HAL-HAL YANG MEMALINGKAN DARI KEBENARAN
” MEYAKINI ORANG YANG DI ATAS KEBATHILAN SEBAGAI ORANG-ORANG YANG DI ATAS KEBENARAN ” [ Bagian Ketiga ]
Asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah
Termasuk sebab terbesar yang memalingkan dari kebenaran adalah menganggap bahwa orang yang berada di atas kebathilan sebagai orang yang berada di atas kebenaran, dan orang yang menyelisihinya dialah yang berada di atas kebathilan. Maka orang semacam ini berat baginya untuk meninggalkan kesesatan dan kebathilannya kecuali jika Allah menghendaki. Awal mula munculnya hal yang memalingkan dari kebenaran ini sifatnya meluas di tengah-tengah masyarakat bersama kemunculan kelompok Khawarij. Jadi yang pertama kali menempuh keyakinan semacam ini di tengah-tengah umat ini adalah orang-orang Khawarij.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وَأَوَّلُ مَنْ ضَلَّ فِيْ ذَلِكَ هُمْ الْخَوَارِجُ الْمَارِقُوْنَ حَيْثُ حَكَمُوْا لِنُفُوْسِهِمْ بِأَنَّهُمْ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّتِهِ وَأَنَّ عَلِيًّا وَمُعَاوِيَة وَالْعَسْكَرِيْنَ هُمْ أَهْلُ الْمَعْصِيَةِ وَالْبِدْعَةِ فَاسْتَحَلُّوْا مَا اسْتَحَلُّوْهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ.
“Pertama kali yang sesat dalam hal tersebut adalah Khawarij yang keluar dari agama ini di mana mereka menganggap diri merekalah yang berpegang teguh dengan Kitab Allah dan Sunnah-Nya, dan mereka menganggap bahwa Ali dan Mu’awiyah serta pasukan di kedua belah pihak sebagai orang-orang yang fanatik terhadap kelompoknya dan melakukan kebid’ahan, sehingga mereka pun menghalalkan apa yang mereka anggap halal (darah, harta dan kehormatan –pent) dari kaum Muslimin.” [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata ketika menjelaskan bagaimana orang-orang Khawarij itu memutarbalikkan fakta:
حَتَّى قَدْ يُبَدِّلُوْنَ الْأَمْرَ فَيَجْعَلُوْنَ الْبِدْعَةَ الَّتِيْ ذَمَّهَا أُولَئِكَ هِيَ السُّنَّةُ وَالسُّنَّةُ الَّتِيْ حَمِدَهَا أُولَئِكَ هِيَ الْبِدْعَةُ وَيَحْكُمُوْنَ بِمُوْجِبِ ذَلِك حَتَّى يَقَعُوْا فِيْ الْبِدَعِ وَالْمُعَادَاةِ لِطَرِيْقِ أَئِمَّتِهِمْ السُّنِيَّةِ وَفِيْ الْحُبِّ وَالْمُوَالَاةِ لِطَرِيْقِ الْمُبْتَدِعَةِ الَّتِيْ أَمَرَ أَئِمَّتُهُمْ بِعُقُوْبَتِهِمْ وَيَلْزَمُهُمْ تَكْفِيْرَ أَئِمَّتِهِمْ وَلَعْنَهُمْ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُمْ وَقَدْ يَلْعَنُوْنَ الْمُبْتَدِعَةَ وَتَكُوْنُ اللَّعْنَةُ وَاقِعَةً عَلَيْهِمْ أَنْفُسِهِمْ ضِدَّ مَا يَقَعُ عَلَى الْمُؤْمِنِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَا ترَوْنَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللهُ عَنِّيْ سَبَّ قُرَيْشٍ يَسُبُّوْنَ مُذَمَّمًا وَأَنَا مُحَمَّدٌ.
“Sampai terkadang mereka memutarbalikkan perkara dengan menganggap bid’ah yang mereka cela sebagai Sunnah dan menganggap Sunnah yang mereka puji sebagai bid’ah. Sebagai konskwensinya mereka pun terjatuh ke dalam bid’ah dan memusuhi jalan para pemimpin mereka (para Shahabat –pent) yang sesuai dengan As-Sunnah, sebaliknya mereka mencintai dan bersikap loyal kepada jalan yang ditempuh oleh para ahli bid’ah yang para pemimpin mereka (para Shahabat –pent) memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman terhadap mereka. Dan hal itu menyebabkan mereka untuk mengkafirkan para pemimpin mereka, melaknat mereka, dan berlepas diri dari mereka. Dan terkadang mereka melaknat para ahli bid’ah, sehingga laknat itu menimpa diri mereka sendiri dan tidak menimpa seorang mu’min.
Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
“Tidakkah kalian memperhatikan bagaimana Allah memalingkan celaan orang-orang Quraisy yang ditujukan kepadaku, mereka mencela dengan mengatakan bahwa aku adalah orang yang tercela, padahal aku adalah Muhammad (yang artinya orang yang terpuji –pent).” [2]
Sebaliknya mereka ini mencela para ahli bid’ah yang mereka anggap orang lain, padahal mereka sendirilah yang sebagai ahli bid’ah. Hal ini seperti orang yang melaknat orang-orang yang zhalim, padahal dia sendiri adalah orang yang zhalim atau salah satu dari orang-orang yang zhalim.
Ini semua termasuk firman Allah Ta’ala:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوْءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا.
“Maka apakah orang yang dijadikan menganggap baik perbuatannya yang buruk lalu dia meyakininya sebagai sesuatu yang baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan).” (QS. Fathir: 8)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Demikian juga klaim yang dilontarkan oleh banyak para pengekor hawa nafsu dan penyeru kesesatan bahwa mereka adalah orang-orang yang berada di atas kebenaran, atau mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah, atau orang-orang yang menampakkan kebenaran, atau para wali Allah, hingga kalian akan mendapatkan sifat-sifat ini ada pada mereka dan tidak pada selain mereka. Sehingga dengan klaim dusta ini mereka hakekatnya lebih tepat dianggap sebagai musuh-musuh Allah, dan jauh lebih pantas dianggap sebagai pembawa kebathilan dibandingkan sebagai orang-orang yang membela kebenaran. Mereka ini memiliki keserupaan yang kuat dengan apa yang disebutkan oleh Allah tentang orang-orang Yahudi dan Nashara:
وَقَالُوْا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ. بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ. وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُوْنَ الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ فَاللهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ.
“Dan mereka berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk syurga kecuali orang-orang Yahudi atau Nashara.” Itu hanyalah angan-angan mereka yang kosong. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar.” Bahkan siapa yang berserah diri kepada Allah dan dia berbuat kebaikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nashara itu tidak mempunyai suatu pegangan.” Sebaliknya orang-orang Nashara berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan.” Padahal mereka sama-sama membaca Al-Kitab, demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui juga mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.” (QS. Al-Baqarah: 111-113)
Juga firman-Nya:
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوْبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيْرُ.
“Orang-orang Yahudi dan Nashara mengatakan: “Kami adalah anak-anak Allah dan orang-orang yang dicintai-Nya.” Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kalian karena dosa-dosa kalian. Tetapi kalian adalah manusia biasa seperti yang Dia ciptakan yang lainnya. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki, dan hanya milik Allah sajalah kerajaan langit dan bumi dan yang berada diantara keduanya, dan hanya kepada-Nya saja kembalinya segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah: 18)
Yang lebih mengherankan dari ini adalah bahwa sebagian orang-orang yang tidak mengerti hakekat madzhabnya menuduh orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah, seperti yang dilakukan oleh Al-Waqifah (orang-orang yang tidak menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, namun juga tidak mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk –pent). [3]
Ad-Darimy rahimahullah berkata: “Di samping sikap mereka yang di tengah-tengah ini, mereka tidak ridha hingga mereka mengklaim bahwa mereka menganggap siapa saja yang menyelisihi mereka dan meyakini salah satu dari dua pendapat tersebut (menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, atau mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk –pent) sebagai ahli bid’ah. Maka kita katakan kepada kelompok ini: adapun vonis kalian bahwa siapa saja yang menyelisihi kalian dan meyakini salah satu dari dua pendapat tersebut adalah seorang mubtadi’, maka ini merupakan kezhaliman dan ketidakadilan pada dakwaan kalian, sampai kalian memahami dan mengerti duduk perkaranya, karena kalian tidak mengetahui manakah dari dua kelompok tersebut yang sesuai dengan As-Sunnah dan sesuai dengan kebenaran. Jadi siapa saja yang menyelisihi mereka adalah mubtadi’ menurut kalian. Padahal bid’ah perkaranya besar, dan orang yang dituduh melakukannya akan sangat buruk penilaian terhadapnya di tengah-tengah kaum Muslimin. Maka kalian jangan terburu-buru memvonis mereka telah terjatuh dalam bid’ah sampai kalian yakin dan mengetahui apakah yang dikatakan oleh salah satu dari dua kelompok tersebut benar ataukah bathil. Bagaimana kalian bisa terburu-buru menuduh suatu kaum telah terjatuh kepada bid’ah pada pendapat mereka, padahal kalian tidak mengetahui apakah pendapat mereka itu sesuai dengan kebenaran ataukah tidak?!
Dan tidak mungkin pada madzhab kalian untuk mengatakan kepada salah satu dari dua kelompok tersebut: “Pendapatmu tidak sesuai dengan kebenaran, dan yang benar tidak seperti yang engkau katakan.” Jadi apakah ada orang yang lebih dungu dan lebih bodoh pada madzhabnya dibandingkan seseorang yang menuduh orang lain telah terjatuh kepada bid’ah, sementara dia mengatakan: “Kami tidak mengetahui apakah yang benar itu seperti yang mereka katakan, atau tidak demikian?!” Dan bukan perkara yang mustahil menurut madzhabnya yang seperti itu bahwa salah satu dari dua kelompok tersebut ternyata sesuai dengan kebenaran dan sesuai dengan As-Sunnah, namun dia justru menuduh mereka sebagai mubtadi’, dan tidak mustahil juga berdasarkan tuduhan dia itu bahwa kebenaran dianggap sebagai kebathilan dan As-Sunnah dianggap sebagai bid’ah. Jadi yang semacam ini merupakan kesesatan yang jelas dan kebodohan yang besar.” [4]
Ketika menyebutkan biografi Abu Hayyan At-Tauhidy, Al-Hafizh Adz-Dzahaby menukil ucapannya: “Manusia banyak yang berjalan dalam keadaan tidak mengetahui jalan yang sebenarnya, mereka menyangka bahwa kebenaran bersama mereka, padahal kebenaran ada di belakang mereka.” Lalu Adz-Dzahaby mengomentari ucapan tersebut: “Dan engkau adalah pembawa panji mereka.” [5]
Keterangan:
[1] Al-Istiqaamah, I/13. [2] Al-Istiqaamah, I/14. [3] At-Tis’iiniyyah, III/906. [4] Ar-Radd alal Jahmiyyah, hal. 102-103. [5] Nukilan dari At-Tuhfatus Saniyyah Syarh Manzhumah Ibni Abi Dawud Al-Ha’iyyah, hal. 31.
Alih Bahasa: Abu Almass –satarallaahu fid dunyaa wal aakhirah– Selasa, 21 Rajab 1435 H