HAL-HAL YANG MEMALINGKAN DARI KEBENARAN
Asy-Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah
Kelima: RASA TAKUT
Tidak diragukan lagi bahwa penindasan dan kekalahan menyebabkan orang-orang yang lemah jiwanya tunduk kepada kebathilan dan terus menetapinya karena ingin selamat dan menyerah kepada orang-orang yang memiliki kekuatan.
Karena inilah para ulama menjelaskan besarnya perkara yang memalingkan dari kebenaran yang satu ini. Al-Allamah Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah berkata: “Perlawanan musuh dan bantuan kekuatan terhadap kebathilan dengan berbagai upaya menghiasi kebathilan dan menampakkannya sebagai kebenaran serta sikap berpangku tangan orang-orang yang mengetahui kebenaran agama ini dari upaya menegakkan dan membelanya, ini semua telah menghalangi kebanyakan manusia dari memahami hakekat agama ini.” [1]
Perhatikanlah betapa besarnya pengaruh perkara yang memalingkan dari kebenaran yang satu ini bagaimana dia telah memalingkan manusia dari beriman terhadap risalah yang dibawa oleh Musa alaihis salam karena takut terhadap Fir’aun, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah Ta’ala:
فَمَا آمَنَ لِمُوْسَى إِلا ذُرِّيَّةٌ مِنْ قَوْمِهِ عَلَى خَوْفٍ مِنْ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَنْ يَفْتِنَهُمْ وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعَالٍ فِيْ الأرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِيْنَ.
“Maka tidak ada yang beriman kepada Musa kecuali sedikit saja dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut kalau Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Dan sesungguhnya Fir’aun benar-benar orang yang sewenang-wenang di muka bumi dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Yunus: 83)
Oleh karena itulah salah seorang yang beriman kepada Musa dia menyembunyikan keimanannya, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah Ta’ala:
وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيْمَانَهُ أَتَقْتُلُوْنَ رَجُلا أَنْ يَقُوْلَ رَبِّيَ اللهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِيْ يَعِدُكُمْ إِنَّ اللهَ لا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ.
“Dan seorang laki-laki yang beriman yang berasal dari keluarga Fir’aun yang menyembunyikan imannya dia berkata: “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Rabbku adalah Allah.” Padahal dia telah datang kepada kalian dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas dari Rabb kalian. Dan jika dia seorang pendusta maka dia sendirilah yang menanggung kedustaannya itu, namun jika dia seorang yang benar niscaya sebagian adzab yang dia ancamkan akan menimpa kalian. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (QS. Ghaafir: 28)
Oleh karena inilah ketika hal yang memalingkan dari kebenaran yang satu ini hilang dan Allah menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, maka manusia pun berbondong-bondong mengikuti kebenaran dan pengikut Musa alaihi salam menjadi banyak. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi was sallam:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّوْنَ مَعَهُمُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، حَتَّى رُفِعَ لِيْ سَوَادٌ عَظِيْمٌ، قُلْتُ: مَا هَذَا؟ أُمَّتِيْ هَذِهِ؟ قِيْلَ: بَلْ هَذَا مُوْسَى وَقَوْمُهُ.
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat manusia. Ada seorang dan dua orang nabi yang lewat bersama beberapa orang saja dari kaumnya, dan ada juga nabi yang sama sekali tidak memiliki pengikut. Sampai ditampakkan kepadaku sekelompok besar hingga aku bertanya: “Apa ini, apakah ini umatku?” Maka ada yang menjawab: “Bahkan ini adalah Musa dan kaumnya.” [2]
Demikian juga Heraclius raja Romawi ketika dia mengetahui benarnya kenabian dari nabi kita Muhammad shallallahu alaihi was sallam dan kejujuran beliau, dia mencoba untuk menguji kaumnya bagaimana reaksi mereka jika dia beriman. Maka dia pun memerintahkan para pembesar Romawi agar masuk ke istana khususnya lalu menyuruh agar menutup pintu-pintunya dengan rapat. Kemudian dia berkata: “Wahai bangsa Romawi, maukah kalian semua meraih kemenangan dan petunjuk, sedangkan kerajaan tetap utuh di tangan kalian, yaitu dengan cara berbaitlah kalian kepada nabi ini?!” Mendengar ucapan itu, mereka lari bagaikan keledai liar, namun mereka mendapati semua pintu telah terkunci. Ketika Heraclius melihat pengingkaran mereka dan dia putus asa terhadap keimanan mereka, dia pun berkata: “Suruhlah mereka kembali menghadapku!” Dan dia mengatakan: “Sesungguhnya aku mengucapkan perkataanku tadi hanyalah sekedar menguji keteguhan hati kalian di atas agama kalian, sekarang aku telah melihatnya.” [3]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Jadi sebenarnya Heraclius telah mengetahui kebenaran dan ingin masuk Islam, tetapi kaumnya tidak menurutinya sehingga dia takut terhadap keselamatan dirinya. Akhirnya dia pun lebih memilih kekafiran daripada Islam setelah jelas petunjuk kepadanya.” [4]
Telah menyebar luas perkataan Salaf:
إِنَّ اللهَ لَيَزَعُ بِالسُّلْطَانِ مَا لَا يَزَعُ بِالْقُرْآنِ.
“Sesungguhnya Allah benar-benar menakut-nakuti dengan penguasa yang memberikan pengaruh tidak seperti jika Dia menakut-nakuti dengan Al-Qur’an.” [5]
Khalid bin Duraik [6] rahimahullah pernah mengatakan:
كَانَتْ فِيْ ابْنِ مُحَيْرِيْزٍ خَصْلَتَانِ مَا كَانَتَا فِيْ أَحَدٍ مِمَّنْ أَدْرَكْتُ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ: كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ أَنْ يَسْكُتَ عَنْ حَقٍّ بَعْدَ أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ تَكَلَّمَ فِيْهِ، غَضِبَ فِيهِ مَنْ غَضِبَ، وَرَضِيَ مَنْ رَضِيَ. وَكَانَ مِنْ أَحْرَصِ النَّاسِ أَنْ يَكْتُمَ مِنْ نَفْسِهِ أَحْسَنَ مَا عِنْدَهُ.
“Pada diri Ibnu Muhairiz [7] terdapat dua sifat yang jarang ada pada orang yang saya jumpai dari umat ini, yaitu; beliau orang yang paling jauh dari sikap diam dari kebenaran, jika sesuatu telah jelas sebagai kebenaran maka beliau pasti angkat bicara, yang marah silahkan marah dan yang ridha silahkan ridha, sedangkan sifat kedua adalah beliau termasuk orang yang paling semangat menyampaikan ilmu terbaik yang beliau ketahui tanpa menyembunyikannya.” [8]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
فَإِنَّ الْمَقْصُوْدَ الْوُصُوْلُ إِلَى الصَّوَابِ فَإِذَا ظَهَرَ وُضِعَ مَا عَدَاهُ تَحْتَ الْأَرْجُلِ.
“Karena sesungguhnya tujuan (seorang hamba –pent) adalah sampai kepada kebenaran, sehingga jika kebenaran telah nampak jelas maka selainnya diletakkan di bawah kaki.” [9]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
وَغَالِبُ الْخَلْقِ لَا يَنْقَادُوْنَ لِلْحَقِّ إِلَّا بِالْقَهْرِ.
“Mayoritas manusia tidak mau tunduk kepada kebenaran kecuali dengan paksaan.” [10]
Tatkala perkaranya demikian dan banyak jiwa yang tidak mau tunduk kepada kebenaran kecuali dengan paksaan, maka pemilik syari’at (Allah) memerintahkan untuk membunuh para pemimpin kekafiran yang menghalangi manusia untuk tunduk kepada kebenaran. Pemilik syari’at juga memerintahkan untuk memaksa orang yang tidak mau memperhatikan kebenaran, apalagi orang yang tidak mau menerimanya karena lebih menuruti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.
Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata: “Demikian juga paksaan yang dilakukan oleh kaum Muslimin terhadap musuh mereka dengan menjadikan mereka sebagai tawanan, hal itu mendorong mereka untuk mau memperhatikan kebaikan-kebaikan Islam. Jadi rasa harap dan cemas memiliki pengaruh yang besar untuk membantu keyakinan, sebagaimana keyakinan juga memiliki pengaruh besar untuk melakukan (perintah) dan meninggalkan (larangan). Karena masing-masing dari ilmu dan amal serta keyakinan dan kehendak, keduanya saling membantu. Ilmu dan keyakinan mendorong untuk mengamalkan konskwensinya, sedangkan keinginan berupa harap dan cemas serta mengamalkan konskwensi akan menguatkan pandangan dan ilmu yang sesuai dengan keinginan dan amal. Hal ini sebagaimana dikatakan: siapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui, maka Allah akan memberinya ilmu yang belum dia ketahui.” [11]
Jadi kitab yang memberi hidayah (Al-Qur’an) harus memiliki pedang yang akan menolongnya dan melindunginya. Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan timbangan supaya manusia menjalankan keadilan. Dan Kami telah menciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang dahsyat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka memanfaatkan besi itu) dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong agama-Nya dan para rasul-Nya, padahal dia tidak melihat Allah. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Mulia.” (QS. Al-Hadiid: 25)
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Jadi agama yang benar padanya harus ada kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang menolong.” [12]
Terkadang seorang hamba diuji dengan pihak-pihak yang menakut-nakutinya agar dia tidak menyebarkan kebenaran dan tidak mendakwahkannya. Maka ketika itu harus ada upaya memohon perlindungan kepada Allah dan bersabar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak ada cara lain untuk menempuh jalan ini kecuali dengan dua perkara:
Pertama: Tidak mempedulikan celaan orang yang suka mencela ketika menempuh jalan kebenaran, karena celaan bisa mengejar seorang pasukan penunggang kuda lalu menjatuhkannya dari kudanya dan menjadikannya tersungkur ke tanah.
