Bolehkah Mengeraskan Bacaan Shalat Sirriyah Atau Sebaliknya Dan Bimbingan Menggunakan Pengeras Suara Di Masjid

BimbinganBOLEHKAH MENGERASKAN BACAAN SHALAT SIRRIYAH ATAU SEBALIKNYA DAN BIMBINGAN MENGGUNAKAN PENGERAS SUARA DI MASJID

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Pendengar yang bernama Muhammad Khair dari Suriyah mengatakan dalam suratnya: “Apakah disyaratkan untuk mengeraskan suara pada shalat-shalat jahriyah semuanya, dan apa hukumnya jika seseorang mengeraskan suara pada rakaat pertama dan melirihkan pada rakaat kedua?”

Jawaban:

Melirihkan bacaan pada tempatnya dan mengeraskan bacaan pada tempatnya ketika shalat hukumnya sunnah dan tidak wajib, karena yang wajib adalah membaca, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ.

“Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah).” [1]

Jika seseorang mengeraskan suara pada shalat yang sunnahnya melirihkan atau dia melirihkan pada shalat yang sunnahnya mengeraskan, jika tujuannya tersebut adalah menyelisihi As-Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa ini adalah perkara yang haram dan sangat berbahaya. Namun jika dia melakukannya karena tujuan yang lain, apakah semata-mata karena meremehkan As-Sunnah atau karena sebuah sebab yang menuntut untuk melirihkan atau mengeraskan –dan situasi kondisi yang menuntut demikian, kita tidak mampu untuk membatasinya di sini– maka tidak mengapa. Bahkan seandainya seseorang sengaja tidak melirihkan pada shalat yang sunnahnya melirihkan atau tidak mengeraskan pada shalat yang sunnahnya mengeraskan dengan syarat hal itu bukan karena membenci As-Sunnah dan meninggalkannya, maka dia tidak berdosa. Hanya saja dia terluput dari pahala (yang sempurna –pent).

Terdapat riwayat di dalam Ash-Shaihain yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pada shalat sirriyah beliau terkadang mengeraskan ayat yang beliau baca hingga para Shahabat yang menjadi ma’mum di belakang beliau bisa mendengarnya. Jadi jika seorang imam terkadang melakukan hal itu maka tidak masalah bagi imam. Adapun bagi para ma’mum maka mereka tidak boleh mengeraskan bacaan, karena hal itu akan mengganggu jama’ah yang lain. Pernah Nabi shallallahu alaihi was sallam keluar menuju para Shahabat ketika mereka sedang membaca Al-Qur’an dan mengeraskan bacaannya. Maka beliau shallallahu alaihi was sallam bersabda:

لَا يَجْهَرُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِيْ الْقُرْآنِ.

“Janganlah sebagian kalian mengeraskan Al-Qur’an terhadap sebagian yang lain.” [3]

Atau dalam riwayat lain jangan mengeraskan bacaannya.

Jadi kapan saja tindakan mengeraskan suara akan mengganggu yang lain maka hal itu dilarang.

Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan bahwa sebagian orang ada yang melakukan perbuatan yang mengganggu orang lain, padahal maksud mereka adalah baik insya Allah. Yaitu ketika mereka melaksanakan shalat jama’ah maka sebagian mereka ada yang menghidupkan pengeras suara yang ada di menara, sehingga engkau jumpai mereka mengganggu masjid-masjid lain yang ada di dekatnya dan juga orang-orang yang mengerjakan shalat di rumah (para wanita dan orang-orang yang mendapatkan udzur –pent). Terkadang mereka juga mengganggu orang lain yang ingin istirahat karena mereka telah menunaikan kewajiban mereka. Jadi kita anggap misalnya di rumah-rumah penduduk sebagian mereka ada yang sakit yang telah mengerjakan shalat dan ingin bersitirahat, maka suara-suara dari masjid ini bisa mengganggu mereka.

Jika suara-suara ini hanya mengganggu masjid-masjid yang lain maka sesungguhnya hadits yang telah kami isyaratkan tadi yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ dan dinilai shahih oleh Ibnu Abdil Barr, tepat untuk diterapkan pada keadaan semacam ini. Yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:

لَا يَجْهَرُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِيْ الْقُرْآنِ.

