HIDAYAH ADALAH ANUGRAH TERBAIK
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifa’i
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثاَمِهِمْ شَيْئًا
“Barang siapa mengajak kepada hidayah maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.”
Al-Imam al-Albani berkata tentang hadits ini dalam as-Silsilah ash-Shahihah (2/548), “Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (8/62), Abu Dawud (2/262), at-Tirmidzi (2/112), ad-Darimi (1/126—127), Ibnu Majah (1/91), dan Ahmad (2/397) dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, secara marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam). At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
Makna Hidayah
Lafadz al-huda serta pecahan katanya dalam Al-Qur’an disepakati oleh ulama sebagai kata yang paling banyak bentuk maknanya. Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi dalam kitab al-Asybah wan Nazhair, Yahya bin Sallam dalam kitab at-Tasharif, dan as-Suyuthi dalam kitab al-Itqan, menyebutkan tujuh belas makna lafadz al-huda. Adapun Ibnul Jauzi di dalam kitab Nuzahatul A’yun menyebutkan 24 makna lafadz al-huda.
Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa hidayah yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk manusia ada empat tingkatan.
1. Hidayah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seluruh makhluk mukallaf (jin dan manusia), seperti akal, kecerdasan, dan pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat dharuri (sebuah kemestian). Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Musa berkata, “Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaha: 50)
2. Hidayah yang dibawa dan diemban para nabi untuk dijelaskan kepada manusia dan jin, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (al-Anbiya: 73)
3. Hidayah berupa taufik untuk tunduk dan mengikuti kebenaran. Hidayah ini dikhususkan bagi hamba yang beriman dan menerima syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (at-Taghabun: 11)
4. Hidayah untuk masuk ke dalam surga pada hari kiamat nanti. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini.” (al-A’raf: 43)
Keempat tingkatan hidayah ini bertahap sifatnya. Seorang hamba yang belum mencapai tingkatan kedua tidak akan mendapatkan hidayah tingkatan yang ketiga. Untuk mencapai tingkatan hidayah keempat, ia harus melalui tingkatan yang ketiga. (Basha’ir, 5/313)
Syarah Hadits
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan hadits ini, “Hadits ini dan yang semisalnya mengandung anjuran untuk menyeru kepada hidayah dan kebaikan, keutamaan seorang dai, peringatan dari perbuatan menyeru kepada kesesatan dan penyimpangan, serta besarnya dosa dan akibat yang akan ditanggungnya.”
Hidayah adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh. Setiap orang yang mengajarkan satu bentuk ilmu atau mengarahkan para penuntut ilmu untuk menempuh jalan dalam memperoleh ilmu, dia adalah seorang dai kepada hidayah. Setiap orang yang mengajak kepada amalan saleh yang terkait dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atau hak makhluk, baik secara umum maupun khusus, dia adalah seorang dai kepada hidayah. Setiap orang yang menyampaikan nasihat agama maupun dunia yang akan mendatangkan manfaat secara din (agama), dia adalah seorang dai kepada hidayah. Setiap orang yang mendapatkan hidayah dalam hal ilmu dan amal lalu dia diikuti oleh orang lain, dia adalah dai kepada hidayah. Setiap orang yang membantu orang lain melakukan amalan kebaikan atau kegiatan yang manfaatnya dirasakan secara umum, dia pun termasuk dalam nash hadits ini. Adapun yang berlawanan dengan semua hal di atas maka dia adalah dai kepada kesesatan.
Para penyeru kepada hidayah adalah pemimpin kaum yang bertakwa dan kaum mukminin pilihan. Adapun para penyeru kesesatan adalah orang-orang yang mengajak kepada neraka.
Setiap orang yang membantu orang lain dalam amalan kebaikan dan takwa, dia termasuk dai kepada hidayah. Adapun orang yang membantu orang lain dalam perbuatan dosa dan permusuhan, dia tergolong penyeru kepada kesesatan. (Bahjatul Qulub, hlm. 36—37)
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “mengajak kepada hidayah” artinya menjelaskan hidayah dan mengajak orang lain kepadanya. Misalnya, ia menjelaskan kepada orang lain bahwa dua rakaat shalat dhuha hukumnya sunnah dan seyogianya seorang muslim mengerjakannya. Kemudian penjelasannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka pun mengerjakan shalat dhuha. Maka dari itu, ia akan mendapatkan pahala mereka tanpa mengurangi sedikitpun pahala milik mereka, karena keutamaan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala amat luas.
Contoh lain misalnya, ia menyampaikan kepada orang lain, “Hendaknya kalian menjadikan witir sebagai akhir shalat di malam hari. Janganlah kalian tidur melainkan telah mengerjakan witir. Akan tetapi, barang siapa ingin sekali mengerjakannya pada akhir malam, hendaknya ia mengerjakannya pada akhir malam.” Lantas ia diikuti oleh orang lain dalam hal ini, ia memperoleh pahala mereka. Artinya, setiap orang yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengerjakan witir melalui sebabnya, ia akan memperoleh pahalanya. Demikian juga halnya amalan saleh yang lain.
Keterangan Ulama tentang Hidayah
Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan bahwa hidayah dimulai dengan keterangan dan penjelasan, setelah itu taufik dan ilham. Hal ini setelah adanya keterangan dan penjelasan. Tidak ada jalan untuk mencapai tahap keterangan dan penjelasan kecuali melalui para rasul. Apabila tahap keterangan dan penjelasan telah tercapai, hidayah taufik bisa terwujud. (Fathul Bari 1/211)
Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata, “Demi Allah, pendidikan orang tua tidak akan bermanfaat jika tidak didahului oleh pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap anak tersebut. Sesungguhnya, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih seorang hamba maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaganya semenjak ia kecil. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberinya hidayah menuju jalan kebenaran serta membimbingnya ke arah yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuatnya menyenangi hal-hal yang baik dan akan menjadikan dirinya membenci hal-hal yang buruk.” (Shaidul Khathir hlm. 299)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Setiap hamba benar-benar sangat membutuhkan kontinuitas hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada dirinya ke jalan yang lurus. Sebagai hamba, ia sangat membutuhkan maksud dari doa ini, karena tidak ada jalan keselamatan dari azab dan tidak ada jalan untuk mencapai kebahagiaan melainkan dengan hidayah ini. Hidayah ini pun tidak mungkin terwujud melainkan dengan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (al-Fatawa, 14/37)
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Hidayah akan mendatangkan hidayah berikutnya sebagaimana kesesatan akan mendatangkan kesesatan lainnya. Amalan-amalan kebaikan akan membuahkan hidayah. Semakin bertambah amalan kebaikan seseorang, hidayah pun akan bertambah. Sebaliknya, amalan-amalan kejelekan pun akan membuahkan kesesatan. Hal ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai amalan-amalan kebaikan sehingga Dia membalasnya dengan hidayah dan kemenangan, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala membenci amalan-amalan kejelekan sehingga membalasnya dengan kesesatan dan kecelakaan.” (Tanwir al-Hawalik, 1/338)
Ibnul Qayyim Rahimahullah juga berkata, “Jika seorang hamba beriman kepada Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pedoman hidayah secara umum, ia menerima perintah-perintah di dalamnya dan membenarkan berita-beritanya. Hal ini akan menjadi sebab baginya meraih hidayah lain dengan lebih terperinci lagi, karena hidayah itu tidak ada ujungnya meskipun seorang hamba telah mencapai tingkat hidayah setinggi-tingginya.
