ENGKAU MENERIMA JARH WA TA’DIL KETIKA MEMBELI TOMAT NAMUN MENOLAK DALAM URUSAN AGAMA
Asy-Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah
Hendaknya seseorang bersungguh-sungguh dalam mengawasi hatinya dan menjaga lisannya, kalau semua itu bisa lurus maka akan istiqamah hidupnya dan baik akhiratnya.
Namun hal itu jangan sampai dikotori dengan ucapan seseorang: “Jika demikian perkaranya, maka kenapa suka mencela manusia baik Masayikh atau selain Masayikh atau yang mereka disebut sebagai Masayikh?! Kenapa mereka dicela?! Bukankah pengaruh-pengaruh ini semuanya merupakan buah dari menjaga lisan kecuali dari sesuatu yang baik?!
Maka jawabannya: Ini (jarh wa ta’dil –pent) adalah kebaikan, bahkan merupakan pangkal kebaikan.
Engkau sendiri jika seseorang datang untuk meminta nasehat kepadamu dengan mengatakan: “Saya ingin membangun rumah, dan saya ingin pergi ke si fulan agar dia yang membangunnya, bagaimana menurut pendapatmu?”
Jika engkau mengetahui bahwa tukang bangunan tersebut tidak bagus, maka engkau akan mengatakan kepadanya: “Tinggalkan dia, karena dia kurang bagus!” Kalau dia meminta perincian maka jelaskan secara rinci keadaan orang yang ditanyakan tersebut. Engkau mungkin akan mengatakan kepadanya: “Dia bisa saja menipumu atau menunda-nunda pekerjaaan dan tidak menunaikannya sesuai yang engkau inginkan. Jadi pergi saja kepada si fulan!” Semacam ini merupakan bentuk jarh wa ta’dil.
Bahkan ketika engkau sedang berada di pasar bersama saudaramu dan engkau ingin membeli 2 kg tomat dan engkau ingin datang kepada seorang pembeli, mungkin saudaramu akan mengatakan: “Tinggalkan penjual ini, dia suka mengurangi timbangan dan barangnya yang dia jual jelek. Sebaiknya engkau beliau saja kepada penjual yang itu, karena dia adalah orang yang terpercaya dan Islamnya bagus!” Lalu engkau pun menerima ucapannya. Maka jika engkau menerima jarh wa ta’dil dalam urusan tomat, kenapa engkau tidak menerimanya dalam urusan agama?!
Yang dikatakan hanyalah: “Si fulan suka menyesatkan manusia dan menyeret mereka kepada bid’ah, sehingga para ulama pun memperingatkan manusia darinya berdasarkan ilmu dan dengan penuh kehati-hatian.”
Lalu anehnya muncul orang yang mengatakan: “Kenapa kalian terus mencelanya?!” Benarkah kita mencelanya?! Kita hanya menjelaskan keadaannya yang sebenarnya, dan selama kita berbicara tentangnya berdasarkan kebenaran dan bukti yang nyata maka hal itu merupakan keharusan dan hal yang benar, dan siapa yang justru diam maka dia berdosa.
Seandainya saudaramu di depan matamu membeli 2 kilo tomat dari seorang penjual yang terkenal suka menipu dan tidak amanah, lalu saudaramu tersebut mendapati dirinya ditipu setelah dia pulang ke rumahnya, lalu dia menceritakan kisahnya tersebut kepadamu kemudian engkau mengatakan kepadanya: “Demi Allah, saya sebenarnya tahu, hanya saja saya sengaja tidak menyampaikannya kepadamu karena khawatir dosa, apakah saya boleh mencela seorang yang kerjanya hanya menjual tomat?! Ini adalah ucapan yang haram, apakah saya harus menunjukkan perbuatannya yang suka menipu dan saya harus memperingatkan kaum Muslimin darinya?!”
Ketika itu pasti temanmu akan marah kepadamu dan akan mengatakan: “Engkaulah yang sebenarnya telah menipuku jika engkau tidak memperingatkan diriku dari kelakukannya yang suka menipu itu.”
Demikian juga jika engkau mengetahui kesalahan dan bid’ah pada ucapan orang-orang yang mengatakan dalam urusan agama, maka wajib untuk menjelaskannya dengan ilmu dan penuh kehati-hatian. Kalau tidak maka engkau juga hakekatnya adalah seorang penipu dan berusaha agar kaum Muslimin jatuh dalam kesesatan dan bid’ah.
Jadi apa yang telah disebutkan tadi jangan sampai dirusak pemahamannya dengan kaedah-kaedah syari’at ini yang senantiasa terjaga dan dasarnya adalah Al-Kitab dan As-Sunnah.
Adapun orang-orang yang suka berbicara dengan hal-hal yang tidak mereka mengerti dan mereka mengatakan bahwa jarh wa ta’dil ilmu yang telah terkubur di bawah tanah, maka mereka ini bisa adalah orang-orang yang lalai, atau bisa bisa jadi mereka adalah orang-orang yang memang berusaha membuat lalai dan suka menipu umat.
Sedangkan orang yang menyatakan bahwa seseorang akan ditanya tentang jarh wa ta’dil di alam kubur jika dua malaikat mendatanginya, maka mereka adalah orang-orang yang dungu dan gila.
Adapun sikap adil dan benar adalah bahwasanya jarh wa ta’dil ini akan terus berlaku hingga hari kiamat. Namun harus dilakukan berdasarkan ilmu dan keadilan, dan tanpa kelancangan orang-orang bodoh. Jadi hendaknya masing-masing berhenti pada batasnya, dan jangan sekali-kali engkau berbicara tentang sebuah masalah tanpa imam padanya.
Sepantasnyalah bagi seseorang untuk menukil dari para ulama dan berhenti pada batasan-batasan tersebut serta dengan sikap penuh kehati-hatian dan berdasarkan ilmu. Kalau tidak, maka hendaknya dia mengamalkan hadits-hadits yang memerintahkan untuk diam.
Sumber:
http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54048
Alih bahasa: Abu Almass
Jum’at, 23 Dzulhijjah 1435 H