Pertanyaan: Ayah saya menikah dengan seorang wanita yang memiliki anak perempuan yang masih menyusu. Setelah pernikahannya dengan ayah saya, wanita tersebut menyapih anak perempuannya. Ayah saya berkeinginan kelak bila anak perempuan tersebut telah besar, ia hendak menikahkan saya dengannya. Pertanyaannya, apakah hal tersebut dibolehkan bagi saya?
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjawab:
Boleh ia menikah dengan anak perempuan yang merupakan rabibah (anak tiri/anak istri) ayahnya tersebut. Boleh bagi anak laki-laki suami menikah dengan rabibah ayahnya.
Yang menjadi kaidah di sini, pernikahan yang diharamkan dalam hubungan mushaharah atau hubungan yang terjalin karena pernikahan seorang pria dengan seorang wanita adalah ushul dan furu’ [1] istri bagi si suami secara khusus dan tidak bagi kerabat suami [2]. Demikian pula ushul dan furu’ suami menjadi haram untuk menikahi si istri secara khusus dan tidak haram untuk menikahi kerabat si istri. Akan tetapi, tiga golongan darinya, diharamkan dengan semata-mata akad, sedangkan satu golongan lagi harus disertai dengan dukhul [3], dengan perincian sebagai berikut:
- Ushul suami haram bagi istri dengan akad
- Furu’ suami haram bagi istri dengan akad
- Ushul istri haram bagi suami dengan akad
- Furu’ istri haram bagi suami dengan akad berikut dukhul.
Yang dimaksud ushul istri adalah ibunya, nenek-neneknya dan terus ke atas. Sedangkan furu’-nya adalah putrinya, cucu-cucu perempuannya dari anak-anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Sementara ushul suami adalah ayahnya, kakek-kakeknya dan terus ke atas. Sedangkan furu’-nya adalah putranya, cucu-cucu laki-lakinya dari anak-anak laki-lakinya dan terus ke bawah.
Untuk lebih memperjelas permasalahan ini, kita berikan contoh berikut ini:
Apabila seorang lelaki (sebutlah B, –pent.) menikah dengan seorang wanita yang bernama Zainab dan si Zainab punya ibu bernama Asma`. Maka Asma` haram dinikahi oleh si B (menantunya/suami dari anak perempuannya) dengan semata-mata akadnya dengan Zainab, karena Asma` termasuk ushul Zainab.
Apabila Zainab ketika menikah dengan si B, sudah mempunyai anak perempuan bernama Fathimah, maka Fathimah haram dinikahi si B (suami ibunya) apabila si B/ayah tirinya tersebut telah dukhul dengan ibunya. Maksudnya, ayah tirinya telah “bergaul” dengan ibunya. Namun bila si ayah tiri menceraikan ibunya sebelum menggaulinya, maka Fathimah halal dinikahi oleh mantan ayah tirinya. Sedangkan Asma`, si nenek (ibu dari Zainab) tetap tidak halal dinikahi.
Bila si B memiliki ayah bernama Abdullah dan anak laki-laki bernama Abdurrahman, maka Abdullah haram menikah dengan menantunya (istri si B yaitu Zainab sebagaimana contoh di atas, pent.) dengan semata-mata akad (antara si menantu dengan B, putranya, tanpa persyaratan dukhul, pent.). Demikian pula yang berlaku bagi Abdurrahman. Ia haram menikah dengan istri ayahnya (Zainab) dengan semata-mata akad (antara si B ayahnya dengan Zainab/ibu tirinya, pent.). Namun boleh bagi Abdurrahman menikah dengan Fathimah putri Zainab, karena yang diharamkan bagi ushul dan furu’ suami adalah si istri secara khusus, dan tidak haram bagi kerabat-kerabat istri.
Dan boleh bagi Abdullah, ayah si B, untuk menikah dengan Asma`, mertua si B (ibu Zainab).
Yang menjadi dalil dalam hal ini adalah firman Allah:
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri) kecuali pada masa yang telah lampau (sebelum datangnya larangan ini)….” (An-Nisa`: 22-23)
Pelarangan dalam ayat di atas ditujukan kepada furu’ suami, haram bagi si anak laki-laki untuk menikahi istri ayahnya. Firman Allah:
“(Janganlah kalian menikahi) … ibu dari istri (mertua) kalian.”
Yang dimaukan di sini adalah ushul istri, haram dinikahi oleh si suami.
Firman Allah:
“(Janganlah kalian menikahi)… putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya.”
Yang ditujukan di sini adalah furu’ istri, haram dinikahi oleh si suami.
Sedangkan firman Allah:
“Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu).”
Pelarangan ditujukan kepada ushul suami, haram bagi seorang ayah menikahi istri anaknya.
Boleh bagi seorang lelaki menikahi seorang wanita sementara ayah si laki-laki menikahi putri si wanita, karena furu’ istri hanya haram bagi suami, tidak bagi kerabat suami. Dan boleh seorang lelaki menikahi seorang wanita, sementara ayahnya menikahi ibu si wanita.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Durus wa Fatawa fil Haramil Makki, hal. 1041-1042)
Sumber: Majalah Asy Syariah Online
———————————————————————————-
Keterangan:
- Ushul seseorang berarti orangtuanya ke atas, kakek neneknya, buyutnya dan seterusnya. Sedangkan furu’ berarti keturunannya ke bawah, anaknya, cucunya, dan seterusnya. –pent.
- Maksudnya dengan terjalinnya sebuah pernikahan, haram bagi suami menikahi ushul dan furu’ istrinya. Namun keharaman ini tidak berlaku bagi kerabat si suami, artinya boleh bagi kerabat suami menikah dengan ushul dan furu’-nya istri. –pent.
- Sudah akad dan sudah pula berjima’.