Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan adapun nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (adh-Dhuha: 11)
Apabila seseorang memiliki kekayaan yang digunakannya untuk hidup nyaman dan senang, apakah bersesuaian dengan apa yang dimaukan oleh ayat di atas?
Jawab:
Samahatusy Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah menjawab, “Makna ayat tersebut adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam untuk menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya sehingga beliau bisa bersyukur kepada-Nya dengan ucapan sebagaimana beliau mensyukuri-Nya dengan amalan.
Menyebut-nyebut nikmat misalnya seorang muslim berkata, “Sungguh kita dalam keadaan baik, alhamdulillah.”
“Di sisi kita ada kebaikan yang banyak.”
“Kita beroleh nikmat yang sangat banyak, kita harus bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat tersebut.”
Ia tidak boleh berkata, “Kita orang miskin.”
“Kita tidak punya apa-apa….”, dsb.
Tidak pantas ia berkata demikian padahal ia mendapat kecukupan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semestinya, ia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyebut-nyebut berbagai nikmat-Nya. Ia harus mengakui kebaikan yang Dia berikan kepadanya.
Ia tidak boleh menyebut-nyebut kefakirannya, seperti mengatakan, “Kami tidak punya harta, tidak punya pakaian.”
“Tidak punya ini, tidak punya itu….”
Akan tetapi, ia harus menyebut nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diterimanya dan mensyukuri Rabbnya.
Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kenikmatan kepada hamba-Nya, Dia senang pengaruh nikmat tersebut terlihat pada si hamba, dalam pakaian yang dikenakan, makanan, dan minumannya. Jangan malah ia tampil sebagaimana penampilan seorang fakir (makan minumnya seperti seorang fakir). Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberinya harta dan melapangkan hidupnya, tidak semestinya pakaian dan makanannya seperti seorang fakir. Seharusnya ia menampakkan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dalam hal makanan, minuman, dan pakaiannya.
Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa hal ini berarti membolehkan hidup berlebih-lebihan yang melampaui batas hingga mencapai ghuluw, sebagaimana tidak bolehnya israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (boros).”
[Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/118—119]
Sumber: Majalah Asy Syariah