Bila Akidah dan Tauhid Dianggap Kulit Agama

BILA AKIDAH DAN TAUHID DIANGGAP KULIT AGAMA

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi

Perhatian umat untuk memperbaiki kondisi kaum muslimin yang terbelakang dan senantiasa banyak menelan kekalahan sebenarnya cukup tinggi. Lihatlah, demikian banyak  tokoh atau kelompok yang berupaya melakukan perbaikan dengan berbagai cara dan trik. Namun sayang, sampai sekarang kondisi umat masih begini-begini saja, malah terlihat makin terpuruk. Apa penyebabnya?

Tahukah anda apa yang dimaksud dengan kata-kata kulit? Dan siapakah yang memunculkan statemen ini?

Kulit dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang enteng, remeh, kecil tidak berguna, dan akan dibuang. Padahal secara rasio, kulit itu sangat menentukan isi dan bila kulit itu rusak maka isinya pun akan ikut rusak. Bahkan terkadang kulit lebih besar manfaatnya dari isinya.

Anda bisa membayangkan bila aqidah dan tauhid sebagai sesuatu yang prinsipil di dalam agama hanya dianggap sebagai kulit oleh mereka. Yang memunculkan statemen ini adalah ahli bid’ah dari kalangan hizbiyyun.

Ketahuilah bahwa kerusakan moral di dalam beragama sesungguhnya merupakan imbas kerusakan aqidah dan tauhid. Kerusakan peribadahan setiap orang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan akibat dari kerusakan aqidah dan tauhid. Kerusakan bermuamalah dengan sesama merupakan percikan dari kerusakan aqidah dan tauhid.

Kerusakan dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan implementasi dari kerusakan aqidah dan tauhid. Kerusakan aqidah dan tauhid merupakan muara dan poros dari segala kerusakan di muka bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam firman-Nya:

“Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan-tangan manusia, dan Allah akan merasakan kepada mereka akibat perbuatan mereka agar mereka mau kembali.” (Ar-Rum: 41)

Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menvonis suatu kaum atau individu sebagai orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi dan menjelaskan bentuk-bentuk kerusakan mereka.

1.    Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menvonis orang-orang munafik dengan kekufurannya sebagai perusak di muka bumi, setelah mereka mencoba cuci tangan dari berbuat keru-sakan.

“Dan bila dikatakan kepada mereka janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi! Mereka menjawab: “Bahkan sesungguhnya kamilah yang melakukan perbaikan. (Allah mengatakan) ketahuilah sesungguhnya merekalah yang melakukan kerusakan namun mereka tidak merasa.” (Al-Baqarah: 11-12)

2.    Allah telah menvonis orang-orang yang ingkar kepada Allah dan kepada para rasul sebagai perusak di muka bumi.

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah telah perintahkan untuk dihubungkan dan meng-adakan kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang telah memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (Ar-Ra’du: 25)

3.    Allah Subhanahu wa Ta’ala menvonis kaum Nabi Shalih yang menentang seruannya sebagai perusak di muka bumi.

“Yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (Asy-Syu’ara`: 152)

“Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi dan mereka tidak berbuat kebaikan.” (An-Naml: 48)

4.    Allah Subhanahu wa Ta’ala menvonis Fir’aun dengan segala tindak tanduknya sebagai perusak.

“Apakah sekarang (baru kamu mau percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Yunus: 91)

5.    Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam banyak ayat telah memerintahkan kepada setiap hamba-hamba-Nya agar melihat apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perbuat terhadap kaum yang melakukan kerusakan, seperti di dalam Surat Al-‘Araf ayat 86 dan 103 dan Surat An-Naml ayat 14.

“Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan.” (Al-A’raf: 86)

Dari gambaran ayat di atas, betapa jelasnya makna perbuatan merusak di muka bumi. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengutus seluruh rasul untuk melakukan perombakan dan perbaikan atas segala bentuk kerusakan tersebut. Perlu diingat bahwa para nabi tidak membuat rancangan sendiri dalam mela-kukan perbaikan situasi dan kondisi. Namun mereka menunggu wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tugas yang pertama kali mereka emban adalah pembaharuan landasan dan prinsip hidup, itulah aqidah dan tauhid. Alangkah naifnya jika anda mengatakan prinsip dan landasan itu sebagai kulit.

Angan-angan yang Salah

Banyak orang berangan-angan untuk bisa mengubah sebuah situasi yang buruk untuk kemudian menjadi baik, yang terbelakang dan mundur untuk menjadi maju dan berkembang. Sehingga bermun-culan ide-ide dari berbagai lapisan, diiringi perdebatan sengit untuk memunculkan ide tersebut. Mulai dari yang paham agama sampai orang yang tidak mengerti agama, ikut mengambil bagian dalam membicara-kan perbaikan moral dan kerusakan umat. Tentunya dengan berbagai macam jenis manusia itu akan melahirkan ide yang beraneka ragam.

