Bertamengkan Pujian Ulama Untuk Melindungi Orang Yang Dijarh Secara Rinci
Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhali hafizhahullah
Penanya: Syaikh, ada pertanyaan lain yang sejak awal beredar di tengah-tengah para pemuda berkaitan dengan Safar dan Salman, para pemuda tersebut termasuk orang yang masih terpengaruh dengan pemikiran Sayyid Quthub. Mereka mengatakan: “Kita sekarang harus tetap berpegang dengan wasiat awal, yaitu berpegangnya mereka dengan tazkiyah Asy-Syaikh Al-Albany dan Asy-Syaikh Ibnu Baz terhadap Safar dan Salman.” Jika Anda mengatakan kepada mereka: “Para ulama kita telah mentahdzir mereka karena mereka menjadi sebab fitnah di banyak tempat.” Dia membantah dengan mengatakan: “Ya akhi, kita tidak mendapati perkataan yang jelas di dalam membantah mereka.” Maka ya Syaikh, kami memohon agar Anda memberikan nasehat kepada mereka –dan mereka meminta agar saya menyampaikan pertanyaan ini kepada Anda– karena orang tersebut juga tidak mengetahui keadaan dua orang ini (Safar dan Salman).
Asy-Syaikh Rabi: Kelemahan sikap ilmiah menyeret hingga kepada kebodohan semacam ini. Si Fulan berkata si fulan berkata. Padahal kita memiliki manhaj yang dengannya dibedakan ahlul haq dan ahlul bathil. Jadi seandainya Ahmad bin Hanbal datang sekarang ini untuk mentazkiyah si fulan dan fulan, lalu kita dapati bahwa orang tersebut tidak pantas mendapatkan tazkiyah berdasarkan bukti dari ucapan-ucapan, tulisan-tulisan dan kaset-kasetnya, apakah boleh bagi kita untuk bergantung dengan tazkiyah Al-Imam Ibnu Baz atau Al-Albany atau Ahmad bin Hanbal atau selain mereka?!
Jadi jarh didahulukan atas ta’dil. Jarh yang terperinci didahulukan atas ta’dil yang mubham. Kaedah-kaedah ini harus diterapkan di medan jarh wa ta’dil. Misalnya Al-Albany suatu hari pernah mentazkiyah si fulan, kemudian beliau mengetahui bahwa dia tidak berhak mendapatkan tazkiyah sehingga beliau mengatakan: “Dia seorang yang berpemahaman Khawarij.” Atau misalnya Ibnu Baz suatu hari pernah mentazkiyah si fulan dan fulan, lalu beliau mengetahui kesalahan mereka sehingga mengatakan: “Mereka adalah para penyeru kebathilan.” Lalu datang para pembela kebathilan menyebarkan tazkiyah dan menyembunyikan jarh. Anggaplah seandainya Ibnu Baz dan Al-Albany tetap mentazkiyah hingga mereka wafat, tidak ada perkataan mereka selain tazkiyah ini, apakah manusia harus mengambil tazkiyah mereka dan memejamkan mata serta menutup akal mereka dari kesalahan-kesalahan fulan dan fulan yang telah ditazkiyah oleh Al-Albany atau Ibnu Baz?! Padahal kesalahan-kesalahan tersebut sangat jelas berdasarkan bukti dan jarhnya juga jelas. Apakah boleh seorang muslim bergantung dengan tazkiyah si fulan dan fulan dalam keadaan jarh terhadap pihak yang ditazkiyah tersebut sangat jelas?!
Mereka ini bergantung dengan para tokoh ahli bid’ah seperti Sayyid Quthub yang mereka berloyalitas dan bermusuhan karenanya dan karena membela orang-orang semisalnya serta memprovokasi orang-orang rendahan dan tidak berguna untuk menyerang siapa saja yang mengkritik dan menjelaskan kesesatan mereka. Ucapan mereka ini merupakan serangan yang bisa membunuh (prinsip Ahlus Sunnah –pent).