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (Maryam: 76) (Tanwir al-Hawalik 1/177)
Mahalnya Nilai Hidayah
Di antara rangkaian peristiwa perang Ahzab yang tersebut dalam riwayat-riwayat yang sahih adalah keikutsertaan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam dalam penggalian dan pembuatan parit sebagai benteng kokoh kota Madinah dari serangan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bersama para sahabat, secara aktif beliau Shallallahu `alaihi wa sallam terlibat langsung menggali, memindahkan, atau mengangkat batu. Dalam suasana yang penuh berkah tersebut, kebersamaan iman, dan ukhuwah, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam mengingatkan para sahabat akan sebuah nikmat agung. Nikmat terbesar pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk hamba-Nya, yaitu hidayah. Terucapkan dengan bentuk bait-bait syair:
Ya Allah, kalau bukan karena Engkau, tidak mungkin kami mendapatkan hidayah
Tidak mungkin pula kami bersedekah dan melaksanakan shalat
Maka turunkanlah ketenangan untuk kami
Dan kokohkanlah kaki-kaki kami saat bertemu musuh
Sesungguhnya mereka telah berbuat melampaui batas terhadap kami
Dan jika mereka memaksakan fitnah, kami tentu akan menolaknya
Dalam surat-surat yang dikirim oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam kepada para raja dan pembesar beberapa negeri—sebagai bukti semangat Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam mengajak manusia kepada hidayah—disebutkan di permulaan surat tentang tingginya nilai hidayah. Di antaranya adalah surat yang ditujukan kepada Heraklius. Mua’wiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersurat:
“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya kepada Heraklius penguasa Romawi, keselamatan hanyalah untuk yang mengikuti hidayah.” (HR. al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 1773)
Hal ini tidak lain karena jalan keselamatan hanya satu, tidak berbilang. Hidayah adalah nikmat terbesar, nikmat yang paling agung. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam ingin menyampaikan hidayah kepada setiap makhluk.
Di masa hidup Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, sebagian orang-orang Yahudi berusaha agar bisa bersin di dekat Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam karena mereka berharap Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam akan mendoakan mereka, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu.” Namun, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam justru mendoakan mereka, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah untuk kalian dan memperbaiki keadaan kalian.”
Tentang hal ini, al-Imam Abu Dawud Rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits melalui riwayat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu. Beliau Radhiyallahu ‘anhu bercerita:
كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ: يَرْحَمُكُمُ اللهُ؛ فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
“Dahulu orang-orang Yahudi berusaha keras untuk dapat bersin di dekat Nabi Muhammad karena berharap beliau mendoakan mereka, ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati kalian.’ Akan tetapi, Nabi Muhammad justru mendoakan, ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah untuk kalian dan memperbaiki keadaan kalian’.”
Disebutkan dalam syarah hadits ini, orang-orang Yahudi berusaha agar mereka bisa bersin di dekat Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam karena mereka berharap beliau Shallallahu `alaihi wa sallam mendoakan rahmat bagi mereka. Namun, karena rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah khusus bagi kaum mukminin, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam mendoakan agar keadaan mereka menjadi lebih baik dengan memperoleh hidayah, taufik, dan iman. (Tuhfatul Ahwadzi dalam syarah hadits ini)
Hidayah adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya hamba yang terpilih yang beruntung mendapatkannya. Ada di antara hamba yang mengharap hidayah dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakannya kepadanya. Ada pula di antara hamba yang mengharapkan hidayah namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberinya karena keadilan dan ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang kejujuran serta kebenaran harapannya. Di antara hamba juga ada yang telah merasakan lezatnya hidayah namun ia tidak menjaganya. Akhirnya, hidayah pun terlepas dari dirinya. Ada juga di antara mereka yang pernah menikmati hidayah kemudian terlepas. Karena rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, hidayah itu kembali kepadanya. Bertaubat dan istighfar (memohon ampun) merupakan jalan terbaik. Banyak hamba yang akhirnya menangis bahagia dengan bertaubat atas dosa-dosa. Ia kembali bersimpuh sebagai tanda ketundukannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia merasakan kesenangan tiada tara seakan-akan terlahir kembali. Seolah-olah ia hidup setelah kematian yang panjang.
