kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, –pen.)

Di muka bumi ini ada manusia yang mencapai puncak-puncak keimanan hingga kelezatan iman ia rasakan. Ada pula yang hanya memiliki iman seberat dzarrah atau lebih ringan. Bahkan, kebanyakan manusia tidak mau masuk ke dalam keimanan, wal-‘iyadzu billah.

Cara Meraih Manisnya Iman

Dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menyebutkan tiga sifat yang dengannya seorang mukmin mendapatkan manisnya iman. Tiga sifat inilah yang seharusnya diminta oleh setiap insan muslim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka berlomba menggapainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“… dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (al-Muthaffifin: 26)

Sifat pertama yang harus dimiliki guna meraih manisnya iman adalah mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta mendahulukan keduanya daripada kecintaan terhadap yang lain. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak akan sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”

Cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya bukan sekadar pengakuan. Ia harus dibuktikan, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,

Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)

Adalah dusta jika seseorang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, namun ia tidak mengikuti akidah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, dan yang dia ikuti justru kesyirikan atau khurafat. Adalah dusta jika seseorang yang mengaku dirinya lebih mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dari segala sesuatu, namun ketika beribadah lebih memilih kebid’ahan-kebid’ahan. Demikian pula, adalah dusta jika seseorang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, namun berpaling dari ilmu syariat.

Kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian pula sebaliknya kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya, hanya diperoleh dengan ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam.

Barang siapa mentadabburi ayat ini, niscaya ia akan sadar bahwa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebaliknya, kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, akan diperoleh manakala seorang terus menapaki jejak Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam dalam segala sisi kehidupan.

Jika seorang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya melebihi kecintaan atas segala sesuatu, kebahagiaan dan kelezatan iman akan mengiringi perjalanan hidupnya. Apa pun yang dihadapi dalam perjalanan hidupnya tidaklah menambah selain kebahagiaan, kebaikan, serta ketinggian derajat di dunia dan di akhirat. Namun, apabila seseorang lebih mengutamakan kecintaan yang lain di atas kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, tunggulah datangnya ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (at-Taubah: 24)

Sebuah kejadian tertulis dalam referensi-referensi sirah Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam, menunjukkan betapa sahabat adalah orang-orang yang sangat bahagia dengan kelezatan iman yang menghiasi diri mereka, dengan mendahulukan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Dikisahkan, seusai Perang Uhud, pasukan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam memasuki Madinah. Seorang wanita dari Bani Dinar mendapatkan kabar kematian ayah, saudara kandung, dan suaminya sekaligus. Sungguh, berita yang sangat menyedihkan. Namun, wanita itu terus bertanya tentang

Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, bagaimana keadaan beliau? Begitu ia mendengar dan melihat Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam selamat, kesedihan itu sirna. Dari lisannya mengalir ucapan,

كُلُّ مُصِيبَةٍ بَعْدَكَ جَلَلٌ

“Semua musibah (yang menimpaku) tidak ada artinya setelah engkau (mendapatkan keselamatan).”

Ketenangan dan kebahagiaan di saat musibah karena kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan jihad, melebihi segala sesuatu.

Sifat kedua yang menyebabkan seorang mukmin merasakan manisnya iman adalah mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula dalam membenci, membela, dan memerangi, semua karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Cinta dan benci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tali iman yang paling kokoh, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam,

أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ

“Tali iman yang paling kokoh adalah memberikan loyalitas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, memusuhi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan membenci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. ath-Thabarani dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [2/734 no. 998])

Cinta dan benci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah konsekuensi kecintaan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang yang jujur cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintai apa yang dicintai-Nya Subhanahu wa Ta’ala, juga membenci apa yang dibenci-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

Oleh karena itu, di antara doa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, bahkan beliau mewasiatkan umatnya untuk berdoa dengannya—adalah,

أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ

“Ya Allah, aku memohon agar aku mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu serta mencintai semua amalan yang mendekatkanku kepada cinta kepada-Mu.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad, dinyatakan dha’if oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’, kemudian beliau menyatakannya sahih dalam Sunan at-Tirmidzi no. 3235 dan al-Misykah no. 747)

Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah berkata, “Dalam doa ini, selain meminta kecintaan kepada-Nya, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam juga memohon dua hal lainnya. Pertama, memohon untuk mencintai orang-orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah, orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasti mencintai mereka yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membenci musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala…. Dan manusia termulia yang wajib dicintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah para nabi dan rasul-Nya, lebih-lebih Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam, nabi yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan manusia mengikuti jalan beliau…. (Kedua), mencintai amalan yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarah hadits Ikhtisham al-Mala’il A’la)

Cinta dan benci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri semakin terkikis di akhir zaman. Lihatlah, betapa banyak manusia mengikat kecintaannya bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka mengikat kecintaan dengan tarekat sufi, klub suporter sepak bola, geng motor, atau partai-partai yang mencerai-beraikan kaum muslimin. Saudaranya muslim dia benci hanya karena berbeda partai, sementara itu seorang fasik atau kafir dia sayangi karena satu partai. [3]

Abdullah bin al-Abbas bin Abdil Muththalib Radhiyallahu ‘anhuma berkata,

وَقَدْ صَارَتْ عَامَّةُ مُؤَاخَاةِ النَّاسِ عَلَى أَمْرِ الدُّنْيَا، وَذَلِكَ لاَ يُجْدِي عَلَى أَهْلِهِ شَيْئًا

“Sungguh, kebanyakan persaudaraan manusia karena urusan dunia (bukan lagi karena Allah), dan yang seperti itu tidaklah memberi manfaat sedikit pun padanya.”

Sebab ketiga adalah membenci kesyirikan dan kekafiran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api.
Kebencian terhadap kesyirikan dan segenap bentuk kekafiran diwujudkan dengan senantiasa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diselamatkan dari kekufuran dan agar hatinya selalu dikokohkan di atas keimanan. Hal itu diwujudkan pula dengan berusaha mengenali kekafiran agar ia bisa menghindarinya.

Bilal bin Rabah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat peraih surga, adalah salah satu sosok teladan dalam mempertahankan iman. Hatinya diliputi kecintaan kepada iman dan kebencian kepada kekufuran. Saat beliau disiksa oleh orang kafir Quraisy di kota Makkah di awal dakwah Islam, beliau dipaksa meninggalkan Islam.

Apakah kemudian beliau melepaskan keimanan? Tidak! Beliau justru mengatakan, “Ahad! Ahad!” Beliau tetap berada dalam agama tauhid hingga datang pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu membelinya dan membebaskannya dari perbudakan. [4]

Keluarga Yasir Radhiyallahu ‘anhu adalah contoh lain dari pengorbanan mempertahankan Islam. Orang kafir Quraisy menyiksa keluarga yang mulia ini. Yasir dan istrinya, Sumayyah, memperoleh kesyahidan. Darah keduanya tertumpah dalam keadaan ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha kepada keduanya. Jannah mereka raih setelah mereka merasakan manisnya iman dalam kehidupan dunia.

Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,

أَبْشِرُوا آلَ عَمَّارٍ وَآلَ يَاسِرٍ، فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

“Berbahagialah kalian wahai keluarga ‘Ammar, wahai keluarga Yasir, karena sungguh tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah al-Jannah.” (Lihat Shahih as-Sirah an-Nabawiyah, asy-Syaikh al-Albani hlm. 154)

Mereka adalah kaum yang telah berlalu. Mereka meninggalkan dunia dengan penuh kebahagiaan. Tinggallah kita merenungi nasib kita masing-masing dan bertanya, “Sudahkah cinta saya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih dari segalanya? Sudahkah cinta dan benci saya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala? Sudahkah saya dapatkan kebencian kepada kekufuran sebagaimana saya membenci diri saya dilemparkan ke dalam api?”

اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ

“Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman dan jadikanlah kami teladan yang membimbing dan mendapatkan bimbingan.”
Amin!

Sumber: Majalah Asy Syariah

Catatan Kaki:

  1. Termasuk yang wajib dipelajari setiap muslim adalah mengenali kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, agar ia tidak terjatuh pada hal yang dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merusak pohon imannya.
  2. Nama lengkapnya Ibrahim bin Adham bin Manshur al-‘Ijli Abu Ishaq al-Balkhi, meninggal pada tahun 162 H.
  3. Termasuk partai yang menyatakan berbasis perjuangan Islam, cinta dan benci mereka bukan lagi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  4. Lihat Musnad Imam Ahmad (1/404) dengan sanad yang hasan.
© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.