Hamba Senantiasa Membutuhkan Kesabaran

HAMBA SENANTIASA MEMBUTUHKAN KESABARAN

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abdul Jabbar

Seorang hamba tidak terlepas dari menjalankan perintah yang wajib dia laksanakan, larangan yang wajib untuk dia tinggalkan, takdir yang pasti terjadi, dan kenikmatan yang wajib dia syukuri kepada Pemberinya. Karena semua keadaan ini tidak mungkin lepas darinya, dia pun wajib bersabar sampai meninggal.

Setiap yang dihadapi oleh hamba di dunia ini tidak terlepas dari dua keadaan: sesuai dengan keinginan hawa nafsunya atau bertentangan dengannya. Dia selalu membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan.

Keadaan yang sesuai dengan keinginannya misalnya kesehatan, keselamatan, kedudukan, harta, dan segala bentuk kenikmatan yang mubah. Seorang hamba lebih membutuhkan kesabaran menghadapi keadaan ini, ditinjau dari beberapa sisi:

  1. Tidak terbuai, terperdaya, sombong, dan terlalu gembira yang tidak dicintai oleh Allah.
  2. Tidak berlebihan dalam meraihnya dan menggunakannya, karena akan berakibat sebaliknya.
  3. Barang siapa berlebihan dalam makan, minum, dan jima’, akibatnya akan terhalang dari semua itu.
  4. Bersabar dalam menunaikan hak Allah ‘azza wa jalla yang ada padanya, tidak menyia-nyiakannya sehingga Allah ‘azza wa jalla akan mencabutnya.
  5. Bersabar untuk tidak menggunakannya dalam hal yang haram.

Dia tidak boleh membiarkan dirinya melakukan segala keinginannya karena akan membawa dirinya terjatuh pada perkara yang terlarang. Sebaliknya, apabila terlalu membatasi diri, dia hanya akan menyusahkan dirinya sendiri.

Tidak akan mampu bersabar atas kenikmatan kecuali orang yang shiddiqun. Sebagian salaf berkata,

الْبَلَاءُ يَصْبِرُ عَلَيْهِ الْمُؤْمِنُ وَالْكَافِرُ، وَ يَصْبِرُ عَلَى الْعَافِيَةِ إِلاَّ الصِّدِّيقُونَ

“Bersabar atas musibah mampu dilakukan oleh seorang mukmin atau kafir. Bersabar atas kenikmatan tidak mampu dilakukan kecuali oleh shiddiqun.”

Abdur Rahman bin Auf radhiallahu ‘anhu berkata,

ابْتُلِينَا بِالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنَا وَابْتُلِينَا بِالسَّرَّاءِ فَلَمْ نَصْبِرْ

“Ketika kami diuji dengan musibah, kami mampu bersabar. Akan tetapi, ketika kami diuji dengan kenikmatan, kami tidak mampu bersabar.” (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)

Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla mengingatkan hamba-Nya dari fitnah (ujian) harta, istri, dan anak,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُلۡهِكُمۡ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَلَآ أَوۡلَٰدُكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.” (al-Munafiqun: 9)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (at-Taghabun: 14)

Yang dimaksud “musuh” dalam ayat ini bukanlah seperti apa yang dipahami oleh kebanyakan manusia, yaitu permusuhan yang bermakna saling membenci. Akan tetapi, maknanya adalah kecintaan terhadap mereka dapat menghalangi amalan hijrah, jihad, menuntut ilmu, bersedekah, dan yang lain.

Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Beliau radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Mereka adalah sebagian penduduk Makkah yang telah masuk Islam dan ingin mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dicegah oleh istri dan anak mereka. Ketika mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyaksikan orang-orang telah memperdalam ilmu agama, mereka bertekad memberi hukuman kepada istri dan anak mereka.”

Kemudian Allah ‘azza wa jalla menurunkan,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ

(HR. at-Tirmidzi dan beliau berkata, “Hasan sahih.”; dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)

Betapa banyak hamba yang terluput dari kemuliaan dan kebaikan karena istri dan anaknya. Dalam hadits disebutkan,

الْوَلَدُ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ

“Anak dapat menyebabkan kebakhilan dan sifat pengecut.” (Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)

Seorang sahabat yang mulia, Buraidah radhiallahu ‘anhu, pernah bercerita, “Dahulu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah di depan kami, datanglah Hasan dan Husain radhiallahu ‘anhuma yang mengenakan gamis merah. Keduanya berjalan lalu tersandung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun turun dari mimbar lalu menggendongnya seraya meletakkan di depan beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Sungguh benar firman Allah ‘azza wa jalla,

إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (at-Taghabun: 15)

Aku tidak mampu bersabar melihat kedua anak ini berjalan lalu tersandung sehingga aku memutus khotbahku dan menggendong keduanya’.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)

Ini menunjukkan kasih sayang, kelembutan, dan cinta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak kecil; untuk mengajari umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya memiliki sifat kasih sayang, lemah lembut, dan mencintai anak kecil.

Sabar kala mendapat kenikmatan itu lebih sulit, karena dia memiliki pilihan. Orang yang lapar namun tidak memiliki makanan tentu lebih mampu bersabar dibandingkan ketika makanan terhidang. Seseorang lebih mampu bersabar menahan nafsu kala tidak ada wanita di hadapannya, daripada ketika ada wanita di depannya.

(Diambil dari kitab ‘Uddatu ash-Shabirin, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hlm. 65—66 dengan sedikit perubahan)

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.