Bersabar Menyerukan Hidayah
Sifat sabar mutlak harus dimiliki oleh seseorang yang hendak menyerukan dan menyampaikan hidayah. Tentu tantangan dan ujian akan datang silih berganti. Maksud hati menginginkan hidayah bagi orang yang kita cintai namun justru dibalas dengan penentangan dan permusuhan. Adalah sunnatulah, setiap seruan kepada hidayah kebaikan akan dihadang dengan pengingkaran dan penentangan. Maka dari itu, kesabaran harus menjadi bekal utama seorang dai.
Seorang dai yang menyerukan hidayah tugasnya hanya menyampaikan. Adapun hidayah dan taufik sepenuhnya kembali kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para nabi dan rasul adalah suriteladan bagi setiap penyeru hidayah. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam pernah menggambarkan keadaan para nabi pada hari kiamat nanti. Ada seorang nabi yang datang membawa puluhan pengikut. Ada nabi yang datang hanya dengan dua orang pengikut. Ada pula nabi yang hanya datang dengan seorang pengikut. Bahkan, ada seorang nabi yang datang pada hari kiamat nanti tanpa seorang pengikut pun.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak dapat mengajak ayahnya untuk menerima hidayah. Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak mampu mengarahkan anaknya ke jalan yang lurus. Nabi Luth ‘alaihissalam dimusuhi oleh istrinya sendiri. Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam yang telah berusaha sekuat tenaga agar pamannya Abu Thalib mau menerimah hidayah akhirnya pun harus menerima kenyataan bahwa pamannya meninggal di atas kekafiran.
Sungguh di antara firman Allah lSubhanahu wa Ta’ala yang harus selalu diingat oleh seorang penyeru hidayah adalah:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (al-Qashash: 56)
Seorang dai yang mengajak kepada hidayah tidak boleh berkecil hati ataupun bersedih. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan pahala hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan derajatnya dan mempersiapkan pahala yang terbaik baginya. Ia harus berprasangka baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangkali hari ini orang lain menentang dan memusuhinya, mungkin setelahnya orang tersebut akan menjadi teman dan penolongnya.
Al-Imam Ahmad Rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam pernah mendoakan kejelekan untuk empat orang. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menurunkan firman-Nya:
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat mereka atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali Imran: 128)
Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada mereka. (HR. Ahmad 2/104)
Khatimah
Harapan tentu bukanlah hanya sekadar harapan. Setiap harapan memiliki sebuah konsekuensi: usaha meraihnya. Harapan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mencurahkan hidayah kepada kita di dunia dan di akhirat adalah harapan besar. Karena hidayah adalah sesuatu yang sangat mahal, tentu kita akan selalu berusaha agar hidayah itu tidak terlepas dari diri kita dan tidak lepas pula dari orang-orang yang kita cintai. Maka dari itu, selalu bersyukur dengan menyerahkan hidup dan mati kita hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bingkai ibadah dan amal saleh, adalah langkah terbaik.
Demikian juga doa. Doa sangat bermanfaat sebagai senjata seorang mukmin. Tentang hal ini, al-Imam Abu Dawud Rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Rafi’ bin Sinan Radhiyallahu ‘anhu. Ketika beliau masuk Islam, istrinya menolak untuk masuk Islam. Istrinya lantas menemui Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam dan berkata, “Anak itu adalah putriku.” Sementara Rafi’ berkata, “Anak itu adalah putriku.” Kemudian Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda kepada Rafi’, “Duduklah di ujung sana.” Demikian pula Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam berkata kepada istri Rafi’, “Duduklah di ujung sana.” Kemudian Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan putri mereka duduk di antara keduanya. Setelah itu Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Panggillah putri kalian.” Ternyata anak itu lebih memilih ibunya. Lalu Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, berikanlah hidayah kepadanya.” Kemudian anak itu pun memilih ayahnya. Lantas Rafi’ pun membawanya pergi. Hadits ini disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (2/422).
Akhirnya, banyaklah memohon hidayah. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam sering membaca doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon selalu dari-Mu hidayah, takwa, sikap ‘iffah, dan kekayaan.” (HR. Muslim no. 4898)
Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.
Sumber: Majalah Asy Syariah