Apa hukum ibadah yang disertai riya?
Jawab:
Berikut ini jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah terhadap pertanyaan di atas.
Riya yang menyertai ibadah itu ada tiga macam:
- Riya yang sejak awal mendorong seseorang untuk melakukan ibadah.
Contohnya, seseorang melaksanakan shalat untuk Allah Subhanahuwata’ala dengan tujuan mendapat pujian/sanjungan manusia atas shalatnya. Riya yang seperti ini membatalkan ibadah.
- Riya menyertai ibadah di tengah-tengah pelaksanaan ibadah.
Artinya, di awal ibadah ia ikhlas melakukannya karena Allah Subhanahuwata’ala, kemudian di tengah ibadah datanglah riya. Ibadah seperti ini tidak luput dari dua kemungkinan:
- Ibadah yang awal tidak berkaitan dengan akhir ibadah, maka yang awal (yang ikhlas semata karena Allah Subhanahuwata’ala) sah sedangkan yang didatangi riya batal.
Misalnya, seseorang memiliki uang seratus riyal yang ingin disedekahkan. Pada kesempatan pertama, ia mengeluarkan sedekah lima puluh riyal dengan ikhlas. Ketika hendak mengeluarkan lima puluh riyal yang tersisa, datanglah riya. Untuk kasus yang semacam ini, sedekah yang awal sahih dan diterima, sedangkan sedekah yang belakangan adalah sedekah yang batil karena keikhlasannya telah dicampuri riya.
- Ibadah yang awal berkaitan dengan yang akhir.
Pada ibadah yang seperti ini, seseorang tidak lepas dari dua keadaan:
(1). Ia berusaha menolak riya tersebut dan tidak merasa tenang dengannya. Bahkan, ia berusaha berpaling dari riya dan membencinya.
Jika seperti ini, riya tersebut tidak berpengaruh sedikit pun terhadap ibadah, berdasar sabda Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya, Allah memaafkan dari umatku apa yang diucapkan oleh jiwanya (betikan hati) selama belum diamalkannya [1] atau diucapkannya (dengan lisan).” [2]
(2). Ia merasa tenang-tenang saja dengan riya yang muncul tersebut dan tidak berusaha menolaknya.
Apabila demikian keadaannya, batallah seluruh ibadahnya karena ibadah yang awal bergandengan dengan yang akhirnya.
Contoh kasusnya, seseorang memulai shalatnya dengan ikhlas karena Allah Subhanahuwata’ala. Datang riya pada rakaat yang kedua (tanpa ia berusaha melawan dan melepaskan diri darinya), maka batallah seluruh shalatnya karena bagian yang awalnya bergandengan dengan yang akhirnya.
- Riya datang setelah selesai melakukan ibadah.
Hal ini tidak memengaruhi ibadah yang telah selesai dilakukan dan tidak membatalkannya karena ibadah tadi telah selesai. Ibadah tersebut sah, tidak rusak disebabkan oleh riya yang muncul setelahnya.
Yang perlu diketahui, tidak termasuk riya ketika seseorang merasa gembira saat ada orang yang mengetahui ibadahnya karena hal itu muncul setelah ia selesai melakukan ibadah. Tidak pula termasuk riya ketika seseorang merasa senang dengan ketaatan yang telah dilakukannya karena hal itu justru menjadi bukti akan keimanannya. Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
“Siapa yang kebaikannya menggembirakannya dan kejelekannya menyusahkannya, maka dia adalah seorang mukmin.” [3]
Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang hal tersebut. Beliau Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk seorang mukmin.” [4]
[Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/206—207]
*
Sumber: Majalah Asy Syariah
————————————————
Catatan Kaki:
- Oleh anggota badan.
- HR. Ahmad dalam Musnad-nya, al-Bukhari dalam Shahih-nya, dan selain keduanya.
- HR. ath-Thabarani dan dinyatakan sahih dalam Shahihul Jami’ no. 6294.
- HR. Muslim dalam Shahih-nya.