CATATAN TERHADAP TULISAN ABBUL ABBAS MUHAMMAD JIBRIL ASY-SYIHRY
Asy-Syaikh Ali Al-Hudzaify hafizhahullah
Setelah penulisan catatan-catatan terhadap ucapan Al-Bura’iy, sebagian ikhwah menunjukkan kepada saya ucapan Abul Abbas Muhammad Jibril Asy-Syihry sebagai berikut:
السلام عليكم ورحمة الله
وبركاته.
Wahai saudara-saudaraku di jalan Allah: Saya ingin menyampaikan nasehat, yaitu hendaknya kita mengatakan yang terbaik yang kita ketahui, terlebih lagi di masa-masa fitnah antara sesama Ahlus Sunnah.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَقُلْ لِعِبَادِيْ يَقُوْلُوْا الَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِيْنًا.
“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku agar mereka mengucapkan perkataan yang paling baik, karena sesungguhnya syaithan itu selalu berusaha menimbulkan perselisihan di antara mereka, sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Israa’: 53)
Ketika kita menghadapi berbagai fitnah [1], seandainya kita semua diam dan menyerahkannya kepada para ulama yang merupakan lebih memiliki kecemburuan dibandingkan diri kita dalam membela agama Allah agar mereka saja yang berbicara, tentu hal ini adalah sikap yang tepat.
Terlebih lagi di umat ini selalu ada ulama-ulama besar yang mereka menjadi rujukan dalam menghadapi berbagai fitnah dan masalah-masalah besar.
Dan termasuk kesalahan jika seorang penuntut ilmu lancang membantah seorang ulama Ahlus Sunnah.
Yang semacam ini bukan merupakan solusi dan saya khawatir hal itu termasuk sikap terburu-buru dalam menyebarkan isu.
Padahal Allah Jalla Jalaaluh berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوْا بِهِ وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُوْلِيْ الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيْلًا.
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka terburu-buru menyiarkannya.” (QS. An-Nisaa’: 83)
Jadi menyebarkan makalah seperti yang ditulis oleh saudara kita Ali Al-Hudzaify dalam keadaan dia termasuk salah seorang penuntut ilmu dan seorang dai yang tulisannya tersebut membantah dua atau orang syaikh dari masyayikh dakwah Salafiyah [2] di negeri Yaman, hal itu merupakan tindakan membuka pintu yang tidak terpuji akibatnya. [3] Kita semua memuji Allah karena memudahkan untuk kita dengan keberadaan para ulama Ahlus Sunnah di dunia ini yang mereka merupakan orang-orang yang suka menyampaikan nasehat dan terpercaya, mereka tidak diam terhadap kebathilan yang mereka ketahui dan tidak pula bersikap basa-basi terhadap seorang pun dari Ahlus Sunnah yang terjatuh pada sebuah kesalahan. Maka tidakkah kita serahkan saja hak itu untuk mereka dalam menghadapi keadaan-keadaan ini?!
Termasuk kesalahan juga adalah berdalil dengan kisah-kisah dan peristiwa-peristiwa yang memiliki hal-hal yang kurang jelas pada sebuah zaman untuk menilai kesimpulan-kesimpulan yang kita inginkan pada hari ini.
Padahal Allah Jalla Jalaaluh berfirman kepada Nabi Dawud alaihis salam:
يَا دَاوُوْدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً فِيْ الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ.
“Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi, maka hukumilah sengketa diantara manusia dengan kebenaran dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu karena hal itu akan menyesatkan dirimu dari jalan Allah.” (QS. Shaad: 26)
Hal itu karena beliau memutuskan hukum hanya berdasarkan mendengar klaim yang disampaikan di hadapannya. Maka bagaimana sikap kita terhadap hal yang semacam itu?! [4] Saya telah membaca makalah tersebut dan padanya terdapat beberapa perkara [5], hanya saja sebagaimana yang telah saya sampaikan di awal; hendaknya hak berbicara kita serahkan kepada ahlinya.
Saya akhiri dengan sebuah kalimat yaitu bahwasanya para pengikut Hajury yang sesat dan penuh fitnah suka membawakan kisah-kisah untuk mencela para ulama Ahlus Sunnah di Yaman, dan tujuan mereka adalah untuk mengesankan bahwa mereka sebenarnya bukanlah ulama dan mereka adalah orang-orang yang ngawur dalam menghadapi fitnah.
