Beri Aku Pisau Biar Kubelah Bayi Ini

beri aku pisauBeri Aku Pisau Biar Kubelah Bayi Ini

Al Ustadz Abu Nasim Mukhtar hafizhahullah

Ada yang mengatakan, cinta seorang ibu kepada anaknya adalah sumber kekuatan terbesar di atas muka bumi. Demi anak , seorang ibu rela berkorban apa saja. Ketika si anak lahir di dunia saja, seorang ibu mempertaruhkan nyawanya. Ibu juga bisa jatuh sakit, tidak dapat makan dan minum, tidurnya tidak tenang, bahkan tidak dapat tidur sama sekali, hanya karena memikirkan anaknya. Sayangnya, tidak semua anak bisa menghargai perjuangan seorang ibu.

Seorang tawanan yang diambil dari sebuah medan pertempuran dibawa pulang oleh kaum muslimin. Mereka menuju kota madinah. Saat itu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam turut menyambut dan mengawasi tawanan-tawanan tersebut. Ternyata, ada sebuah pemandangan menarik yang diperhatikan Rasulullah  Shalallahu’alaihi wa sallam. Seorang perempuan di antara tawanan sedang gelisah mencari-cari sesuatu. Terlihat sekali perempuan itu ceria berseri  setelah menemukan dan mendekap seorang anak kecil. Ternyata anak kecil iu adalah putranya. Perempuan itu lalu menyusui sang putra.

“Menurut kalian apakah perempuan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Tanya Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam kepada para shahabat yang berada di samping beliau. Para shahabat menjawab, “ Tidak mungkin perempuan itu tega untuk melakukannya.” Ketika itulah Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda :

“Sungguh Allah lebih menyayangi hamba-hamba Nya dibandingkan kasih sayang perempuan itu kepada anaknya.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Umar bin Al-Khaththab Radiyallahuanhu]  Subhanallah!

Artinya jika kasih sayang seorang ibu sangat menakjubkan, maka kasih sayang Allah kepada kita lebih menakjubkan. Allah Subhanahuwata’ala telah melimpahkan kasih sayang-Nya kepada kita tanpa batas. Karena itulah, jika kita bertekad untuk berbakti kepada ibu karena kasih sayangnya, seharusnya kita lebih bersemangat untuk mempersembahkan ibadah kepada Allah Subhanahuwata’ala. Sebab Allah lebih menyayangi kita dibandingkan kasih sayang ibu kita kepada kita.

Namun bagaimanapun juga, cinta dan kasih sayang seorang ibu memang luar biasa. Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan. Kalau ibu kaya, anak menjadi putri. Kalau anak kaya, ibu menjadi budak. Na’udzubillah min dzalik

Cinta dan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya pernah dijadikan Nabi Sulaiman Alaihissalam sebagai alat bukti dalam sebuah kisah pertengkaran antara dua orang ibu. Dan keputusan yang dibuat oleh Nabi Sulaiman Alaihissalam ini lebih tepat daripada keputusan ayahnya, Nabi Dawud Alaihissalam sebelumnya. Bagaimana keputusan Nabi Dawun ? seperti apakah jalan ceritanya? Bagaimanakah kebenaran dapat terungkap?

Imam Bukhari rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari shahabat Abu Hurairah Radiyallahuanhu tentang kisah pertengkaran antara dua orang ibu. Dahulu, di masa Nabi Sulaima, hiduplah dua orang ibu. Yang satu ibu tua, yang lainnya masih muda. Masing-masing ibu mempunyai seorang bayi.

Suatu hari, kedua ibu tersebut sedang berkumpul bersama. Tak lupa kedua bayinya diajak serta. Tak disangka, seekor serigala tiba-tiba muncul lalu menerkam dan membawa lari salah satu bayi. Kedua ibu itu pun bertengkar. Ibu tua mengatakan, “Yang dibawa lari serigala itu adalah anakmu! Bukan anakku!”. Yang muda juga tidak mau mengalah, “Tidak yang dilarikan serigala tadi malah anakmu, bukan anakku!”.

Kedua ibu itu sepakat untuk menemui Nabi Dawud Alaihissalam agar memperoleh keputusan. Saat itu, Nabi Dawud memutuskan bahwa bayi yang dilarikan serigala adalah anak dari ibu muda. Sementara, bayi yang selamat adalah anak dari ibu tua. Kedua ibu itu lalu menemui Nabi Sulaiman Alaihissalam dan menceritakan kronologi peristiwa hilangnya salah satu bayi. Nabi Sulaiman mengambil kebijakan, “Sudahlah, Tolong ambilkan sebuah pisau tajam. Aku akan membagi bayi ini menjadi dua lalu membaginya untuk kalian berdua. ” Ibu muda segera menahan dan berkata, “Jangan! Semoga Allah merahmati anda. Bayi ini memang anak dari ibu tua.”

Melihat sikap itu, Nabi Sulaiman Alaihissalam pun memutuskan bahwa bayi itu memang anak dari ibu muda. Subhanallah! Karena nilai-nilai cinta yang dimiliki seorang ibu, Nabi Sulaiman pun mengambil keputusan tersebut. Didalam sebuah riwayat disebutkan pula bahwa saat Nabi Sulaiman Alaihissalam mengusulkan agar bayi tersebut dibelah dua, si ibu tua menyetujuinya sementara ibu muda menolak. Bagaimana mungkin seorang ibu tega melihat anaknya menderita?

PENGORBANAN SEORANG IBU

Cinta seorang ibu memang tidak mungkin dilukiskan dengan kata-kata. Cinta seorang ibu terlalu luas untuk hanya disempitkan dengan susunan kalimat. Kita akan kesulitan jika berusaha menemukan garis tepinya atau dimanakah ujung awal dan akhirnya. Bahkan seringkali kita membaca, mendengar, atau menyaksikan betapa cinta seorang ibu sangat tidak masuk akal. Barangkali hanya wanita yang menjadi seorang ibu yang mampu merasakannya.

Cobalah resapi dengan hati terbuka kisah berikut ini! Ibunda Aisyah pernah mengungkapkan ketakjubannya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam tentang sikap seorang ibu. Saat itu seorang wanita miskin datang berkunjung ke rumah Aisyah sambil membawa kedua putrinya. Aisyah kemudian memberikan tiga butir kurma sebagai sedekah. Sang ibu lalu membaginya, sebutir kurma untuk putrinya yang pertama ddan sebutir kurma lagi untuk putrinya yang lain. Sisa sebutir kurma? Sebutir kurma itu awalnya diperuntukkan bagi diri sang ibu. Namun, ketika sang ibu akan menyantap kurma yang ketiga, ternyata kedua putrinya masih lapar dan meminta kurma lagi. Apa yang dilakukan oleh sang ibu? Ia pun membagi kurma yang sisa sebutir itu menjadi tiga bagian. Kemudian sang ibu pun menyerahkan kepada kedua putrinya masing-masing separuh butir kurma.

Subhanallah! Sang ibu memilih untuk tetap menahan lapar demi menyenangkan kedua putrinya. Itulah fitrah seorang ibu! Sangat luar biasa, bukan?Setelah Aisyah Radhiyallahuanha mengungkapkan cerita tadi kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, beliau pun bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah menjamin surga untuknya atau Allah telah membebaskannya dari neraka”. [H.R. Muslim]

Anda pasti pernah mendengar atau membaca kisah Ashabul Ukhdud ( orang-orang yang dibakar didalam parit). Kisah seorang raja lalim yang sombong dan takabur. Ia menganggap dirinya berhak disembah. Ia memaksakan kehendak agar seluruh rayat menyembahnya. Syahdan, rakyatnya justru tidak mau menyembahnya. Mereka semua beriman lantaran seorang pemuda yang menyadarkan mereka. Di akhir cerita, menurut riwayat Muslim, sang raja pun murka. Ia memerintahkan untuk menggali parit panjang. Kemudian, parit tersebut dipenuhi dengan kayu-kayu untuk dibakar. Setiap orang yang menolak untuk menyembah sang raja akan dilemparkan ke dalam kobaran api.

Saat itu seorang ibu yang masih menggendong bayi menyusu terlihat ragu. Ia tetap berada di tempatnya dan tidak ingin masuk ke dalam kobaran api. Sikap sang ibu yang masih ragu itu disebabkan rasa sayang kepada anaknya yang masih bayi. Dia ragu untuk mengikutkan anaknya masuk ke dalam api.

Keajaiban pun muncul. Bayi yang masih menyusu itu dengan yakin berbicara kepada ibunya : “Wahai ibunda, bersabarlah! Sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran. “ kata bayi tersebut. Inilah cinta dari seorang ibu.

MENETAPKAN HUKUM BERDASARKAN QARINAH

Kisah pertengkaran dua orang ibu pada masa Nabi Dawud di atas pun menjadi dasar sebuah kaidah. Bolehnya menetapkan sebuah hukum berdasarkan qarinah. Qarinah sendiri sebenarnya belum mencapai tingkatan bayyinah (bukti valid). Qarinah hanyalah sebatas metode pendekatan untuk memecahkan sebuah kasus. Hanya saja, dalam sebuah kasus jika tidak ditemukan bayyinah, maka seseorang hakim atau qadhi dapat menggunakan qarinah sebagai alat bantu untuk mencari bayyinah atau iqrar (pengakuan).

Syaikh Al utsaimin Rahimahullah dalam syarah riyadush shalihin memberikan kisah lain sebagai contoh untuk penerapan kaidah di atas. Kisah tersebut adalah kisah Nabi Yusuf Alaihissalam. Nabi Yusuf Alaihissalam memperoleh karunia istimewa dari Allah. Karunia tersebut berupa ketampanan dan kegagahan yang luar biasa. Oleh sebab itu, istri Al Aziz (Seorang pejabat besar) jatuh cinta kepada yusuf Alaihissalam. Walaupun istri Al Aziz mempunyai kedudukan dan kecantikan, namun ia tidak bisa melakukan hati Yusuf. Allahlah yang menjaga hamba-Nya.

Hingga suatu saat, istri Al Aziz menyusun sebuah rencana berbau makar untuk menjebak Yusuf Alaihissalam. Seluruh pintu masuk ke dalam rumah di tutup oleh istri Al Aziz, lalu ia berusaha menggoda Yusuf Alaihissalam. Akan tetapi Yusuf berlari menghindar. Istri Al Aziz terus berupaya mengejar Yusuf hingga akhirnya bagian belakang pakaian Yusuf robek oleh tarikan tangan istri Al Aziz. Pada saat itulah, Al Aziz-suaminya- muncul dari balik pintu. Istrinya tidak ingin menanggung malu, maka ia berkata, “Hukuman apa yang pantas diberikan kepada orang yang berniat buruk kepada istrimu? Bukankah penjara atau siksaan yang keras?”

“Dialah yang berusaha menggoda diriku!” Yusuf berusaha membela diri. Dalam kondisi semacam itu, Al Aziz sempat terdiam. Ia menganggap istrinya adalah seorang wanita mulia dan baik-baik. Istrinya adalah seseorang yang mempunyai kedudukan terhormat, sehingga tidak tidak mungkin melakukan perbuatan yang kotor.

Salah seorang anggota keluarganya yang bijaksana lalu menawarkan sebuah keputusan dengan melihat qarinah, “Jika pakaian Yusuf robek di arah depan, maka wanita itu yang benar sementar Yusuf telah berdusta. Akan tetapi jika pakaian Yusuf robek dari arah belakang, maka Yusuf lah yang jujur sementara wanita itu yang berbohong”.

Ternyata pakaian Yusuf memang robek dari arah belakang. Keadaan itu adalah qarinah bahwa bukan Yusuf yang berniat buruk terhadap istri Al Aziz. Inilah yang dimaksud dengan qarinah di dalam mengambil sebuah keputusan.

KECERDIKAN SEORANG HAMBA

Kecerdasan dan kecerdikan mutlak dibutuhkan oleh seseorang untuk mengambil sebuah keputusan. Sikap grusa-grusu, asal-asalan, atau tergesa-gesa di dalam menetapkan sebuah hukum adalah sesuatu yang sangat dilarang oleh Islam. Sebab, sebuah keputusan hukum berkaitan erat dengan hak-hak seorang muslim. Oleh sebab itu, seorang pengadil memang menyandang tugas yang tidak ringan.

Di dalam Ath-Thuruq Al Hukmiyyah, Al Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berbicara panjang lebar tentang adab-adab seorang hakim, qadhi, ataupun pengadil. Selain itu, beliau juga menyebutkan beberapa contoh tentang kecerdasan dan kecerdikan seorang hakim di dalam sejarah sejarah Islam. Hal ini untuk menjelaskan bahwa tugas seorang hakim bukanlah tugas yang ringan.

Ada dua orang ditangkap karena tertuduh mencuri. Seorang pejabat yang bertugas untuk memutuskan kemudian meminta segelas air kepada salah seorang pegawainya. Setelah air segelas itu diserahka, sang pejabat lalu membantingnya dengan sengaja di hadapan dua orang tersebut. Yang seorang terkejut sementara yang lainnya terlihat tenang.

“Pergilah! Engkau telah bebas.” Kata pejabat itu kepada yang terkejut kaget. Sementar kepada orang kedua yang terlihat tenang, pejabat itu mengatakan, “Keluarkan uang yang kau curi!” Lalu ada seseorang yang bertanya “Dari mana anda bisa mengetahui hal ini?”

Dia menjawab, “Seseorang yang berprofesi sebagai pencuri pasti memiliki hati yang tidak mudah terkejut. Sementara orang yang jujur pasti akan terkejut jika mendengar suara seekor tikus di sebuah rumah. Dengan demikian, tidak mungkin ia mencuri.”

Ibnul Qayyim Rahimahullah juga menyebutkan tentang kecerdasan seorang pejabat hukum lainnya. Suatu saat, pejabat itu menyaksikan seseorang yang sedang memanggul sebuah keranjang di atas kepalanya. Orang itu terlihat gemetar. “Kalau disebabkan isi keranjang tersebut berat sehingga ia gemetar, kenapa lehernya terlihat tegak lurus? Pasti ia gemetar karena disebabkan oleh rasa takut!” Kata pejabat tersebut di dalam hatinya. Pejabat itu lalu memerintahkan aparat keamanan untuk menurunkan keranjang tersebut. Ternyata di dalam keranjang itu terdapat mayat seorang wanita yang telah dimutilasi. “Jujur sajalah engkau kepadaku!” Perintah pejabat itu.

Orang tersebut lalu bercerita, “Ada empat orang di suatu kampung yang memberi upah untukku beberapa dinar agar aku membuang mayat ini.” Berdasarkan keterangan tersebut, pejabat itu lalu membunuh keempat orang yang dimaksud dan mencambuk orang yang membawa mayat tersebut.

KEPUTUSAN NABI DAWUD?

Dalam kisah pertengkaran dua ibu untuk memperebutkan status bayi sebagai anak, keputusan Nabi Sulaiman Alaihissalam adalah keputusan yang kemudian dijalankan. Bayi yang dibawa lari serigala adalah bayi milik ibu tua, sementara bayi yang tersisa adalah milik ibu muda. