DI KALANGAN ULAMA TIDAK ADA KAEDAH “MENYEMBUNYIKAN ILMU UNTUK MASLAHAT”
Asy-Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah
Pertanyaan: Apakah Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu anhu menyembunyikan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi was sallam tentang fitnah dan sama sekali tidak mengabarkannya kepada ummat sebelum meninggalnya? Dan apakah berdasarkan hal tersebut para ulama mengambil kaedah “Boleh menyembunyikan ilmu demi maslahat?” Apakah yang disebutkan dari Hudzaifah radhiyallahu anhu tersebut benar? Semoga Allah selalu memberi keselamatan kepada Anda.
Jawaban:
Di dalam syariat tidak ada menyembunyikan ilmu. Para ulama tidak menyembunyikan ilmu, dan Rasul shallallahu alaihi was sallam diperintahkan untuk menyampaikan agama ini.
Beliau shallallahu alaihi was sallam bersabda:
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوْا عَنْ بَنِيْ إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ.
“Sampaikan dariku walaupun satu ayat, dan ceritakan dari Bani Isra’il dan hal itu tidak masalah.”(HR. Al-Bukhary no. 3461 –pent)
Beliau juga bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
“Barangsiapa ditanya tentang sebuah ilmu (syari’at) lalu dia menyembunyikannya, maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian dari api.”
(HR. Abu Dawud no. 3657 dan At-Tirmidzy no. 2649, Al-Albany rahimahullah berkata dalam Shahih Sunan At-Tirmidzy III/58: “Shahih.” –pent)
Dan tidak ada pada ulama kaedah semacam itu yang saya ketahui, dan saya juga tidak mengetahui sebuah hadits dari Hudzaifah yang menyatakan demikian.
Memang mereka (para Shahabat –pent) mengkhususkan sebuah ilmu kepada suatu kaum dan tidak menyampaikannya kepada yang lain. Misalnya membicarakan ushul fikih dan kaedah-kaedahnya tidak tepat jika engkau sampaikan kepada orang-orang awam dan engkau jadikan pelajaran bagi mereka. Demikian juga membicarakan ushul tafsir tidaklah tepat jika engkau jadikan pelajaran bagi setiap orang.
Al-Bukhary telah meletakkan sebuah bab yang berjudul “Bab Orang yang mengkhususkan sebuah ilmu untuk suatu kaum dan tidak menyampaikannya kepada yang lain, karena khawatir mereka tidak akan bisa memahaminya.”
Lalu beliau membawakan sebuah riwayat dengan sanadnya dari Ali radhiyallahu anhu dia berkata:
حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ، أَتُحِبُّوْنَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ.
“Sampaikanlah kepada manusia hal-hal yang bisa mereka pahami, kalau tidak maka apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?!”
Beliau juga membawakan dengan sanadnya dari Qatadah dia berkata: Anas bin Malik menceritakan kepada kami bahwa Nabi shallallahu alaihi was sallam berboncengan dengan Mu’adz di atas onta, lalu beliau berkata:
يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ!
“Wahai Mu’adz bin Jabal!”
Mu’adz menjawab: “Labbaik yaa Rasulallah wa sa’daik.” Demikian hingga tiga kali. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ، إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
“Tidaklah seseorang bersaksi dengan jujur dari hatinya bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul utusan Allah, kecuali Allah haramkan neraka atasnya.”
Mendengar itu maka Mu’adz bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah boleh bagi saya untuk mengabarkan hal ini kepada manusia agar mereka bergembira?”
Beliau menjawab:
إِذًا يَتَّكِلُوْا.
“Kalau demikian dikhawatirkan mereka akan bergantung kepadanya.”
Namun menjelang wafatnya, Mu’adz menyampaikan hal itu karena khawatir berdosa.
Juga dengan sanadnya dari Anas bin Malik dia menceritakan: Disebutkan kepadaku bahwa Nabi shallallahu alaihi was sallam berkata kepada Mu’adz bin Jabal:
مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الجَنَّةَ.
“Barangsiapa berjumpa dengan Allah (meninggal) dalam keadaan tidak berbuat syirik terhadap-Nya sedikitpun, maka dia pasti akan masuk syurga.”
Lalu Mu’adz bertanya: “Apakah boleh saya menyampaikan kabar gembira tersebut kepada manusia?”
Maka beliau menjawab:
لاَ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَتَّكِلُوْا.
“Jangan, karena saya benar-benar khawatir mereka akan bergantung kepadanya.”
Maka perhatikanlah perkataan di atas: “Namun menjelang wafatnya, Mu’adz menyampaikan hal itu karena khawatir berdosa.”
Jadi ini menguatkan bahwa para ulama tidak menyembunyikan ilmu. Hanya saja tidak semua orang tepat untuk disampaikan semua hal kepadanya. Hal ini berdasarkan perkataan Ali tadi:
حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ، أَتُحِبُّوْنَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ.
“Sampaikanlah kepada manusia hal-hal yang bisa mereka pahami, kalau tidak maka apakah kalian ingin Allah dan Rasulnya didustakan?!”
Juga berdasarkan riwayat yang menyatakan:
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً.
“Tidaklah engkau menyampaikan sebuah ucapan kepada suatu kaum yang akal-akal mereka tidak mampu memahaminya, kecuali hal itu akan menjadi fitnah bagi sebagian dari mereka.”
(Al-Albany rahimahullah berkata di dalam Silsilah Adh-Dha’ifah no. 4427: “Mungkar.” Beliau juga berkata di sana: “Juga diriwayatkan dalam Muqaddimah Shahih Muslim no. 5 dari jalan Yunus dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah dari Abdullah bin Mas’ud. Saya (Al-Albany) katakan: riwayat ini para perawinya tsiqah, hanya saja terputus antara Ubaidullah dan Abdullah bin Mas’ud.” –pent)
Jadi yang diamalkan oleh para ulama adalah menyebarkan ilmu dan tidak menyembunyikannya serta tidak ada seorang pun yang diberi kekhususan (dalam hal ilmu –pent). Adapun yang terdapat dalam riwayat yang menyebutkan bahwa Hudzaifah adalah pemegang rahasia Rasul shallallahu alaihi was sallam maka hal itu adalah yang berkaitan dengan nama-nama orang-orang munafik di Madinah. Dan hal tersebut bukan termasuk ilmu agama yang membutuhkan untuk ditampakkan, seandainya tidak demikian niscaya Rasul shallallahu alaihi was sallam akan menampakkannya.
Maka, termasuk adab seorang ulama dan seorang penuntut ilmu adalah tidak menyampaikan kepada manusia perkara-perkara yang akal mereka tidak mampu untuk memahaminya, dan hendaknya menjadi seorang ulama rabbani. Kalau tidak demikian jika terpaksa harus menerapkan sebuah ilmu dan menyampaikannya, maka hendaknya dia menyampaikan dan tidak menyembunyikannya.
Al-Bukhary telah meletakkan sebuah bab yang berjudul “Bab Ilmu Sebelum Perkataan dan Perbuatan” lalu beliau membawakan sebuah riwayat secara mu’allaq (tanpa sanad dan langsung kepada sumbernya –pent) dari Abu Dzar dia berkata:
لَوْ وَضَعْتُمُ الصَّمْصَامَةَ عَلَى هَذِهِ -وَأَشَارَ إِلَى قَفَاهُ- ثُمَّ ظَنَنْتُ أَنِّي أُنْفِذُ كَلِمَةً سَمِعْتُهَا مِنَ النَّبِيِّ قَبْلَ أَنْ تُجِيْزُوْا عَلَيَّ لَأَنْفَذْتُهَا.
“Seandainya kalian telah meletakkan pedang di sini –Abu Dzar mengisyaratkan ke tengkuknya– kemudian aku menyangka masih bisa untuk menyampaikan sebuah kalimat yang saya dengar dari Nabi shallallahu alaihi was sallam sebelum kalian membunuhku, pasti aku menyampaikannya.”
(Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bary terbitan Daarus Salam, I/212: “Riwayat mu’allaq ini kami dapatkan riwayatnya secara maushul (bersambung) dalam Musnad Ad-Darimy dan selainnya.” –pent)
Ketika mentafsirkan firman Allah Ta’ala:
كُوْنُوْا رَبَّانِيِّيْنَ.
“Hendaklah kalian menjadi rabbani.” (QS. Ali Imran: 79)
Ibnu Abbas berkata:
حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ، وَيُقَالُ: الرَّبَّانِيُّ الَّذِيْ يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ العِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ.
“Maksudnya: orang-orang yang lembut (dalam sebuah naskah disebutkan orang-orang yang bijak –pent) dan fakih. Dan juga dikatakan: seorang rabbani adalah yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang ringan sebelum ilmu-ilmu yang berat.”
(Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bary terbitan Daarus Salam, I/213: “Riwayat mu’allaq ini diriwayatkan secara maushul (bersambung) oleh Ibnu Abi Ashim dengan sanad hasan dan Al-Khathib dengan sanad lain yang hasan juga.” –pent)
Jadi seperti inilah jalan ilmu yang diwarisi dari para Salaf, walhamdulillah.
Maka, mensifati mereka dengan tindakan menyembunyikan ilmu adalah sifat yang sangat berbahaya yang tidak benar dan tidak pantas. Jadi waspadailah! Baarakallahu fiik.
Sumber artikel:
http://www.bazmool.net/fatawa/ليس-عند-العلماء-قاعدة-في-إخفاء-العلم-للمصلحة
Alih bahasa: Abu Almass
Rabu, 2 Dzulqa’dah 1435 H