Fatwa Seputar Talak – bag.1

FATWA SEPUTAR TALAK (1)

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz  رحمه الله

Pertanyaan: Islam tidaklah menetapkan talak atau perceraian selain sebagai solusi akhir untuk menyelesaikan pertikaian antara suami istri. Sebelumnya Islam pasti memberikan jalan agar pasangan yang bertikai bisa berbaikan kembali. Mohon dijelaskan kepada kami solusi tersebut.

Jawab:

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz رحمه الله menjawab sebagai berikut.

Allah ‘azza wa jalla mensyariatkan ishlah atau menyelesaikan problem yang ada di antara suami istri dengan menempuh cara-cara yang dapat merukunkan kembali hubungan di antara keduanya sehingga perceraian bisa dihindarkan. Cara-cara yang dimaksud (apabila yang bermasalah pihak istri, misalnya si istri berbuat durhaka) adalah nasihat, pemboikotan, dan pukulan yang ringan, ketika dua cara yang pertama tidak bermanfaat.

Hal ini berdasar firman Allah ‘azza wa jalla,

“Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (an-Nisa’: 34)

Apabila masalahnya datang dari kedua belah pihak, suami dan istri, caranya adalah mengirim dua hakam (yang bertindak sebagai pemutus perkara di antara kedua suami istri). Satu dari keluarga suami dan satu dari keluarga istri. Dua hakam ini akan membicarakan bagaimana cara menyelesaikan pertikaian yang ada di antara suami istri tersebut.

Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla,

“Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, kirimlah seorang hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki (suami) dan hakam dari keluarga istri. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri tersebut.” (an-Nisa: 35)

Apabila usaha-usaha yang dilakukan tidak bermanfaat dan tidak membawa perbaikan, justru pertikaian terus berlanjut, disyariatkan kepada suami untuk menjatuhkan talak dan diizinkan kepada istri untuk meminta khulu’ atau menebus dirinya dengan harta, jika suaminya tidak mau melepaskannya selain dengan cara si istri menebus dirinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229)

Berpisah dengan cara baik-baik tentu lebih disenangi daripada pertikaian dan perselisihan yang berkelanjutan dan tiada berujung, yang berarti maksud dan tujuan disyariatkannya pernikahan tidak tercapai. Karena itulah, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Jika keduanya bercerai, Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya.” (an-Nisa: 130)

Ada hadits sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Tsabit bin Qais al-Anshari radhiallahu ‘anhu melepas istrinya yang tidak sanggup hidup bersamanya. Si istri tidak bisa mencintainya dan bersedia mengembalikan kebun yang dahulu menjadi mahar pernikahannya dengan Tsabit. (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya)

(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil ‘Aqaid wal ‘Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, hlm. 951—952)

Sumber: Majalah Asy Asyariah Online

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.