HAL-HAL YANG MEMALINGKAN DARI KEBENARAN
Asy-Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah
Ketujuh ~ Taqlid
Orang yang taqlid (membebek) dinamakan oleh para Salaf sebagai imma’ah (ikut apa kata orang –pent), dan orang yang taqlid selalu mengikuti pendapat seorang ulama secara mutlak pada semua masalah. Semacam ini tidak diragukan lagi berarti dia telah memberi makna ma’shum kepada ulama tersebut tanpa dia sadari. Jadi tidak ada seorang pun yang ucapannya benar secara mutlak kecuali Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, karena kebenaran memang selalu menyertai beliau di mana pun beliau berada.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Jadi pahala didapatkan dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu alaihi was sallam, pertolongan akan didapatkan bagi yang mau menolong beliau, kebahagiaan akan didapatkan oleh siapa saja yang mengikuti beliau, shalawat dari Allah dan malaikat-Nya akan tercurah kepada orang-orang yang mengimani beliau dan mengajarkan agama-Nya kepada manusia, dan kebenaran itu selalu menyertai beliau di mana pun beliau berada.” [1]
Jadi wajib atas seorang hamba yang telah terkena beban syari’at untuk mengikuti kebenaran ke manapun, bukan mengikuti gurunya ke manapun. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi akan mendorong orangnya untuk berusaha mencari kebenaran dan menelitinya. Berbeda dengan orang yang suka taqlid yang tidak menggunakan nalarnya, dungu pikirannya, dan akalnya tertutupi.
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah berkata:
الْمُقَلِّدُ رَاضٍ أَنْ يُغْبَنَ عَقْلُهُ.
“Orang yang sukanya taqlid dia ridha akalnya ditutupi atau ditipu.” [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فَإِنَّ التَّقْلِيْدَ لَا يُوْرِثُ إِلَّا بَلَادَةً.
“Sikap taqlid tidak akan mewariskan kecuali kedunguan.” [3]
Apa yang beliau katakan ini memang benar tanpa ada keraguan padanya, karena maksimal yang mampu dilakukan oleh orang yang suka taqlid adalah menyandarkan sebuah pendapat kepada seorang ulama, lalu dia mengambil pendapat tersebut dalam keadaan tidak mengetahui apa dalilnya, apakah ulama tersebut memiliki dalil yang shahih, apakah dalil tersebut tepat digunakan untuk pendalilan? Dan dia tidak mengetahui hakekat pendapat yang menyelisihi ulama tersebut dan juga tidak mengetahui di mana saja letak perselisihannya, apa lagi untuk menyaringnya. Jadi cara semacam ini hanya akan memariskan kedunguan dan kekakuan berfikir bagi orangnya.
Al-Allamah As-Sa’dy rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang yang terbiasa hanya mengikuti pendapat-pendapat yang ada, dia tidak akan peduli apakah pendapat-pendapat tersebut dibangun di atas dalil yang shahih atau dalil yang lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali, hal itu karena dia tidak menggunakan pikirannya, tidak terdorong untuk bangkit mencari sesuatu yang tinggi, dan tidak pula berusaha menambah kekuatan berfikir dan menalar.” [4]
Jadi taqlid termasuk hal-hal yang terbesar yang memalingkan dari kebenaran, karena pelakunya hanya mengikuti pendapat seorang ulama dan membelanya secara mutlak.
Al-Wazir Ibnu Hubairah rahimahullah berkata:
مِنْ مَكَايِدِ الشَّيْطَانِ أَنْ يُقِيْمَ أَوْثَانًا فِيْ الْمَعْنَى تُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ مِثْلَ أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ الْحَقُّ، فَيَقُوْلُ: هَذَا لَيْسَ بِمَذْهَبِنَا تَقْلِيْدًا لِمُعَظَّمٍ عِنْدَهُ قَدْ قَدَّمَهُ عَلَى الْحَقِّ.
“Diantara makar syaithan adalah dengan mendirikan berhala-berhala maknawi yang disembah selain Allah, seperti seseorang yang kebenaran telah jelas baginya namun dia tolak dengan dalih ‘Ini bukan madzhab kami’ hal itu dia katakan semata-mata karena mengikuti tokoh yang dia agungkan yang lebih dia utamakan dibandingkan kebenaran.” [5]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وَلَيْسَ عِنْدَ أَكْثَرِ النَّاسِ سِوَى رُسُوْمٌ تَلَقَّوْهَا عَنْ قَوْمٍ مُعَظَّمِيْنَ عِنْدَهُمْ، ثُمَّ لِإِحْسَانِ ظَنِّهِمْ بِهِمْ قَدْ وَقَفُوْا عِنْدَ أَقْوَالِهِمْ وَلَمْ يَتَجَاوَزُوْهَا إِلَى غَيْرِهَا فَصَارَتْ حِجَاباً لَهُمْ وَأَيُّ حِجَابٍ.