Mereka berusaha menulis manhaj-manhaj dan berbagai kitab untuk memuliakan orang-orang yang dibantah itu. Jadi ini adalah serangan yang sangat berbahaya seandainya ada Ahlus Sunnah yang memahami. Demi Allah, seandainya Ibnu Baz dan Al-Albany mentazkiyah mereka, hal ini tidak ada manfaatnya selama mereka menjarh (mencacati) diri mereka sendiri dengan sikap-sikap, berbagai pemikiran dan manhaj mereka yang kacau yang mereka tempuh untuk memerangi Ahlus Sunnah. Jadi merekalah pihak yang mengintai Ahlus Sunnah dengan melemparkan kesan yang buruk terhadap Ahlus Sunnah dan mereka menulis berbagai manhaj serta memprovokasi para pemuda untuk melakukan celaan dan tuduhan buruk terhadap siapa saja yang membantah para pemimpin kesesatan itu.
Sayyid Quthub adalah umat tersendiri dalam kesesatan. Ada seseorang yang menjadi umat tersendiri dalam petunjuk (seperti Ibrahim shallallahu alaihi was sallam –pent) dan orang yang menjadi umat tersendiri dalam kesesatan. Jadi Sayyid Quthub adalah umat tersendiri dalam kesesatan. Dia menghimpun sekian banyak kesesatan dari berbagai pihak, yaitu dari Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah, Shufiyah ekstrim yang meyakini wihdatul wujud, sosialisme dan berbagai kesesatan lainnya yang memenuhi kitab-kitabnya dan menyesatkan para pemuda umat ini.
Maka orang yang membelanya dan berloyalitas serta memusuhi karenanya dan suka membuat-buat manhaj sendiri untuk melindungi orang semacam ini yang menghimpun berbagai macam kesesatan, bagaimana mungkin tazkiyah fulan dan fulan akan bisa bermanfaat baginya?! Jadi mana timbangan yang sesuai dengan syariat Islam?! Maka kalian wajib untuk menuntut ilmu ya ikhwah! Hendaklah kalian mempelajari ilmu Salaf dan manhaj mereka serta manhaj mereka dalam perkara jarh wa ta’dil!
Kita telah mendapati Yahya bin Ma’in dalam keadaan beliau dikatakan sebagai termasuk orang yang paling keras dalam menjarh manusia, pada beliau ada sikap bermudah-mudahan dalam mentazkiyah seseorang. Dan kita dapati ada ulama yang menyelisihi beliau pada yang tingkat keilmuannya di atas dan di bawah beliau. Berapa banyak beliau menjarh seseorang namun para ulama lain menyelisihinya. Dan berapa banyak juga beliau menta’dil seseorang namun para ulama lain menyelisihinya. Demikian juga Ahmad bin Hanbal pernah menjarh dan menta’dil seseorang namun para ulama lain menyelisihinya dalam jarh wa ta’dil. Kenapa demikian?! Karena mereka memiliki manhaj.
Namun manhaj itu bukan dinilai dengan si fulan tertentu. Setiap ulama dibebani kewajiban untuk mengikuti manhaj ini. Maka jika seorang ulama salah dan menyelisihi manhaj ini, wajib untuk menilai perkataannya dengan manhaj ini.
Ini jawaban dari pertanyaan di atas. Dan oleh karena inilah wajib mempelajari ilmu yang benar dan wajib mengetahui manhaj Salaf dalam jarh wa ta’dil dan kapan tazkiyah itu akan bermanfaat bagi seseorang dan kapan tidak bermanfaat. Baarakallahu fiikum.
Sumber: Ta’liq kitab Jawaabul Kaafy, kaset no. 2 menit 40 hingga 46.
Asy-Syaikh Rabi hafizhahullah berkata di dalam Ta’liq kitab Haadil Arwaah karya Ibnul Qayyim rahimahullah kaset no. 2:
“Muhammad bin Jarir berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al-Mukhtar, dari Ibnu Juraij, dari Atha’, dari Ka’ab bin Ujrah, dari Nabi shallallahu alaihi was sallam tentang firman Allah Ta’ala:
لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوْا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ.
“Bagi orang-orang yang berbuat baik ada balasan kebaikan (jannah) dan tambahan (melihat wajah Allah).” (QS. Yunus: 26)
Isnad ini padanya terdapat perawi yang bernama Ibnu Humaid yang diperbincangkan. Dia adalah Muhammad bin Humaid Ar-Raazy. Para ulama ahli hadits memperbincangkan keadaannya. Al-Imam Ahmad mentazkiyahnya, namun selain beliau mengkritiknya, menilainya lemah dan sangat melemahkannya. Diantara yang menilainya lemah adalah Ibnu Khuzaimah rahimahullah. Beliau pernah ditanya: “Sesungguhnya Ahmad (bin Hanbal) menta’dil atau mentazkiyahnya.” Maka Ibnu Khuzaimah menjawab: “Seandainya Ahmad mengetahui seperti yang kami ketahui, tentu beliau tidak akan mentazkiyahnya.”