Yang mengerti sedikit ilmu agama, akan melakukan tinjauan dengan keterbatasan ilmu agama yang ada pada dirinya. Dan yang hanya mengerti tentang ilmu dunia akan menjawabnya dengan pengetahuan yang dimilikinya. Ada juga poros ketiga yang berusaha mempertemukan semua ide tersebut sehingga bisa seiring dan sejalan serta tidak bertentangan, sekalipun alat timbangnya bukan agama.

Sungguh, jika mereka membuka kembali lembaran-lembaran Al-Qur`an dan As-Sunnah yang menceritakan seruan pembaharuan yang dilakukan oleh para rasul, niscaya mereka akan menemukan jawabannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah dan jauhilah thagut itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Tidak ada sesem-bahan yang benar melainkan Aku maka sembahlah Aku oleh kalian’.” (Al-Anbiya`: 25)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan mengatakan): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata kepada kalian yaitu agar kalian tidak menyembah kecuali kepada Allah dan aku khawatir menimpa kalian pada suatu hari adzab yang pedih.” (Hud: 25-26)

“Dan kepada kaum ‘Ad kami mengutus kepada mereka saudara mereka Hud dan (dia) berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, kalian tidak memiliki sesembahan selain Dia, maka tidakkah kalian takut?” (Al-A’raf: 65)

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini, sesungguhnya dia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak melihat dan tidak bisa menolongmu sedikit-pun. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu penge-tahuan yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan, sesung-guhnya setan itu durhaka kepada Rabb yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguh-nya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Rabb Yang Maha Pemurah maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 41-45)

Wahai para da’i kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apa yang engkau ambil manfaat dari kisah pembaharuan para nabi dan rasul tersebut?

Inilah Nabi Musa yang berada di bawah kekuasaan pemerintah yang sangat kufur, bahkan menobatkan dirinya sebagai Rabb semesta alam, berundang-undang dengan undang-undang iblis, membunuh anak-anak laki dan membiarkan hidup anak-anak perempuan.

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat semena-mena di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyem-belih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 4)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada Nabi Musa:

“Dan Aku telah memilihmu, maka dengarkanlah kepada apa yang kamu diwahyukan: Sesungguhnya Aku adalah Allah dan tidak ada sesembahan yang benar melainkan Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Sesungguhnya hari kiamat pasti datang dan Aku menyembunyikannya agar setiap orang dibalas apa yang telah diperbuat.” (Thaha: 15)

Inilah Nabi Yusuf u yang dihinakan di dalam penjara dan disejajarkan dengan para pelaku maksiat. Beliau tidak mengajak para penghuni penjara mencaci maki penguasa dan membakar semangat mereka untuk menentang pemerintah yang diktator dan mempersiapkan kekuatan untuk melakukan perombakan hukum dan segala tatanan hidup kenegaraan yang kafir. Namun yang beliau serukan di dalam penjara adalah:

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya menyembah nama-nama dan nenek moyangmu membuatnya, Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah keputusan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Yusuf: 39-40)

Dan inilah rasul terakhir dan penutup semua rasul, Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam. Beliau diutus kepada kaum yang rusak segala-galanya, bahkan mereka bagaikan binatang yang berwujud manusia. Tidak ada halal dan haram, tidak ada aturan yang mengikat perbuatan mereka. Kerusakan hidup tingkat tertinggi dan segala bentuk kejahatan terkumpul di saat itu. Apakah yang beliau perbuat untuk melakukan perombakan tatanan kehidupan jahiliyah lagi hewani tersebut dan apa tugas yang diemban dari Allah Subhanahu wa Ta’ala? Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan di dalam firman-firman-Nya:

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama. Dan aku diperin-tahkan supaya menjadi orang yang pertama berserah diri. Katakanlah: “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Rabbku. Katakan, hanya Allah saja yang aku sembah dengan memur-nikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalan-kan agama.” (Az-Zumar: 11-14)

“Sesungguhnya Kami telah menurun-kan kepadamu kitab (Al-Qur`an) dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Az-Zumar: 2) [Lihat secara ringkas kitab Manhajul Anbiya` Fii Ad-Da’wati Ilallah Fiihi Al-Hikmatu Wal ‘Aql karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, hal. 41-77]

