Buah Kesabaran Dan Akhlak Mulia

Buah Kesabaran Dan Akhlak MuliaBUAH KESABARAN DAN AKHLAK MULIA

Seorang shahabat dan putra shahabat yaitu Abdullah bin Ja’far [1] radhiyallahu anhuma memiliki seorang budak wanita yang pandai menyanyi (tanpa music –pent) yang bernama Umarah. Beliau sangat mencintainya dan budaknya tersebut memiliki kedudukan di hatinya yang tidak dimiliki oleh budak-budak wanitanya yang lainnya.

Pernah Abdullah bin Ja’far pergi memenuhi undangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan membawa Umarah. Suatu hari Yazid bin Mu’awiyah mengunjunginya di penginapannya, lalu Abdullah mengeluarkan Umarah di hadapan Yazid. Ketika melihatnya dan mendengarkan nyanyiannya, Yazid pun jatuh hati kepada Umarah, padahal dia bukan memilikinya. Tidak ada yang menghalanginya untuk mengungkapkan cintanya kecuali karena kedudukan ayahnya (Mua’awiyah yang merupakan Amirul Mu’minin waktu itu –pent), di samping rasa putus asa untuk mendapatkannya.

Manusia terus membicarakan secara diam-diam perkara Umarah hingga Muawiyah wafat dan kekhalifahan beralih kepada Yazid. Maka Yazid meminta saran kepada sebagian orang-orang yang datang dari Madinah dan orang-orang yang bisa dia percaya tentang urusan Umarah dan bagaimana cara mendapatkannya. Maka ada yang mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya Abdullah bin Ja’far tidak bisa dibujuk, kedudukannya di mata orang-orang khusus dan orang-orang awam telah Anda ketahui, Anda tidak menganggap boleh untuk memaksanya, dia juga tidak akan mungkin menjualnya selama-lamanya berapa pun harganya, jadi tidak ada gunanya selain dengan menggunakan siasat.”

Yazid menjawab: “Tunjukkan kepadaku seseorang dari Iraq yang memiliki adab yang tinggi dan pengalaman!” Maka mereka pun mencarikan untuknya dan membawanya menemui Yazid. Ketika Yazid melihatnya maka dia menilai orang tersebut memiliki adab yang tinggi dan pemahaman yang baik. Yazid berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku mengundangmu untuk sebuah perkara yang jika engkau berhasil maka engkau akan mendapatkan balasan yang akan cukup untukmu hingga engkau meninggal dan jasa yang akan aku balas dengan yang setimpal insya Allah.” Kemudian dia menceritakan urusannya kepadanya.

Orang itu mengatakan kepada Yazid: “Sesungguhnya Abdullah bin Ja’far tidak akan bisa dibujuk kecuali dengan siasat, dan tidak akan ada seorang pun yang mampu memenuhi apa yang Anda inginkan, maka saya berharap menjadi orang yang mampu melakukannya dengan pertolongan dari Allah, karena itu berilah saya harta yang mencukupi sebagai bekal!” Yazid menjawab: “Ambillah sesuai yang engkau inginkan!”

Maka orang itu mengambil pakaian buatan Syam dan Mesir serta membeli barang dagangan, budak dan hewan tunggangan serta yang lainnya. Kemudian dia pun pergi menuju Madinah dan mengarahkan untanya ke rumah Abdullah bin Ja’far dan dia menyewa sebuah rumah di sampingnya.

Kemudian dari sana dia pergi ke rumah Abdullah bin Ja’far dan mengatakan: “Saya berasal dari Iraq yang datang untuk berdagang, maka saya ingin mendapatkan kemuliaan dengan menjadi tentangga Anda hingga saya bisa menghabiskan dagangan saya.” Maka Abdullah bin Ja’far memerintahkan para pelayannya agar memuliakan dia dan memperlakukannya dengan baik. Ketika dia sudah tinggal beberapa hari dan merasa tenang dan tidak khawatir dicurigai, maka dia ingin memperkenalkan dirinya lebih akrab dan dia pun menyiapkan bighal (peranakan kuda dan keledai –pent) yang bagus, pakaian dari Iraq, dan berbagai hadiah.