Seandainya engkau merenungi dengan seksama, niscaya engkau akan melihat Hajuriyun itu hakekatnya hanyalah membantah guru dari para ulama itu (Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah) yang merupakan imam dakwah Salafiyah. Karena beliau telah mentzkiyah mereka, menganggap mereka sebagai orang-orang yang adil, memuji mereka, dan sebeum beliau wafat beliau mewasiatkan agar Ahlus Sunnah memuliakan mereka dan jika ada masalah besar hendaklah ahlul halli wal aqdi dari mereka berkumpul untuk menyelesaikannya.
Dahulu ada para pemuda yang melaporkan kepada beliau celaan-celaan terhadap Syaikh Al-Imam dan Syaikh Al-Bura’iy dan yang lainnya.
Maka beliau rahimahullah mencela mereka dengan celaan yang keras, dan saya sendiri mendengar dari beliau ucapan yang banyak berkaitan dengan hal tersebut, bahkan terkadang beliau mengusir beberapa pemuda karena mereka ashabul manhaj (merasa sok yang paling tahu manhaj)
[7] dan ketika itu beliau mengatakan: “Kalian mencela dalam keadaan saya lebih mengetahui keadaan murid-muridku dibandingkan kalian.
”Maka saya tidak menasehatkan bagi diriku dan bagi saudaraku yang mulia untuk membantah, kecuali dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya:
وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُوْلِيْ الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيْلًا.
“Seandainya mereka mengembalikan penanganannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui sikap yang tepat dalam menghadapi berita itu bisa mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kalian, niscaya kalian mengikuti syaitan kecuali sebagian kecil saja.” (QS. An-Nisaa’: 83)
Tertanda: Saudara kalian, Abul Abbas Asy-Syihry
*************************************************
Catatan Kaki (Sanggahan Terhadap tulisan di atas):
[1] Yang nampak bahwasanya pengertian fitnah menurutmu kacau, yaitu menyelisihi istilah fitnah menurut para ulama ummat semuanya.
Adapun orang-orang yang berakal maka mereka mengerti bahwa perkataan saya tersebut sebagai bentuk pembelaan seorang ulama, dan tidak butuh untuk dibesar-besarkan semacam ini.
Adapun menganggapnya termasuk masalah-masalah besar, maka demi Allah hal itu merupakan musibah, dan bisa jadi musibahmu ini juga engkau anggap termasuk masalah-masalah besar juga.
[2] Duhai kiranya engkau menunjukkan bukti kepada kami mana kamus bagi istilahmu, agar kami bisa mengetahui siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan para Ulama Kibar itu menurutmu dan siapakah yang shighar.
Juga agar kami bisa mengetahui kapankah dibolehkan secara syari’at bagi orang yang kecil untuk membantah orang besar, dan agar kami mengetahui bagaimana engkau telah membolehkan untuk dirimu untuk membantah saya demi membela kesalahan-kesalahan mereka, namun engkau tidak membolehkan bagi saya untuk membantah mereka dalam rangka membela para ulama!!
Kemudian sesungguhnya para imam dahulu mereka tidak mengenal rincian seperti yang didatangkan kepada kami ini oleh dirimu dan orang-orang semisal denganmu.
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata di dalam risalah Al-Hikam Al-Jadiirah bil Idzaa’ah min Qaulin Nabi Bu’itstu bis Saif baina Yadais Sa’ah:
فأما مخالفة بعض أوامر الرسول صلى الله عليه وسلم خطأ من غير عمد، مع الاجتهاد على متابعته، فهذا يقع كثيراً من أعيان الأمة من علمائها وصلحائها، ولا إثم فيه، بل صاحبه إذا اجتهد فله أجر على اجتهاده، وخطأه موضوع عنه، ومع هذا فلا يمنع ذلك من علم أمر الرسول نصيحة لله ولرسوله ولعامة المسلمين، ولا يمنع ذلك من عظمة من خالف أمره خطأ، وهب أن هذا المخالف عظيم له قدر وجلالة وهو محبوب للمؤمنين، إلا أن حق الرسول مقدم على حقه وهو أولى بالمؤمنين من أنفسهم. فالواجب على كل من بلغه أمر الرسول وعرفه أن يبينه للأمة وينصح لهم، ويأمرهم باتباع أمره وإن خالف ذلك رأي عظيم الأمة.
“Adapun penyelisihan terhadap sebagian perintah Rasul shallallahu ‘alaihi was sallam karena keliru tanpa kesengajaan di samping adanya kesungguhan dalam mengikuti beliau, maka semacam ini banyak terjadi pada tokoh-tokoh besar umat ini dari para ulama dan orang-orang yang shalih.