Ini adalah manhaj yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah dan Ahli Hadits. Yaitu bahwasanya siapa saja yang mengatahui maka dia merupakan hujjah atas orang yang tidak mengetahui. Juga bahwasanya jarh didahulukan atas ta’dil dan bahwasanya tidak ada aib dan kekurangan pada seorang imam yang mana saja yang dia mentazkiyah seseorang, lalu datang ulama lain yang semisal dengannya atau di bawahnya yang berdasarkan hujjah dan dalil menetapkan celaan pada orang yang ditazkiyah oleh imam tadi.
Tidak ada celaan dan dosa terhadap imam ini dan hal itu bukan sebagai bentuk penghinaan atau dikatakan bahwa dia orang yang menyimpang atau ucapan negatip lainnya.
Kenapa demikian?! Karena para ulama tersebut mereka berputar mengikuti ke mana hujjah dan dalil ada. Mereka tidak menginginkan kecuali kebenaran dan tidak menginginkan selain wajah Allah Azza wa Jalla. Mereka tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Tidak ada yang kemudian membantah dengan mengatakan: “Demi Allah, si fulan ini telah ditazkiyah oleh Ahmad. Jadi kenapa saya harus menjarhnya. Demi Allah, ini merupakan kesalahan.” Mereka tidak mengucapkan perkataan semacam ini, bahkan mereka berani dengan terang-terangan menampakkan kebenaran dan para ulama Ahlus Sunnah semuanya menerima dengan lapang dada dan tidak menganggap hal itu sebagai dosa atau kesalahan sama sekali.
Namun sekarang kita berada di masa yang banyak kegelapan dan kebodohan yang parah yang ahli bid’ah dan para pengekor hawa nasu telah melemparkan penilaian yang buruk terhadap manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Jadi Al-Imam Ahmad adalah imam Ahlus Sunnah. Namun tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa Ibnu Warih dan Ibnu Khuzaimah serta ulama lain yang menjarh Muhammad bin Humaid yang berbeda pendapat dengan beliau berarti mereka merendahkan Al-Imam Ahmad atau suka menyelisihi beliau.
Tidak ada yang mengatakan demikian, bahkan mereka semua menerima. Jadi engkau akan menjumpai murid-murid atau shahabat Ahmad dan Asy-Syafi’iy jika ada seseorang yang dipuji oleh Ahmad dan dijarh oleh ulama lain sementara hujjah ada pada selain beliau tersebut, mereka menerima jarh pihak yang memiliki hujjah. Demikian juga murid-murid Asy-Syafi’iy. Ketika beliau mentazkiyah Ibrahim bin Abi Yahya namun ulama selain beliau menjarhnya, mereka pun menerima jarh ini dan tidak mengatakan: “Demi Allah, beliau adalah imam kami dan demi Allah kami akan fanatik membela pendapat beliau, karena beliau telah mentazkiyah si fulan. Dan dengan fanatik buta ini kami akan menetapkan kemuliaan orang yang dijarh ini dan akan kami bela dengan alasan bahwa imam kami adalah hujjah dan dalil.” Mereka sangat jauh dari mengucapkan perkataan semacam ini.
Demikianlah mereka terdidik di atas manhaj yang baik dan penuh berkah. Dan wajib untuk meninggalkan sikap fanatik kepada siapapun orangnya, kecuali Muhammad shallallahu alaihi was sallam karena beliaulah orang yang tidak boleh dikritik dan siapapun tidak boleh menyelisihi beliau. Karena Muhammad shallallahu alaihi was sallam selalu bersama kebenaran di mana pun kebenaran itu ada.
Gambar 1. Screenshot taqlid & pembelaan membuta babi. Dan wajib untuk meninggalkan sikap fanatik kepada siapapun orangnya, kecuali Muhammad shallallahu alaihi was sallam karena beliaulah orang yang tidak boleh dikritik dan siapapun tidak boleh menyelisihi beliau.