“Janganlah sebagian kalian mengeraskan Al-Qur’an terhadap sebagian yang lain.”

Atau dalam riwayat lain jangan mengeraskan bacaannya.

Kemudian sesungguhnya mengeraskan suara di atas menara bisa menyebabkan kemalasan dan sikap menunda-nunda, karena orang-orang yang di rumah yang mendengarnya terkadang salah seorang dari mereka ada yang mengatakan dalam hati: “Shalat masih berlangsung, saya masih bisa mendapatkan rakaat terakhir.” Jika perkaranya seperti itu maka terkadang dia bisa saja tidak mendapatkan shalat berjama’ah. Karena ketika dia mendengar suara imam, engkau jumpai dia meremehkan dan jiwanya mengajak kepada kemalasan. Adapun jika dia tidak mendengar suara imam, maka semuanya masih bisa mendengar adzan, sehingga seseorang akan segera bersiap-siap menuju shalat.

Jadi menurut saya dalam masalah ini shalat jangan dikeraskan dengan pengeras suara di atas menara, hal ini berdasarkan hadits yang telah saya sebutkan dan juga karena sebab-sebab lain yang menuntut untuk tidak mengeraskan shalat di atas menara.

Adapun iqamah shalat dengan pengeras suara di atas menara maka saya berharap hal ini tidak mengapa, walaupun sebagian orang ada yang membantah dengan dalih bahwa mengeraskan iqamah di atas menara juga akan menyebabkan kemalasan, karena jika seseorang mendengar adzan maka dia akan menunggu dan mengatakan: “Saya tunggu sampai iqamah.”

Hanya saja menurut saya hal itu tidak mengapa, karena dalam sebuah hadits shahih dari shallallahu alaihi was sallam beliau bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ وَالوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوْا.

“Jika kalian mendengar iqamah maka berjalanlah menuju shalat dalam keadaan tenang dan jangan terburu-buru.” [4]

Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa iqamah pada masa Nabi shallallahu alaihi was sallam terdengar dari luar masjid. Jika ada yang mengatakan: “Terkadang jama’ah banyak, sementara masjidnya luas dan suara imam lemah, sehingga tidak terdengar oleh sebagian ma’mum.” Maka kita katakan bahwa bisa dengan menggunakan pengeras suara di dalam masjid saja, jadi tidak perlu dengan yang ada di menara, karena tujuannya bisa tercapai.

Catatan kaki:

[1] Hadits Ubadah bin Ash-Shamit yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 756 dan Muslim no. 394, dan ini adalah lafazh Muslim. (pent)

[2] Abu Qatadah Al-Harits bin Rib’iy radhiyallahu anhu menceritakan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِيْ الظُّهْرِ فِيْ الأُوْلَيَيْنِ بِأُمِّ الكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ، وَفِيْ الرَّكْعَتَيْنِ الأُخْرَيَيْنِ بِأُمِّ الكِتَابِ وَيُسْمِعُنَا الآيَةَ، وَيُطَوِّلُ فِيْ الرَّكْعَةِ الأُوْلَى مَا لاَ يُطَوِّلُ فِيْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ، وَهَكَذَا فِيْ العَصْرِ وَهَكَذَا فِيْ الصُّبْحِ.

“Nabi shallallahu alaihi was sallam pernah membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah) dan dua surat pada shalat Zhuhur di dua rakaat pertama, dan pada dua rakaat yang terakhir beliau membaca Ummul Kitab dan mengeraskan bacaannya hingga kami mendengarnya. Beliau memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dan tidak memanjangkannya pada rakaat kedua. Demikian juga pada shalat Ashar dan juga pada shalat Shubuh.”
(HR. Al-Bukhary no. 776 –pent)

[3] Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 1603. (pent)

[4] HR. Al-Bukhary no. 636 dan Muslim no. 602 dan ini adalah lafazh Al-Bukhary. (pent)

Sumber artikel:
Fataawa Nuurun Alad Darb, Program Maktabah Asy-Syaamilah, VIII/2

Alih Bahasa: Abu Almass
Senin, 5 Dzulhijjah 1435 H

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.