Maka hal tersebut tidak ada dosa padanya, bahkan pelakunya jika dia berijtihad maka dia mendapatkan pahala atas ijtihadnya dan kesalahannya tidak diambil darinya.
Walaupun demikian, hal itu tidak menghalangi siapa saja yang mengetahui perintah Rasul shallallahu ‘alaihi was sallam untuk menyampaikan nasehat bagi Allah, Rasul-Nya, dan semua kaum Muslimin, dan hal itu tidak dihalangi oleh besarnya kedudukan orang yang menyelisihi perintah Rasul yang dilakukan tanpa kesengajaan tersebut.
Dan anggaplah orang yang menyelisihi perintah Rasul shallallahu ‘alaihi was sallam tersebut adalah orang yang besar serta memiliki kedudukan dan kemuliaan dan dia pun dicintai oleh kaum mu’minin, tetapi hak Rasul shallallahu ‘alaihi was sallam wajib didahulukan hak orang tersebut dan beliau paling layak untuk dimuliakan atas kaum mu’minin.
Maka yang wajib atas siapa saja yang sampai kepadanya perintah Rasul shallallahu ‘alaihi was sallam dan dia mengetahuinya dengan baik untuk menjelaskannya kepada umat dan menasehati mereka, serta memerintahkan mereka agar mengikuti perintah beliau, walaupun hal itu bertentangan dengan pendapat salah seorang yang mulia di umat ini.”
Ibnu Rajab rahimahullah juga mengatakan:
وكذلك المشايخ والعارفون كانوا يوصون بقبول الحق من كل من قال الحق؛ صغيراً كان أو كبيراً وينقادون لقوله.
“Demikian juga para masayikh dan orang-orang yang arif mereka dahulu selalu mewasiatkan agar menerima kebenaran dari siapa saja yang mengatakan kebenaran –baik dia orang yang kecil maupun orang yang besar– dan tunduk kepada kebenaran yang dia ucapkan tersebut.”
[3] Ini adalah vonis dari dirimu sendiri pada sebuah bab yang engkau namakan sebagai masalah besar.
Maka duhai kiranya engkau sendiri diam dan menyerahkan perkaranya kepada ahlinya, niscaya engkau tidak melelahkan orang lain dan engkau sendiri juga bisa beristirahat.
Tetapi engkau termasuk model orang-orang yang mengatakan: “Kalian jangan menyalip para ulama!”
Padahal mereka sendiri mendahului para ulama puluhan kilometer.
[4] Ini menunjukkan bahwa engkau adalah orang yang perlu dikasihani, karena sungguh banyak dari hal ini adalah perkara-perkara yang telah masyhur di medan dakwah dan mereka sendiri tidak mengingkarinya, walaupun ada pihak lain yang mengingkarinya.
Maka hendaknya mereka bersumpah…
[5] Dia menyebutkan bahwa pada makalah saya tersebut terdapat beberapa perkara.
Subhanallah, engkau sendiri merasa dirimu berhak untuk membantah, adapun orang lain dirimu yang dia lebih dahulu dibandingkan dirimu tidak boleh.
Duhai alangkah anehnya, demi Allah.
[6] Engkau sendiri adalah orang terakhir yang membantah Hajury dan para pengikutnya, karena engkau dahulu termasuk mereka hingga belum lama ini.
Dan Allah yang lebih mengetahui apakah sekarang ini engkau menganggapnya sebagai seorang mubtadi’ ataukah sebagai seorang mujtahid?! Karena sungguh orang-orang yang mendengarmu dari teman-temanmu telah menukilkan darimu sebuah ucapan semacam ini.
Maka hendaklah engkau serius untuk membebaskan dirimu sendiri terlebih dahulu dari tuduhan itu!
Kemudian sesungguhnya para pengikut Hajury tujuan mereka adalah untuk mengesankan bahwa mereka bukanlah ulama, sedangkan perkataan saya dalam konteks menjelaskan kritikan Asy-Syaikh Ubaid menurut penilaiannya.
[7] Engkau akan mengetahui kisah ashabul manhaj sebentar lagi pada catatan-catatan berikutnya yaitu pada catatan keenam insya Allah.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ.
“Kecuali orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 86)
Juga firman-Nya:
وَمَا شَهِدْنَا إِلَّا بِمَا عَلِمْنَا.
“Dan kami tidaklah bersaksi kecuali dengan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81)
Ditulis oleh: Abu Ammar Ali Al-Hudzaify Malam Jum’at, 28 Muharram 1436
Sumber: Whatsapp Miratsul Anbiya Indonesia