Langkah yang Benar

Kini tahukah anda, bahwa angan-angan manusia untuk memperbaiki situasi dan kondisi yang telah rusak dengan cara seperti itu, ternyata keliru dan jauh dari syariat? Sehingga setelah itu anda menge-tahui bahwa jalan yang benar untuk memperbaiki situasi dan kondisi yang telah rusak adalah dengan menempuh jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah ditapaki oleh para rasul. Kembali kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya kembali kepada agama-Nya. Berikut petikan indah dari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabda beliau:

“Bila kalian telah mempraktekkan jual beli dengan ‘inah (salah satu bentuk jual beli riba), kalian melakukan kedzaliman, cinta kepada cocok tanam dan kalian meninggal-kan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan dan tidak akan tercabut kehinaan tersebut sehingga kalian kembali kepada agama kalian.” [1]

Agama mana yang dimaksud sehingga bisa mengembalikan kejayaan dan kemuliaan kaum muslimin? Apakah agama yang dipahami dengan akal? Ataukah agama yang dipahami oleh kelompok dan golongan tertentu? Ataukah yang dipahami oleh nenek-nenek moyang? Ataukah yang dipahami oleh guru-guru besar? Atau bagaimana?

Tentu hal ini telah ada jawabannya:

Pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur`an:

“Sungguh telah ada pada diri rasul kalian suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan berjumpa dengan Allah dan hari kiamat dan banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

“Barangsiapa yang menentang Rasulul-lah setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan kaum mukminin maka Kami akan memalingkannya kemana dia berpaling dan Kami akan nyalakan baginya neraka Jahannam dan Neraka Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)

Kedua, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelas-kan di dalam sabda-sabda beliau:

“Hendaklah kalian menempuh sunnah-ku dan sunnah Al-Khulafa`ur Rasyidin setelahku, gigitlah dia dengan gigi geraham dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru (di dalam agama) karena perkara-perkara baru di dalam agama adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan itu adalah sesat.”  [2]

“Sebaik-baik manusia adalah generasi-ku kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka.” [3]

Ketiga, beberapa ucapan ulama Salaf:

  • Abdullah ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ikutilah oleh kalian dan jangan kalian mengada-ada sungguh (Sunnah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam) telah cukup buat kalian.” [4]
  • ‘Umar bin Abdul ‘Aziz Rahimahullah mengatakan: “Berhentilah kamu di mana kaum itu (para shahabat) berhenti. Sesung-guhnya mereka berhenti di atas ilmu, dan di atas ilmu pula mereka menahan diri, dan mereka lebih sanggup untuk membuka (perbendaharaan ilmu) dan jika memiliki keutamaan merekalah yang lebih dahulu. Jika kalian mengatakan: ‘Telah muncul perkara baru setelah mereka (shahabat).’ Maka tidak ada yang mengadakannya kecuali orang yang menyelisihi dan benci mengikuti jalan mereka. Mereka telah mensifati segala apa yang menyembuhkan dan berbicara yang mencukupkan. Melebihi mereka adalah melampaui batas dan menguranginya adalah meremehkan. Maka tatkala suatu kaum meremehkan mereka, mereka menjadi kaku. Dan ketika kaum itu melampau batas, mereka menjadi berlebihan. Dan sesungguhnya jika mereka berada di tengah-tengah, sungguh mereka berada di atas jalan yang lurus.” [5]
  • Al-Imam Malik Rahimahullah berkata: “Tidak ada yang akan memperbaiki situasi dan kondisi umat sekarang ini melainkan harus kembali kepada apa yang telah memperbaiki umat terdahulu.” [6]
  • Abu ‘Amr Al-Auza’i Rahimahullah berkata: “Sabarkan dirimu di atas As-Sunnah! Berhentilah di mana kaum (Salafus Shalih) berhenti dan katakan (semisal) apa yang mereka telah katakan, dan tahan dirimu pada hal-hal yang mereka menahan diri. Tempuh-lah jalan Salafmu yang shalih, niscaya kamu akan mendapatkan apa yang mereka telah dapatkan.” [7]

Dalam kesempatan yang lain berkata: “Hendaklah kamu menempuh jalan Salaf meskipun orang-orang menolakmu. Dan berhati-hatilah dari pendapat banyak orang sekalipun mereka hiasi dengan ucapan- ucapan.” [8]

Dari dalil-dalil di atas kita mengetahui Islam yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, Islam yang akan mengembalikan kejayaan, kemuliaan, dan keemasan Islam serta kaum muslimin. Itulah agama yang difahami, diamalkan dan didakwahkan oleh salaf umat ini yang shalih. Mereka adalah para shahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in.

Berarti jalan yang sesuai dengan syariat dalam menjawab problematika umat sekarang ini adalah:

Pertama: Menyebarkan aqidah yang benar di tengah kaum muslimin.