Demikian juga para shahabat Muhammad shallallahu alaihi was sallam selalu mengikuti kebenaran ke manapun kebenaran itu berada. Adapun selain mereka maka setiap orang bisa diambil dan bisa ditolak ucapannya.” –selesai perkataan Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah–
FAEDAH:
Asy-Syafi’iy rahimahullah walaupun menilai Ibrahim bin Abi Yahya sebagai orang yang jujur dalam hadits, namun beliau menjarhnya dengan pemahaman Qadariyah yang mengingkari takdir.
Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata di dalam Adaabus Syafi’iy wa Manaaqibuh hal. 170 cetakan Daarul Kutub Al-Ilmiyah:
“Telah menceritakan kepada kami ayahku (Abu Hatim –pent), aku mendengar Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: Asy-Syafi’iy dahulu menjelaskan keadaan Ibrahim bin Abi Yahya dengan mengatakan: “Dia seorang yang berpemahaman Qadariyah.”
Ibnu Hatim berkata: “Beliau (Asy-Syafi’iy) tidak menjelaskan bahwa dia berdusta, beliau hanya menganggap bahwa celaan manusia terhadapnya adalah karena madzhabnya dalam masalah takdir.”
Jadi perlu diperhatikan bahwa Asy-Syafi’iy tidak mengingkari jarh terhadapnya karena masalah pengingkaran terhadap takdir.
FAEDAH:
Al-Imam Ahmad rahimahullah telah mencabut tazkiyahnya terhadap Muhammad bin Humaid.
Ibnu Hibban berkata di dalam kitab Al-Majruhun:
“Saya mendengar Ibrahim bin Abdul Wahid Al-Baghdady berkata: Shalih bin Ahmad bin Hanbal berkata: Suatu hari saya pernah berada di sisi ayahku, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, maka saya keluar, ternyata yang datang adalah Abu Zur’ah dan Muhammad bin Muslim bin Warih ingin menemui ayahku. Maka saya masuk dan memberi tahu ayahku, lalu beliau mengizinkan mereka sehingga mereka masuk dan mengucapkan salam. Ibnu Warih mencium tangan ayahku dan beliau tidak mengingkarinya, sedangkan Abu Zur’ah hanya berjabatan tangan. Lalu mereka pun terlibat dalam pembicaraan beberapa saat lamanya. Ibnu Warih berkata: “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya saya melihat Anda menyebutkan hadits Abul Qasim bin Abiz Zinad?” Ayahku menjawab: “Ya, telah menceritakan kepada kami Abul Qasim bin Abiz Zinad dari Ishaq bin Hazim dari Ibnu Miqsam yaitu Ubaidullah bin Jabir bin Abdillah bahwasanya Nabi shallallahu alaihi was sallam pernah ditanya tentang air laut, maka beliau menjawab:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحَلَالُ مَيْتَتُهُ.
“Airnya suci dan bangkainya halal.”
Mereka bertanya kepada ayahku: “Bagaimana keadaan hadits ini?” Ada sesuatu yang diragukan oleh ayahku, lalu beliau keluar dengan membawa kitab di tangannya lalu berkata: “Di dalam kitabku ini tertulis (مَيْتُهُ) hanya dengan satu huruf ta’, sedangkan manusia mengatakan (مَيْتَتُهُ).”
Kemudian mereka berbicara beberapa saat hingga Ibnu Warih berkata: “Wahai Abu Abdillah, Anda mengenal Muhammad bin Humaid?” Ayahku menjawab: “Ya.” Ibnu Warih bertanya lagi: “Bagaimana Anda menilai haditsnya?” Ayahku menjawab: “Jika dia meriwayatkan dari orang-orang Iraq maka dia membawa riwayat yang lurus. Namun jika dia meriwayatkan dari penduduk negerinya semacam Ibrahim bin Al-Mukhtar dan selainnya, dia membawa hal-hal yang tidak dikenal dan tidak diketahui.” Maka Abu Zur’ah dan Ibnu Warih berkata: “Berdasarkan bukti yang shahih pada kami dia ini pernah berdusta.” Maka setelah itu ayahku jika menyebut Ibnu Humaid maka beliau mengibaskan tangannya.”
Sumber artikel:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=132886