Hal-hal Yang Memalingkan Dari Kebenaran – Muqaddimah

Hal-hal yang Memalingkan Dari Kebenaran1

HAL-HAL YANG MEMALINGKAN DARI KEBENARAN

[ MUQADDIMAH ]

Asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan hamba-hamba-Nya di atas fithrah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

فِطْرَتَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا.

“Itu adalah fithrah yang Allah tetapkan manusia di atasnya.” (QS. Ar-Ruum: 30)

Diantara fithrah manusia adalah mencintai kebenaran dan menginginkannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

وَالْقَلْبُ خُلِقَ يُحِبُّ الْحَقَّ وَيُرِيْدُهُ وَيَطْلُبُهُ.

“Hati diciptakan dalam keadaan mencintai kebenaran, menginginkannya dan mencarinya.”  [1]

 Beliau juga berkata:

فَإِنَّ الْحَقَّ مَحْبُوْبٌ فِيْ الْفِطْرَةِ. وَهُوَ أَحَبُّ إلَيْهَا وَأَجَلُّ فِيْهَا وَأَلَذُّ عِنْدِهَا مِنْ الْبَاطِلِ الَّذِيْ لَا حَقِيْقَةَ لَهُ فَإِنَّ الْفِطْرَةَ لَا تُحِبُّ ذَاكَ.

“Karena sesungguhnya kebenaran itu dicintai oleh fithrah dan merupakan sesuatu yang paling dicintai olehnya, paling mulia, dan paling lezat baginya dibandingkan kebathilan yang tidak ada hakekatnya, karena sesungguhnya fithrah tidak menyukainya.”  [2]

Jadi bukan sekedar sesuatu yang telah tertanam di dalam jiwa berupa kecintaan terhadap kebenaran, demikian juga fithrahnya diciptakan dalam keadaan mengenal kebenaran. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala berfirman ketika menceritakan perkataan Musa:

رَبُّنَا الَّذِيْ أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى.

“Rabb kita adalah yang telah memberikan kepada segala sesuatu bentuk penciptaannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaaha: 50)

Juga sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:

وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِيْ صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ.

“Sedangkan dosa adalah apa menggelisahkan hatimu dan engkau tidak suka jika manusia mengetahuinya.”  [3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

فَيِ النَّفْسِ مَا يُوْجِبُ تَرْجِيْحَ الْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فِيْ الْإِعْتِقِادَاتِ والْإِرَادَاتِ، وَهَذَا كَافٍ فِيْ كَوْنِهَا وُلِدَتْ عَلَى الْفِطْرَةِ.

“Di dalam jiwa terdapat hal-hal yang menguatkan kebenaran atas kebathilan dalam keyakinan dan tujuan, dan ini sudah cukup dalam keadaan jiwa itu dilahirkan di atas fithrah.”  [4]

Beliau juga berkata:

وَاَللهُ سُبْحَانَهُ خَلَقَ عِبَادَهُ عَلَى الْفِطْرَةِ الَّتِي فِيهَا مَعْرِفَةُ الْحَقِّ وَالتَّصْدِيقُ بِهِ وَمَعْرِفَةُ الْبَاطِلِ وَالتَّكْذِيبُ بِهِ وَمَعْرِفَةُ النَّافِعِ الْمُلَائِمِ وَالْمَحَبَّةُ لَهُ وَمَعْرِفَةُ الضَّارِّ الْمُنَافِي وَالْبُغْضُ لَهُ بِالْفِطْرَةِ. فَمَا كَانَ حَقًّا مَوْجُودًا صَدَّقَتْ بِهِ الْفِطْرَةُ وَمَا كَانَ حَقًّا نَافِعًا عَرَفَتْهُ الْفِطْرَةُ فَأَحَبَّتْهُ وَاطْمَأَنَّتْ إلَيْهِ. وَذَلِكَ هُوَ الْمَعْرُوفُ وَمَا كَانَ بَاطِلًا مَعْدُومًا كَذَّبَتْ بِهِ الْفِطْرَةُ فَأَبْغَضَتْهُ الْفِطْرَةُ فَأَنْكَرَتْهُ. قَالَ تَعَالَى: {يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ}

“Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba-hamba-Nya di atas fithrah yang mengandung kebenaran dan pembenaran terhadapnya, mengenal kebathilan dan mendustakannya, mengenal sesuatu yang bermanfaat yang sesuai dengan fithrah dan mencintainya, serta mengenal sesuatu yang membahayakan yang bertentangan dengan fithrah dan membencinya. Jadi kebenaran yang ada, fithrah pasti membenarkannya. Kebenaran yang itu merupakan sesuatu yang bermanfaat, dikenali oleh fithrah, dicintainya, dan merasa tenang kepadanya. Dan itulah sesuatu yang dikenal sebagai perkara yang ma’ruf. Sedangkan sesuatu yang bathil dan tidak ada hakekatnya, maka fithrah mendustakannya, membencinya dan mengingkarinya. Allah Ta’ala berfirman:

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ.

“Beliau (Rasulullah) senantiasa memerintahkan mereka untuk melakukan yang ma’ruf dan melarang mereka dari perkara yang mungkar.” (QS. Al-A’raf: 157)” [5]

Apa yang tertanam di dalam jiwa berupa mengenal kebenaran, menginginkannya, dan mencintainya, semua ini dikuatkan dengan saksi dari syariat, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوْهُ شَاهِدٌ مِنْهُ.

“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyatadari Rabbnya, dan dia diikuti pula oleh seorang saksi darinya.” (QS. Huud: 17)

Yang dimaksud dengan bukti nyata di sini adalah wahyu yang Allah turunkan, sedangkan yang dimaksud dengan saksi darinya adalah fithrah yang lurus dan akal yang sehat. [6]

Al-Allamah Abdurrahman As-Sa’dy rahimahullah berkata:

فَالدِّيْنُ هُوَ دِيْنُ الْحِكْمَةِ الَّتِيْ هِيَ مَعْرِفَةُ الصَّوَابِ وَالْعَمَلِ بِالصَّوِابِ، وَمَعْرِفَةُ الْحَقِّ وَالْعَمَلُ بِالْحَقِّ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ.

“Jadi agama ini adalah agama hikmah yaitu mengenal kebenaran dan mengamalkan kebenaran, serta mengenal al-haq dan mengamalkan al-haq dalam segala hal.”  [7]

Jika jiwa tetap di atas fithrahnya, maka dia tidak akan menginginkan kecuali kebenaran. Dan kebenaran itu sifatnya jelas dan gamblang, serta tidak ada kesamaran padanya.

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu berkata:

فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ نُوْرًا.

“Sesungguhnya di atas kebenaran itu ada cahaya.”  [8]

Dahulu Abdullah bin Salam radhiyallahu anhu adalah seorang Yahudi, tatkala dia melihat Nabi shallallahu alaihi was sallam ketika beliau berhijrah ke Madinah, dia mengetahui bahwa wajah beliau adalah wajah orang yang jujur.

Abdullah bin Salam radhiyallahu anhu berkata: “Ketika Nabi shallallahu alaihi was sallam berhijrah ke Madinah, manusia berbondong-bondong menyambut beliau dan saya termasuk mereka. Ketika saya telah melihat wajah beliau dengan jelas, maka saya mengetahui bahwa wajah beliau bukan wajah pendusta. Dan pertama kali yang saya dengar dari beliau adalah:

أَفْشُوْا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ، وَصَلُّوْا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوْا الجَنَّةَ بِسَلَامٍ.

“Sebarkan salam, berilah orang lain makan, dan kerjakanlah shalat ketika manusia sedang tidur, niscaya kalian akan masuk syurga dengan selamat.”  [9]

Dengan hikmah-Nya, Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, di samping hujjah telah tegak terhadap hamba-hamba-Nya, para rasul telah diutus, dan kebenaran nampak dengan jelas.

Maka kewajiban seorang hamba adalah menetapi fithrah dan mewaspadai sebab-sebab yang akan menghalangi dan memalingkannya dari kebenaran. Dan jika ada sesuatu hal yang memalingkannya dari kebenaran itu, maka dia segera kembali kepada kebenaran dan menetapinya. Dan ini termasuk kenikmatan terbesar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya, yaitu dengan menjadikannya mencintai kebenaran, mengutamakannya, mencarinya, dan menetapinya.

Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah berkata:

أَفْضَلُ نِعَمِ اللهِ تَعَالَى عَلَى الْمَرْءِ أَنْ يَطَبَعَهُ عَلَى الْعَدْلِ وَحُبِّهِ وَعَلَى الْحَقِّ وَإِيْثَارِهِ.

