HAL-HAL YANG MEMALINGKAN DARI KEBENARAN
Asy-Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah
Keenam ~ Cinta Kedudukan Dan Kepemimpinan
Tidak diragukan lagi bahwa bahwa jiwa memiliki keinginan-keinginan yang tercela berupa cinta dunia, ingin mendapatkan kemuliaan, berlomba-lomba mendapatkan harta, ingin memiliki kedudukan, dan hal-hal lainnya yang tercela menurut syari’at.
Tabiat dasar manusia adalah zhalim dan suka melanggar hak orang lain, sebagimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًا.
“Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Terkadang muncul sebab-sebab yang membangkitkan hal-hal yang tersembunyi dalam jiwa itu, lalu dengan sebab hawa nafsu hal itu menampakkan apa yang terpendam dalam jiwa yang sebelumnya tersembunyi, akhirnya seorang hamba pun menolak kebenaran dalam keadaan dia mengetahui bahwa hal itu sebagai kebenaran, karena dia lebih mengikuti hawa nafsunya dan karena ingin kedudukannya tidak hilang, atau karena ingin meraih kepentingan dunia.
Jadi engkau menjumpai orang-orang semacam mereka ini sengaja menyelisihi kebenaran dalam keadaan mereka mengetahuinya, karena mereka ingin meraih dunia. Kemudian bersamaan dengan itu, mereka menampakkan bahwa mereka membela kebenaran.
Abul Wafa’ Ali bin Aqil Al-Hanbaly rahimahullah berkata: “Cinta kepemimpinan, cenderung kepada dunia dan membanggakannya, menyibukkan diri dengan kelezatannya dan dengan hal-hal yang menyeret kepada syahwat yang tidak diperbolehkan menurut syari’at dan tidak dibenarkan oleh akal sehat, yang semacam ini termasuk sebab-sebab yang menjadi penghalang dan memalingkan dari kebenaran.” [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang ingin mendapatkan kepemimpinan walau dengan cara yang bathil, dia akan ridha dengan ucapan yang padanya terdapat sanjungan kepadanya walaupun bathil, dan sebaliknya dia akan membenci ucapan yang mengandung celaan kepadanya walaupun sesuai dengan fakta yang ada. Adapun seorang mu’min yang jujur keimanannya maka dia akan ridha dengan perkataan yang benar, baik yang menguntungkan dirinya maupun yang merugikannya. Dan dia akan membenci ucapan yang bathil, baik yang menguntungkan dirinya maupun yang merugikannya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, dan Dia membenci kedustaan dan kezhaliman.” [2]
Asy-Syaikh Shalih bin Mahdy Al-Muqbily rahimahullah: “Kita tidak menjumpai perselisihan kecuali pada perkara yang kebenaran telah jelas padanya, sementara orang yang menyelisihi kebenaran melontarkan pendapat yang sebenarnya tidak layak untuk dijadikan sandaran. Jadi dia hanya menampakkan seakan-akan dia memiliki dalil, padahal pendorong sebenarnya adalah melanggar kebenaran karena ingin meraih kepentingan duniawi.” [3]
Al-Allamah Abdul Lathif bin Abdurrahman Alus Syaikh rahimahullah berkata ketika menjelaskan jenis-jenis orang-orang yang menentang kebenaran: “Jenis kedua: para pemimpin pemilik harta yang mereka terfitnah dengan dunia dan syahwat mereka, karena mereka menganggap bahwa kebenaran akan menghalangi kebanyakan yang mereka senangi dan syahwat menyimpang yang mereka sukai, sehingga mereka pun tidak mempedulikan orang yang mengajak kepada kebenaran dan tidak pula menerima darinya.” [4]
Siapa saja yang meninggalkan kebenaran dan berpaling darinya karena lebih mengutamakan kedudukan atau harta, maka pada dirinya terdapat keserupaan dengan orang-orang Yahudi, karena sesungguhnya ulama Bani Israil dahulu mereka mendapatkan penghasilan dengan memanfaatkan orang-orang yang kaya diantara mereka. Maka tatkala nabi kita Muhammad shallallahu alaihi was sallam diutus, mereka mengetahui bahwa beliau benar-benar seorang rasul yang membawa kebenaran, namun mereka mengingkarinya dan kafir kepada beliau serta menyembunyikan apa yang mereka ketahui tentang Bani Israil. Itu semua mereka lakukan karena khawatir kehilangan harta yang telah diberikan untuk mereka oleh orang-orang kaya mereka. Jadi mereka menyembunyikan kebenaran agar harta tersebut tetap mereka dapatkan.