Lalu dia mengirimkan itu semua kepada Abdullah bin Ja’far sambil menyertakan surat yang berbunyi: “Wahai tuanku, sesungguhnya saya adalah seorang pedagang, dan nikmat Allah kepada saya sangat banyak, maka saya ingin mengantar sedikit hadiah ini berupa pakaian dan minyak wangi, saya juga mengirimi Anda seekor bighal yang mudah dikendalikan dan nyaman ditunggangi, maka jadikanlah sebagai kendaraan bagi Anda ketika safar. Saya memohon kepada Anda dengan kekerabatan Anda dengan Rasulullah shallallahu alaihi was sallam agar Anda berkenan menerima hadiah saya dan jangan membuat saya merasa menjadi orang yang asing dengan penolakan Anda, karena sesungguhnya saya menjadikan kecintaan kepada Anda dan kepada ahli bait Anda sebagai bagian dari menjalankan kewajiban agama Allah, dan sesungguhnya harapan terbesar saya pada safar saya ini adalah bisa dekat dengan Anda dan merasa mendapatkan kemuliaan dengan menjalin hubungan baik dengan Anda.”

Maka Abdullah bin Ja’far memerintahkan agar menerima hadiahnya. Setelah itu dia pergi ke masjid untuk shalat. Ketika pulang dari masjid, beliau melewati rumah orang Iraq tadi. Maka orang itu bangkit menyambutn dan mencium tangan beliau, dan berbicara lama dengan beliau. Ketika itu Abdullah bin Ja’far menilainya sebagai orang yang penuh adab dan fasih bahasanya, hingga beliau pun merasa kagum dengannya dan merasa senang dengan kedatangannya. Maka orang Iraq itu setiap hari mengirim hadiah kepada beliau. Abdullah bin Ja’far berkata: “Semoga Allah membalas kebaikan tamu kita, dia telah memenuhi kita dengan rasa syukur dan kita tidak mampu membalasnya.”

Demikian terus dilakukan oleh orang Iraq tersebut sampai suatu hari Abdullah bin Ja’far mengundangnya dan beliau memanggil Umarah dan budak-budak wanita beliau yang lainnya. Ketika keduanya sedang asyik berbicara, dia mendengar nyanyian Umarah sehingga merasa kagum dan bertambah kekagumannya. Ketika Abdullah bin Ja’far melihat kekagumannya maka beliau pun merasa senang hingga mengatakan: “Apakah engkau pernah melihat budak seperti Umarah?” Orang Iraq itu menjawab: “Demi Allah, saya tidak pernah melihat yang semisalnya, wahai tuanku. Dia tidak pantas kecuali hanya untuk Anda, dan saya kira di dunia ini tidak ada budak yang seperti dia kecantikannya dan kemerduan nyanyiannya.”

Lalu Abdullah bin Ja’far bertanya: “Menurutmu berapa harga dari Umarah?” Orang Iraq itu menjawab: “Tidak ada yang bisa sebanding dengannya kecuali kekhilafahan.” Maka beliau berkata: “Engkau mengatakan seperti ini karena ingin menghiasi penilaianku terhadapnya dan engkau ingin aku merasa senang.”

Orang itu pun menjawab: “Wahai tuanku, demi Allah saya sangat menginginkan Anda merasa senang, dan saya tidak mengatakan kecuali yang sebenarnya. Setelah itu sesungguhnya saya adalah seorang pedagang yang mengumpulkan dirham demi dirham untuk mendapatkan keuntungan. Dan seandainya Anda memberikannya kepada saya dengan harga 10.000 dinar (sekitar 23 milyar rupiah lebih –pent) [2] tentu saya ambil.” Maka Abdullah bin Ja’far berkata: “Kalau begitu saya jual dia kepadamu seharga 10.000 dinar.” Orang Iraq itu langsung menyahut: “Saya ambil dia.” Abdullah bin Ja’far bertanya penuh keheranan: “10.000 dinar?!” Pada waktu itu belum pernah diketahui ada budak wanita dengan harga segitu. Orang Iraq itu menjawab: “Saya telah mengambilnya.” Maka beliau pun berkata: “Kalau begitu dia telah menjadi milikmu.” Lalu orang Iraq itu pun pulang ke rumahnya.

Keesokan harinya Abdullah bin Ja’far tidak sadar kecuali uangnya telah datang. Salah seorang pelayannya mengatakan kepadanya: “Orang Iraq itu telah mengantar uang 10.000 dinar dan  dia mengatakan bahwa itu untuk pembayaran Umarah.” Maka beliau langsung mengembalikannya dan menulis surat: “Saya hanya bercanda denganmu, dan bukankah saya telah memberitahumu bahwa orang seperti saya tidak akan menjual budak wanita seperti dia.”

Maka orang Iraq itu datang dan mengatakan: “Saya menjadi tebusan Anda, sesungguhnya serius dan bercanda dalam jual beli hukumnya sama.” Abdullah bin Ja’far menjawab: “Celaka engkau, saya tidak tahu ada budak wanita yang harganya senilai yang telah engkau berikan. Seandainya saya bermaksud menjualnya kepada seseorang, tentu saya mengutamakan untuk menjualnya kepadamu. Tetapi saya hanya bercanda, dan saya tidak akan menjualnya walaupun dibeli dengan kerajaan dunia karena dia sangat berharga bagiku dan kedudukannya sangat besar di hatiku.” Maka orang Iraq itu mengatakan: “Jika Anda hanya bercanda, maka sesungguhnya saya serius, dan saya tidak mengetahui apa yang ada dalam hati Anda. Saya telah memiliki budak tersebut dan saya telah mengantar pembayarannya kepada Anda. Sekarang dia tidak lagi halal bagi Anda dan saya harus mengambilnya.”

Abdullah bin Ja’far masih berusaha mempertahankannya. Maka orang itu mengatakan: “Saya memang tidak memiliki bukti, tetapi saya meminta Anda untuk bersumpah di sisi kuburan Rasulullah shallallahu alaihi was sallam dan mimbar beliau (hal ini bisa menyeret kepada kesyirikan –pent).” Ketika Abdullah bin Ja’far melihat perkaranya serius, beliau berkata: “Seburuk-buruk tamu adalah engkau, tidak ada orang yang datang dan singgah kepada kami yang lebih besar bencananya dibandingkan dirimu. Apakah engkau memintaku untuk bersumpah agar manusia mengatakan bahwa Abdullah telah menindas tamunya dan semena-mena kepadanya sehingga tamunya terpaksa memintanya untuk bersumpah. Demi Allah, Allah benar-benar mengetahui bahwa saya memohon kepada-Nya agar memberi kesabaran dalam menghadapi perkara ini dan berduka dengan cara yang baik.”

Kemudian Abdullah bin Ja’far memerintahkan orang kepercayaannya agar menerima uang pembayaran dari orang Iraq tersebut dan menyiapkan Umarah dengan memberinya pakaian yang sesuai dengan kecantikannya, memberinya pelayan dan juga minyak wangi. Maka Umarah pun diberi bekal sekitar 3000 dinar dan Abdullah bin Ja’far berkata kepada orang Iraq tersebut: “Ini untukmu dan untuknya sebagai ganti hadiah yang pernah engkau berikan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja kami memohon pertolongan agar bisa bersabar terhadap musibah ini.”