Kedua: Kembali ke jalan Salafush Shalih dalam memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan Islam.

Ketiga: Menyebarkan ilmu yang benar yaitu ilmu yang berlandaskan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman Salaf umat ini.

Keempat: Mentarbiyah (mendidik) generasi Islam di atas agama yang mushaffa (bersih).

Kelima: Menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar

Keenam: Mendirikan shalat

Ketujuh: Menunaikan zakat

(diambil dari kaset Keindahan Islam, Asy-Syaikh Musa Alu Nashr)

Aqidah yang Benar

Munculnya berbagai keyakinan di tengah kaum muslimin memiliki dampak demikian besar dalam beragama. Bagai-mana tidak, banyak dari kaum muslimin menganggap sesuatu yang menurut agama merupakan kesyirikan, sebagai tauhid yang harus diyakini dan dipegang seumur hidup. Dan begitu sebalik-nya, ketauhidan dianggap sebagai ajaran baru dan menyesatkan yang harus dimusuhi dan diperangi. Sunnah men-jadi bid’ah dan bid’ah menjadi sunnah, kebati-lan sebagai kebenaran dan kebenaran menjadi sesuatu yang samar. Dengan fenomena yang menyedihkan ini kita dituntut untuk belajar guna mengetahui aqidah yang benar untuk kemudian bisa memilah-nya dari aqidah yang jelek. Aqidah yang benar adalah aqidah yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadits-hadits yang shahih (benar datangnya dari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam) yang dipahami dengan pemahaman Salafush Shalih umat ini. (‘Aqidatu Tauhid karya DR. Shalih bin Fauzan hal. 11)

Meremehkan Aqidah dan Tauhid

Aqidah dan tauhid memiliki keduduk-an tinggi dan sangat besar di dalam agama. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya meletakkan keduanya dalam prinsip yang pertama dan utama di dalam agama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Berilmulah kamu tentang Laa Ilaha Illallah.” (Muhammad: 19)

Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

“Islam dibangun di atas lima dasar: Mempersaksikan bahwa tidak ada sesem-bahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah…”  [9]

“Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah mempersaksikan kalimat La Ilaha illallah.” [10]

Dengan sebab itulah para nabi dan rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, adanya perintah amar ma’ruf nahi munkar, dite-gakkannya jihad, ada hari pembalasan, ada hari hisab (perhitungan), adanya tim-bangan dan adanya surga dan neraka. Bila engkau meremehkan masalah aqidah dan tauhid dengan menyebutnya sebagai kulit agama atau ucapan lain yang semakna, berarti engkau telah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan melakukan dosa besar. Engkau berada dalam ambang marabahaya yang dahsyat dan di tepi jurang kehinaan serta kehancuran. Dikhawatirkan engkau keluar dari Islam. Engkau wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari perbuatan-mu, yaitu meremehkan sesuatu yang karenanya diutus para nabi dan rasul serta diturunkannya kitab-kitab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah

**************

Catatan Kaki:

  1. HR. Al-Imam Abu Dawud no. 3003, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 1 hadits no. 11.
  2. HR. Al-Imam Abu Dawud no. 3991, Ibnu Majah no. 42, Ahmad no. 165 dan Ad-Darimi no. 95 dari shahabat ‘Irbadh bin Sariyah. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 2735.
  3. HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 2457, 2458 dan Al-Imam Muslim no. 4600, 4601, 4602 dari shahabat Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.
  4. Atsar Ibnu Mas’ud adalah shahih diriwayatkan oleh beberapa tabi’in. Di antaranya Abu Abdurrahman As-Sulami diriwayatkan oleh Al-Imam Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir (8870), Ad-Darimi (211), Al-Baihaqi di dalam Al-Madkhal (204) dan Ibnu Wadhdhah di dalam Al-Bida’ wan Nahyu ‘Anha hal. 10. Juga dari Ibrahim An-Nakha’i diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah di dalam kitab Al-‘Ilmu, serta dari Qatadah diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah (hal. 11).
  5. Lihat Lum’atul I’tiqad karya Ibnu Qudamah dan beliau sebutkan pula di dalam kitab beliau Al-Burhan Fi Bayanil Qur`an hal. 88 dan 89.
  6. Lihat Kitab ‘Ilmu Ushulil Bida’ karya Asy-Syaikh Ali Hasan Ali bin Abdul Hamid.
  7. Lihat Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 1/174.
  8. Lihat Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 1/159 dan Lum’atul I’tiqad masalah 9.
  9. HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu ‘Umar.
  10. HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu ‘Abbas.
© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.