Abul Muzhaffar As-Sam’any rahimahullah berkata: “Firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَشْتَرُوْا بِآيَاتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا.
(Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (QS. Al-Baqarah: 41
Maksudnya para ulama dan ahbar mereka dahulu mendapatkan penghasilan dari orang-orang yang kaya dan bodoh diantara mereka. Jadi mereka pun takut akan hilang penghasilan mereka itu jika mereka beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi was sallam. Maka mereka pun merubah-merubah sifat beliau (dalam Taurat –pent) dan menyembunyikan nama beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat dengan harga yang rendah.” [5]
Kedudukan, kemuliaan, dan kepemimpinan, ini semua telah menyeret para tokoh Arab untuk kafir terhadap nabi kita Muhammad shallallahu alaihi was sallam, memerangi, dan memusuhi beliau, padahal mereka mengetahui dan mengakui kebenaran dari apa yang beliau dakwahkan.
Al-Miswar bin Makhramah radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Jahl yang merupakan saudara dari ibunya: “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad telah berdusta sebelum dia mengatakan apa yang dia katakan (sebelum mengaku nabi –pent)?”
Abu Jahl menjawab: “Wahai keponakanku, demi Allah dahulu Muhammad di tengah-tengah kami ketika dia masih muda, dia dijuluki sebagai orang yang terpercaya, kami tidak pernah mendapatinya berdusta sama sekali. Maka tatkala dia telah ditumbuhi oleh uban, dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.”
Maka Al-Miswar bertanya lagi: “Wahai pamanku, kalau demikian kenapa kalian tidak mengikutinya?”
Abu Jahl menjelaskan: “Wahai keponakanku, kami dan Bani Hasyim saling memperebutkan kemuliaan. Mereka memberi makan (orang yang berhaji ke Baitullah –pent) dan kami pun memberi makan, mereka memberi minum dan kami pun memberi minum, mereka memberi perlindungan dan kami pun memberi perlindungan. Maka ketika kami sedang dalam puncak persaingan dan kami seperti dua ekor kuda yang tengah berlomba, tiba-tiba mereka mengatakan, ‘Diantara kami ada yang menjadi seorang nabi’, maka bagaimana mungkin hal ini bisa dikalahkan?!” [6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Abu Thalib walaupun dia mengetahui bahwa Muhammad adalah rasul utusan Allah dan dia mencintai beliau, namun kecintaannya kepada beliau bukanlah kecintaan karena Allah, tetapi dia mencintai beliau semata-mata karena beliau adalah keponakannya. Jadi dia mencintai beliau karena faktor kekerabatan. Dan jika dia menginginkan beliau mendapatkan kemenangan, maka hal itu semata-mata karena dengan pembelaannya kepada beliau, dia merasa akan ikut mendapatkan kemuliaan dan kepemimpinan juga. Jadi pangkal kecintaannya adalah kepemimpinan. Oleh karena inilah ketika beliau menawarkan kepadanya agar bersyahadat menjelang kematiannya, dia menganggap bahwa mengakui syahadat akan menyebabkan hilangnya agama yang dia cintai. Jadi agamanya lebih dia cintai dibandingkan keponakannya, sehingga dia pun tidak mau menyatakan syahadat.” [7]
Asy-Syaukany rahimahullah berkata: “Terkadang seseorang tidak mau berbicara yang benar karena dia ingin tetap menjaga apa yang telah dia peroleh berupa harta dan kedudukan dari negara. Juga terkadang seseorang tidak mau berbicara yang benar yang menyelisihi keyakinan manusia, karena dia ingin mendapatkan simpati dari orang-orang awam atau menjaga perasaan mereka dan khawatir mereka lari darinya. Dan terkadang dia tidak mau berbicara yang benar karena ambisi yang dia sangka dan dia harapkan akan bisa diraih dari negara, atau dari seluruh manusia di masa yang akan datang.” [8]
Para ulama juga telah menyebutkan pengalaman mereka bersama orang-orang yang lebih mengutamakan kebathilan dan persaksian terhadap pengakuan mereka bahwa diri mereka dalam kesesatan serta lebih mengutamakannya atas petunjuk.
Diantaranya adalah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah: “Saya telah berdiskusi dengan sebagian ulama Nashara hampir seharian penuh. Ketika kebenaran telah jelas baginya, maka dia pun terbungkam. Ketika kami hanya berdua, saya katakan kepadanya: “Sekarang apa yang menghalangimu untuk mengikuti kebenaran?!” Maka dia menjawab: “Jika aku mendatangi keledai-keledai itu –memang demikian yang dia ucapkan– maka mereka membentangkan permadani di bawah kaki hewan tungganganku, mereka menjadikan diriku sebagai hakim ketika muncul persengketaan dalam urusan harta dan wanita mereka, dan mereka tidak pernah melanggar apa yang aku perintahkan kepada mereka. Sementara aku ini tidak bisa bekerja, tidak hafal Al-Qur’an, tidak mengerti ilmu nahwu dan fikih, jadi jika aku masuk Islam niscaya aku akan berkeliling di pasar-pasar untuk mengemis kepada manusia. Maka siapa yang merasa hidupnya akan enak dengan cara semacam ini?!” Maka saya jawab: “Hal ini tidak akan terjadi, bagaimana bisa jika engkau lebih mengutamakan keridhaan-Nya atas hawa nafsumu, engkau menyangka kepada Allah bahwa Dia akan menghinakan dan merendahkan dirimu serta menjadikan dirimu kekurangan?! Anggaplah hal itu akan menimpamu, maka sesungguhnya apa yang engkau peroleh berupa kebenaran dan keselamatan dari adzab neraka serta dari kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya, itu semua jauh lebih sempurna sebagai ganti dari apa yang terluput darimu.” Maka dia menjawab: “Aku akan beriman jika Allah telah mengizinkan.” Maka saya bantah: “Tidak boleh berdalih dengan takdir, seandainya takdir bisa dijadikan alasan, tentu hal itu bisa dijadikan alasan oleh Yahudi untuk mendustakan kerasulan Al-Masih (Isa bin Maryam) dan akan dijadikan dalih pula oleh orang-orang musyrik untuk mendustakan para rasul. Apalagi sebenarnya kalian adalah orang-orang yang mendustakan takdir, maka bagaimana kok bisa engkau menjadikannya sebagai dalih?!” Maka dia pun menjawab: “Sekarang tinggalkanlah kami dari membicarakan hal ini dan cukupkanlah!” [9]
Bersambung In Syaa Allah …
Alih Bahasa: Abu Almass
Ahad, 25 Dzulhijjah 1435 H
****************************
Catatan kaki:
[1] Al-Waadhih Fii Ushuulil Fiqh, I/522.
[2] Majmu’ul Fataawa, X/600.
[3] Al-‘Alamusy Syaamikh Fii Tafdhiilil Haqq ‘Alal Aabaa’i wal Masyayikh, hal. 365.
[4] ‘Uyuunur Rasaa-il, II/650.
[5] Tafsiirul Qur’an, I/72.
[6] Miftaahu Daaris Sa’aadah, I/93.
[7] Al-Fataawaa Al-Kubraa, VI/244.
[8] Adabuth Thalab wa Muntahal Arib, hal. 41.
[9] Hidaayatul Hayaaraa Fii Ajwibatil Yahuudi wan Nashaaraa, hal. 121.