“Kenikmatan Allah Ta’ala yang paling utama atas seorang hamba adalah dengan menjadikan tabiatnya adil dan mencintainya, menginginkan kebenaran dan mengutamakannya atas yang lain.”  [10]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

فَإِنَّ الْكَمَالَ الْإِنْسَانِيَّ مَدَارُهُ عَلَى أَصْلَيْنِ: مَعْرِفَةِ الْحَقِّ مِنَ الْبَاطِلِ وَإِيثَارِهِ عَلَيْهِ. وَمَا تَفَاوَتَتْ مَنَازِلُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى فِيْ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِلَّا بِقَدْرِ تَفَاوُتِ مَنَازِلِهِمْ فِي هَذَيْنِ الْأَمْرَيْنِ، وَهُمَا اللَّذَانِ أَثْنَى اللهُ بِهِمَا سُبْحَانَهُ عَلَى أَنْبِيَائِهِ بِهِمَا فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيْمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ أُولِيْ الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ} [ص: 45]
فَالْأَيْدِي: الْقُوَّةُ فِيْ تَنْفِيْذِ الْحَقِّ، وَالْأَبْصَارُ: الْبَصَائِرُ فِيْ الدِّيْنِ، فَوَصَفَهُمْ بِكَمَالِ إِدْرَاكِ الْحَقِّ وَكَمَالِ تَنْفِيْذِهِ.

“Sesungguhnya kesempurnaan seorang manusia berporos pada dua perkara utama: mengenal mana yang benar dan mana yang bathil serta mengutamakan kebenaran atas kebathilan tersebut. Tidaklah kedudukan para hamba di sisi Allah Ta’ala bertingkat-tingkat baik di dunia maupun di akhirat, kecuali karena perbedaan tingkatan mereka di dalam merealisasikan kedua perkara yang utama ini, dan dengan dua perkara inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji para nabi-Nya dalam firman-Nya:

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيْمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ أُولِيْ الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ.

“Dan ingatlah sifat hamba-hamba Kami; yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan ilmu.” (QS. Shaad: 45)

Jadi yang dimaksud dengan (الْأَيْدِي) adalah kekuatan di dalam menjalankan kebenaran. Sedangkan yang dimaksud dengan (الْأَبْصَارُ) adalah ilmu dalam agama. Jadi Allah mensifati mereka dengan kesempurnaan pengetahuan tentang kebenaran dan kesempurnaan dalam menjalankannya.”  [11]   –selesai perkataan Ibnul Qayyim–

Dan termasuk sebab-sebab agar seorang hamba bisa terus di atas kebenaran adalah dengan mengetahui hal-hal yang akan menghalanginya dari kebenaran tersebut.

 Maka berikut ini adalah beberapa hal dari perkara-perkara yang akan memalingkan dari kebenaran. Sepantasnya Anda untuk mengetahuinya agar Anda bisa menjauhinya.

Saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu di atas kebenaran dan mendakwahkannya, serta menjauhkan kita semua dari sebab-sebab dan jalan-jalan kesesatan dan kebinasaan.
Dan inti utama dari hal-hal yang memalingkan dari kebenaran ini adalah kembali kepada buruknya niat atau tujuan, kebodohan, dan kezhaliman.

Wallahu a’lam.

Footnote:
[1] Majmu’ul Fataawa, X/88.
[2] Majmu’ul Fataawa, XVI/338.
[3] HR. Muslim no. 2553.
[4] Dar-u Ta’aarudhil Aqli wan Naql, VIII/843.
[5] Pada kitab asli tertulis: Dar-u Ta’aarudhil Aqli wan Naql, VIII/843. Namun setelah kami teliti, kami tidak mendapatinya, kemungkinan hal tersebut salah ketik. Perkataan ini kami jumpai di: Majmu’ul Fataawa, IV/32. Wallahu a’lam. (pent)
[6] Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 379.
[7] Taisiirul Lathiifil Mannaan, hal. 50.
[8] HR. Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak, IV/460, dan beliau berkata: “Sesuai dengan syarat Syaikhain (Al-Bukhary dan Muslim –pent).” Dan Adz-Dzahaby menyepakati penilaian beliau ini.
[9] HR. Ahmad di dalam Al-Musnad, V/451 dan At-Tirmidzy V/652 no. 2485.
[10] Mudaawatun Nufuus, hal. 31.
[11] Al-Jawaabul Kaafy, hal. 139.

Keterangan: takhrij haditsnya sengaja kami ringkas dengan hanya menyebutkan halaman atau nomor hadits. (pent)

Link Download Kitab لصوارف عن الحق.pdf

Alih Bahasa: Abu Almass –afaallahu anhu–
Sabtu, 11 Rajab 1435 H

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.