“Mayoritas manusia tidak memiliki pegangan selain perkataan-perkataan yang mereka ambil dari orang-orang yang mereka anggap mulia, kemudian karena baik sangka terhadap mereka menjadikan mereka berhenti pada pendapat-pendapat mereka saja dan tidak mau melewatinya untuk memperhatikan pendapat lain, sehingga pendapat mereka menjadi tirai yang menutupi dari kebenaran dengan sekuat-kuatnya.” [6]
Padahal tidak seorang ulama pun yang semuan pendapatnya benar, bahkan semuanya bisa diambil pendapatnya dan bisa juga ditolak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
لَيْسَ مِنْ شَرْطِ الصِّدَّيْقِ أَنْ يَكُوْنَ قُوْلُهُ كُلُّهُ صَحِيْحًا، وَعَمَلُهُ كُلُّهُ سُنَّةً، إِذْ كَانَ يَكُوْنُ بِمَنْزِلَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Bukan termasuk syarat seorang yang mencapai derajat shiddiq perkataannya harus benar semua dan perbuatannya menjadi sunnah semua, jika hal itu terjadi maka akan menjadi seperti kedudukan Nabi shallallahu alaihi was sallam.” [7]
Maka jika tidak mungkin kebenaran terdapat pada perkataan seorang ulama saja secara mutlak, engkau akan mengetahui betapa buruk akibat dari sikap taqlid yang akan menyeret untuk meninggalkan kebenaran.
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata: “Yang wajib atas siapa saja yang sampai kepadanya perintah Rasul shallallahu alaihi was sallam dan dia mengetahuinya dengan baik untuk menjelaskannya kepada umat dan menasehati mereka, serta memerintahkan mereka agar mengikuti perintah beliau walaupun hal itu bertentangan dengan pendapat salah seorang yang mulia di umat ini, karena sesungguhnya perintah Rasulullah shallallahu alaihi was sallam lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti dibandingkan pendapat seseorang yang dimuliakan yang terkadang dia menyelisihi perintah beliau pada sebagian perkara tanpa kesengajaan.” [8]
Al-Allamah Abdul Qadir bin Badran Ad-Dimasyqy rahimahullah berkata:
التَّقْلِيْدُ يُبْعِدُ عَنْ الْحَقِّ وَيُرَوِّجُ الْبَاطِلَ.
“Taqlid akan akan menjauhkan dari kebenaran dan akan menyuburkan kebathilan.” [9]
Sebagian orang jika engkau berbicara dengannya dan engkau tunjukkan pendapat yang menyelisihi pendapatnya serta engkau ingatkan sisi kesalahan hukum masalah yang dia yakini, dia segera membantahmu dengan dalih: “Apakah engkau merasa lebih berilmu dibandingkan dengan imam fulan?!”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Jika dikatakan kepada orang yang mencari petunjuk dan bimbingan ini, ‘Apakah engkau merasa lebih berilmu dibandingkan dengan imam fulan?!’ Maka ucapan semacam ini adalah sanggahan yang rusak, karena imam fulan tersebut dalam masalah ini telah diselisihi oleh ulama lain yang selevel dengannya, bahkan yang menyelisihinya hingga yang selevel dengan Abu Bakr, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Mu’adz, dan selain mereka. Jadi sebagaimana para Shahabat sebagian mereka selevel bagi sebagian yang lain pada perkara-perkara yang diperselisihkan, dan mereka saja jika berselisih pada sebuah perkara mereka mengembalikan apa yang mereka perselisihkan tersebut kepada Allah dan Rasul, padahal bisa jadi sebagian mereka lebih berilmu pada perkara-perkara yang lain, maka seharusnya demikian pula cara menyikapi perkara-perkara yang diperselisihkan oleh para imam.” [10]
Al-Allamah Al-Mu’allimy rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwasanya Allah Ta’ala terkadang menjatuhkan sebagian orang-orang yang ikhlash pada sebuah kesalahan sebagai ujian bagi yang lain; yaitu apakah mereka akan mengikuti kebenaran dan meninggalkan pendapat orang yang salah tersebut, ataukah justru mereka tertipu dengan keutamaan dan kemuliaannya?
Adapun ulama yang salah tersebut mendapatkan udzur, bahkan dia mendapatkan pahala karena ijtihadnya dan tujuannya yang baik serta tidak meremehkan usaha. Tetapi orang yang mengikuti semata-mata karena tertipu dengan nama besarnya tanpa mau memperhatikan hujjah-hujjah yang sesungguhnya yang berasal dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi was sallam, maka dia tidak mendapatkan udzur, bahkan dia berada dalam bahaya yang besar.
Ketika Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu anha pergi ke Bashrah sebelum pecahnya Perang Jamal, Amirul Mu’minin Ali radhiyallahu anhu menyusulkan putra beliau Al-Hasan dan Ammar bin Yasir radhiyallahu anhuma untuk menasehati manusia. Diantara perkataan Ammar kepada penduduk Bashrah adalah:
وَاللهِ إِنَّهَا لَزَوْجَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَلَكِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ابْتَلاَكُمْ، لِيَعْلَمَ إِيَّاهُ تُطِيْعُوْنَ أَمْ هِيَ.
“Demi Allah, sesungguhnya dia adalah istri dari Nabi kalian shallallahu alaihi was sallam di dunia dan akhirat, tetapi Allah Tabaaraka wa Ta’aala menguji kalian untuk mengetahui apakah kalian lebih mentaati beliau ataukah mentaatinya.” (HR. Al-Bukhary no. 7110 –pent)
Termasuk contoh terbesar yang juga semakna dengan ini adalah tuntutan Fathimah radhiyallahu anha agar mendapat warisan dari ayahnya shallallahu alaihi was sallam. Dan ini merupakan ujian besar bagi Ash-Shiddiq (Abu Bakr) radhiyallahu anhu. Namun Allah mengokohkannya menghadapi ujian ini.” [11]
Namun hal ini bukan berarti seorang penuntut ilmu hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam memahami nash-nash sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, dan hal itu menyebabkan mereka terjatuh pada pendapat-pendapat yang nyeleneh dan madzhab-madzhab yang dibuang, sebagaimana telah diketahui.
Bahkan yang wajib atas penuntut ilmu untuk meminta bantuan para ulama dalam memahami nash-nash. Jadi di sana ada perbedaan antara taqlid kepada seorang ulama dengan meminta bantuan kepadanya dalam memahami.
Al-Allamah Al-Amir Ash-Shan’any rahimahullah berkata:
وَفَرْقٌ بَيْنَ تَقْلِيْدِ الْعَالِمِ فِيْ جَمِيْعِ مَا قَالَهُ وَبَيْنَ الْإِسْتِعَانَةِ بِفَهْمِهِ فَإِنَّ الْأَوَّلَ أَخَذَ بِقَوْلِهِ مِنْ غَيْرِ نَظَرٍ فِيْ دَلِيْلٍ مِنْ كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ. وَالْإِسْتِعَانَةِ بِفَهْمِهِ وَهُوَ الثَّانِي بِمَنْزِلَةِ الدَّلِيْلِ فِيْ الطَّرِيْقِ وَالْخِرِّيْتِ الْمَاهِرِ لِابْنِ السَّبِيْلِ فَهُوَ دَلِيْلٌ إِلَى دَلِيْلٍ.
“Dan perbedaan antara taqlid kepada seorang ulama pada semua yang dia katakan dengan meminta bantuan dengan pemahamannya adalah: orang yang pertama mengambil pendapat ulama tersebut tanpa memperhatikan kepada dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah sama sekali. Sedangkan meminta bantuan dengan pemahaman ulama yaitu yang kedua, ulama tersebut posisinya seperti seorang penunjuk jalan dan yang paham dengan baik sebuah daerah yang dia menunjukkan jalan bagi musafir, jadi seorang ulama adalah penunjuk kepada sesuatu yang telah ada penunjuknya.” [12]
Hal ini kami sebutkan karena sebagian orang ada yang melampaui batas dan keterlaluan dalam menentang taqlid sampai-sampai menyendiri dari para ulama dan tidak mau mengambil faedah dari ilmu mereka, serta membuang sarana yang termasuk paling besar dalam memahami agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فَأَئِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ وَسَائِلُ وَطُرُقٌ وَأَدِلَّةٌ بَيْنَ النَّاسِ وَبَيْنَ الرَّسُوْلِ يُبَلِّغُوْنَهُمْ مَا قَالَهُ وَيُفَهِّمُوْنَهُمْ مُرَادَهُ بِحَسَبِ اجْتِهَادِهِمْ وَاسْتِطَاعَتِهِمْ.
“Jadi para imam kaum Muslimin yang mereka ikuti adalah sarana, jalan, dan penunjuk yang menghubungkan antara manusia dengan Rasul. Para ulama menyampaikan kepada manusia apa yang beliau katakan dan memahamkan maksudnya sesuai ijtihad dan kemampuan mereka.” [13]
Bersambung In Syaa Allah
Alih Bahasa: Abu Almass
Rabu, 5 Muharram 1436 H
*********************************
Catatan kaki:
[1] Minhaajus Sunnah, V/233.
[2] Mudaawaatun Nufuus hal. 74.
[3] Minhaajus Sunnah, V/281.
[4] Al-Munaazharaat Al-Fiqhiyyah hal. 37
[5] Lawaami’ul Anwaar, II/465.
[6] Thariiqatul Hijratain, hal. 215, cetakan Al-Maktabah As-Salafiyyah, tahqiq Muhiuddin Al-Khathib.
[7] Iqtidhaa’ush Shiraathil Mustaqiim, II/106.
[8] Al-Hikamul Jadiirah bil Idzaa’ah, hal. 34.
[9] Al-Madkhal Ilaa Madzhabil Imaam Ahmad hal. 495.
[10] Al-Fataawaa Al-Kubraa, V/126.
[11] Raf’ul Isytibaah ‘An Ma’nal Ibaadah wal Ilah, hal 152-153.
[12] Irsyaadun Nuqqaad Ilaa Taisiiril Ijtihaad, hal 105.
[13] Majmuu’ul Fataawaa, XX/224.