Maka orang Iraq itu pun mengambil Umarah dan membawanya pergi. Ketika telah meninggalkan Madinah, dia berkata kepada Umarah: “Wahai Umarah, demi Allah sebenarnya bukan saya yang membeli dirimu sama sekali dan engkau bukan milik saya, dan orang seperti saya ini tidak akan mungkin mampu membeli budak wanita seharga 10.000 dinar, dan juga tidak pantas bagi saya untuk datang kepada anak paman Rasulullah shallallahu alaihi was sallam untuk merampas orang yang paling dia cintai hanya untuk diri saya sendiri. Tetapi sebenarnya saya adalah orang yang disuruh oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan engkau adalah miliknya, dan hanya untuk mendapatkan dirimu saja saya dikirim. Karena itu maka berhijablah dariku, dan jika syaithan menggodaku untuk mengganggumu atau diriku menginginkan dirimu maka hendaklah engkau menolaknya!”

Kemudian dia membawanya pergi hingga sampai ke Dimasyq (Damaskus). Setibanya di sana ternyata manusia sedang berduka dengan meninggalnya Yazid bin Mu’awiyah, dan anaknya yang bernama Mu’awiyah bin Yazid telah diangkat menjadi khalifah menggantikannya. Maka orang Iraq itu tinggal beberapa hari, kemudian berusaha menemui Khalifah dengan pelan-pelan, lalu dia pun menceritakan kisahnya kepada Khalifah. Diriwayatkan bahwa bahwa tidak ada di kalangan Bani Umayyah yang menandingi Mu’awiyah bin Yazid di zamannya dalam hal kecerdasan dan ibadah. Ketika orang Iraq itu telah selesai mengabarkan, maka Khalifah berkata kepadanya: “Dia untukmu, dan semua harta yang diberikan oleh ayahku untuk mendapatkannya maka semuanya untukmu, dan pergilah engkau sejak hari ini dan saya tidak ingin mendengar beritamu di negeri Syam sedikit pun!”

Maka orang Iraq itu pergi dan dia berkata kepada Umarah: “Saya telah mengatakan kepadamu apa yang telah saya katakan ketika saya membawamu pergi dari Madinah dan telah saya kabarkan bahwa engkau adalah milik Yazid, dan sekarang engkau telah menjadi milikku. Namun saya menjadikan Allah sebagai saksi bahwa engkau saya berikan untuk Abdullah bin Ja’far dan saya telah mengembalikanmu kepada beliau, maka berhijablah engkau dariku!”

Kemudian dia membawa Umarah ke Madinah dan berhenti di dekat rumah Abdullah bin Ja’far. Maka sebagian pelayan beliau mengabarkan kepada beliau: “Orang Iraq yang dahulu menjadi tamu Anda dan telah berbuat terhadap kita apa yang telah dia perbuat, dia sekarang berada di tanah lapang di luar sana, semoga Allah tidak memperpanjang hidupnya.” Maka Abdullah bin Ja’far mengatakan: “Jangan seperti itu, jamulah orang itu dan muliakanlah dia!”

Ketika orang Iraq itu telah istirahat dengan cukup maka dia mengutus seseorang kepada Abdullah bin Ja’far agar menyampaikan: “Saya menjadi tebusan Anda, jika Anda mengizinkan saya untuk bertemu sebentar saja, maka saya ingin berbicara langsung dengan Anda untuk menyampaikan sesuatu.” Maka Abdullah bin Ja’far mengizinkannya. Ketika dia masuk maka dia mengucapkan salam dan mencium tangan beliau, dan beliau membawanya ke ruangan khusus. Kemudian dia menceritakan kisahnya hingga selesai lalu dia mengatakan: “Demi Allah, saya telah memberikannya kepada Anda sebelum saya melihatnya atau menyentuhnya. Jadi dia untuk Anda dan saya kembalikan kepada Anda. Dan Allah mengetahui bahwa saya tidak pernah melihat wajahnya kecuali ketika dia berada di samping Anda.”

