Pertanyaan: Benarkah jual beli dengan sistem panjar (uang muka/downpayment-DP)? Kemudian jika pembeli menggagalkan, halalkah mengambil uang panjar tersebut? Bagaimana jual beli yang benar?
Jawab:
Jual beli ini dikenal dalam bahasa fiqih dengan istilah ‘urbun. Definisi terbaik untuk jual beli ini adalah apa yang telah disampaikan Ibnu Qudamah Rahimahullah, yaitu seseorang membeli barang kemudian membayarkan kepada penjual satu dirham atau semisalnya. Dengan syarat, bila pembeli jadi membelinya maka uang itu dihitung dari harga, dan jika tidak jadi membeliya maka itu menjadi milik penjual.
Tentang hukum jual-beli ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:
1. Mayoritas para ulama, satu riwayat dari Al-Imam Ahmad Rahimahullah dan yang dikuatkan oleh Abul Khaththab t dari kalangan ulama Hambali dan Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan bahwa itulah yang sesuai dengan qiyas. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Asy-Syaukani Rahimahullah. Mereka semua mengatakan bahwa jual beli ‘urbun sesuai dengan gambaran di atas, batal. Dengan argumen hadits yang berbunyi:
نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعُرْبُونِ
“Rasulullah melarang jual beli ‘urbun.”
2. ‘Umar ibnul Khaththab, Abdullah –putranya– Radhiyallahu ‘anhuma, Ibnu Sirin, Nafi’ bin Abdul Harits, Zaid bin Aslam rahimahumullah, satu riwayat yang lain dari Al-Imam Ahmad Rahimahullah dan yang masyhur di kalangan ulama Hambali, mereka membolehkan jual beli sesuai gambaran di atas.
Dengan alasan:
- Bahwa hadits yang disebutkan di atas dha’if/lemah. [1]
- Karena penjual bisa jadi menanggung kerugian dengan sebab masa tunggu. Misalnya harga barangnya menjadi turun atau penjual kehilangan calon-calon pembeli. Semua risiko ini ditanggung penjual bila pembeli mengurungkan niatnya untuk membeli. Demikian pula pembeli berikutnya bisa menawar lebih murah setelah ditinggalkan oleh pembeli pertama.
Namun demikian dinasihatkan kepada para penjual, bilamana ia tidak menanggung kerugian apa-apa agar mengembalikan uang itu dalam rangka menjaga sikap wara’.
Atas dasar yang membolehkan jual beli ‘urbun, maka dikecualikan tiga keadaan:
- Pada sesuatu yang disyaratkan secara syar’i harus kontan pada masing-masing barang yang dipertukarkan, yaitu barang-barang yang mengandung riba (lihat penjelasan tentang Riba di Asy Syariah edisi 28). Misalnya uang, seperti menukar uang real Saudi dengan real Yaman. Maka tidak boleh menerapkan sistem ‘urbun.
- Sesuatu yang disyaratkan untuk diserahkan secara kontan dan penuh pada salah satu barang yang dipertukarkan, yaitu pada jual beli sistem salam [2]. Di mana dipersyaratkan secara kontan memberikan uang secara penuh di muka. Maka tidak boleh diberlakukan sistem ‘urbun.
- Pada kondisi penjual tidak memiliki barang yang dijual, maka tidak boleh dengan sistem ‘urbun.
(Diringkas oleh Qomar ZA, dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman Al-’Adani dalam kitabnya Syarhul Buyu’, hal. 36-37)
- Dianggap lemah oleh para ulama, di antaranya oleh Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Dha’iful Jami’ Ash-Shaghir, Dha’if Abu Dawud, Dha’if Ibnu Majah, Misykatul Mashabih. Dikarenakan sanadnya tidak tersambung antara Al-Imam Malik t dengan ‘Amr bin Syu’aib. Yakni Al-Imam Malik Rahimahullah meriwayatkan dengan cara balaghan.
- Sistem salam yaitu seseorang membeli suatu barang yang belum ada di tangan penjual namun ada dalam pikirannya. Maka pembeli dan penjual menyepakati barang yang dibeli dan sifat-sifatnya lalu pembeli menyerahkan uangnya di muka secara penuh. Dalam hal ini disyaratkan barangnya harus jelas, sifatnya jelas, jumlahnya jelas dan waktunya jelas.
—————————————————
Sumber : Majalah Asy Syariah