Kedua: Menganggap dirinya tidak ada harganya di jalan Allah, sehingga ketika itu dia berani melangkah dan tidak takut terhadap berbagai kengerian. Jadi kapan saja jiwanya merasa takut maka dia akan mundur, berhenti, dan tetap di tempat.
Dua perkara ini tidak akan terealisasi kecuali dengan kesabaran. Maka siapa yang mau bersabar sebentar, berbagai kengerian itu akan menjadi angin sejuk baginya yang akan mengantarkannya kepada cita-citanya. Jadi ketika dia takut kepadanya, tiba-tiba hal itu menjadi penolong dan pembantunya terbesar, dan perkara ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang pernah memasukinya.
Adapun kendaraannya adalah kesungguhan dalam memohon perlindungan kepada Allah, berserah diri kepada-Nya secara total, merealisasikan rasa butuh yang sangat kepada-Nya dari semua sisi, merendahkan diri kepada-Nya, jujur dalam bertawakkal kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan pasrah di hadapan-Nya seperti bejana yang pecah dan rusak serta kosong tidak ada isinya sama sekali. Dia penuh harap kepada yang mengurusinya dan pemiliknya agar menambalnya, memperbaikinya, mengulurkan karunia-Nya dan menutupi aibnya. Maka hamba yang seperti inilah yang diharapkan baginya akan mendapatkan hidayah dari Allah, dan disingkapkan untuknya jalan menuju Allah dan tingkatan-tingkatannya yang tidak diketahui oleh selainnya.” [13]
Catatan Kaki:
[1] Taisiirul Lathiifil Mannaan, hal. 269.
[2] HR. Al-Bukhary no. 5705 dan Muslim no. 374 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.
[3] Fathul Baary, I/42.
[4] Hidaayatul Hayaaraa Fii Ajwibatil Yahuudi wan Nashaaraa, hal. 17.
[5] Lihat: Al-Bidaayah wan Nihaayah, terbitan Hajar, cetakan pertama tahun 1417 H, II/301. (pent)
[6] Di kitab asli tertulis: Duraid. Yang benar adalah yang kami tetapkan. Lihat: Tahdzibut Tahdziib, terbitan Muasassah Ar-Risalah, I/517. (pent)
[7] Di kitab asli tertulis: Kiriz. Yang benar adalah yang kami tetapkan. Lihat: Tahdzibut Tahdziib, terbitan Muasassah Ar-Risalah, I/517.
Beliau adalah Abdullah bin Muhairiz bin Junadah Al-Qurasyi, seorang tabi’in yang mulia. Diantara perkataan beliau yang terkenal adalah ketika beliau ingin membeli pakaian di sebuah toko di daerah Dabiq, ada seseorang yang menunjukkan kepada pemilik toko bahwa beliau adalah Ibnu Muhairiz. Mengetahui bahwa beliau adalah seorang ulama, maka pemilik toko tersebut memberikan pelayanan istimewa. Namun beliau justru marah dan meninggalkan toko itu sambil berkata: “SESUNGGUHNYA SAYA INGIN MEMBELI DENGAN UANG SAYA DAN BUKAN DENGAN AGAMA SAYA.”
Semoga Allah merahmati beliau yang telah memberi teladan agar kita selalu ikhlash dan tidak menjadikan agama sebagai kendaraan untuk meraih dunia sedikitpun.
Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, IV/494 dan Taarikh Dimasyq, XXXIII/19. (pent)
[8] Taarikh Abi Zur’ah Ad-Dimasyqy, I/335 no. 655.
[9] Badaa’iul Fawaaid, II/668.
[10] Dar-u Ta’aarudhil Aqli wan Naql, VII/174.
[11] Jaami’ur Rasaail, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, I/238.
[12] Minhaajus Sunnah, I/531.
[13] Ar-Risaalah At-Tabuukiyyah, hal. 69-70.
Bersambung In Syaa Allah
Alih Bahasa: Abu Almass
Rabu, 29 Dzulqa’dah 1435 H