Lalu orang itu menyuruh seseorang agar mendatangkan Umarah. Maka Umarah pun datang dengan penampilan lengkap seperti ketika dia disiapkan oleh Abdullah bin Ja’far. Ketika Umarah melihat Abdullah bin Ja’far maka dia jatuh pingsan dan beliau pun segera menahannya dan memeluknya.

Maka orang Iraq itu keluar dan seisi rumah pun berteriak: “Umarah, Umarah!” Lalu Abdullah bin Ja’far pun berkata sambil berlinangan air mata: “Apakah ini mimpi, apakah ini benar-benar terjadi, saya tidak percaya dengan apa yang terjadi!”

Maka orang Iraq itu berkata: “Saya menjadi tebusan bagi Anda, Allah telah mengembalikannya kepada Anda karena Anda lebih mengutamakan untuk menepati janji, Anda bersabar di atas kebenaran, dan tunduk kepadanya.” Abdullah bin Ja’far menjawab: “Alhamdulillah, ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku benar-benar bersabar ketika kehilangan dia, aku lebih mengutamakan untuk menepati janji, aku pasrah kepada urusan-Mu, maka Engkau dengan karunia-Mu mengembalikan dia kepadaku.” Umarah pun ikut terharu dan mengatakan: “Alhamdulillah.”

Kemudian Abdullah bin Ja’far mengatakan: “Wahai saudaraku dari Iraq, tidak ada di muka bumi ini yang lebih besar kebaikannya kepadaku darimu, dan Allah Ta’ala akan memberikan balasan yang lebih baik kepadamu.” Kemudian orang Iraq itu tinggal beberapa hari. Lalu Abdullah bin Ja’far menjual kambing-kambingnya hingga mencapai nilai 13.000 dinar (sekitar 30 milyar rupiah –pent), dan dia berkata kepada orang kepercayaannya: “Berikan semua uang ini kepada orang Iraq itu dan katakan kepadanya: “Mohon dimaklumi jika kurang berkenan, dan ketahuilah seandainya saya memberikan kepadamu semua yang saya miliki, tetap saja saya menilai engkau layak untuk mendapatkan yang lebih banyak dari semua itu.” Maka orang Iraq itu pun kembali ke negerinya dalam keadaan mulia dan harta berlimpah.

Catatan kaki:

[1] Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata dalam Al-Istii’aab Fii Ma’rifatil Ashaab hal. 387 terbitan Daarul A’lam: “Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib Al-Qurasyi Al-Hasyimy. Kunyahnya Abu Ja’far. Ibunya adalah Asmaa’ bintu Umais, dilahirkan di Habasyah dan merupakan bayi pertama yang lahir di masa Islam di bumi Habasyah. Dia datang ke Madinah bersama ayahnya dan menghafal hadist dari Rasulullah shallallahu alaihi was sallam dan meriwayatkan dari beliau. Meninggal di Madinah tahun 80 H dalam usia 90 tahun…”

Diantara keutamaan Abdullah bin Ja’far adalah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim no. 2428 bahwa beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا فَتُلُقِّيَ بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ.

“Dahulu Nabi shallallahu alaihi was sallam jika tiba dari safar maka beliau menemui kami terlebih dahulu, pernah beliau menemui saya dan dan Hasan atau Husain, lalu beliau menaikkan kami ke kendaraan beliau, salah seorang dari kami beliau letakkan di depan dan yang lainnya di belakang beliau hingga kami masuk kota Madinah.” (pent)

[2] Di situs  http://www.logammulia.com/gold-bar-id.php  dan  http://www.logammulia.com/industrial-gold-silver-platinum-id.php  pada hari Rabu tanggal 14 Mei 2014 pukul 07.54 WIB disebutkan bahwa harga 1 dinar adalah Rp. 2.388.925. (pent)

Sumber artikel:
Taarikh Dimasyq, XXVII/286-290

Alih Bahasa: Abu Almass
Kamis, 1 Dzulhijjah 1435 H

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.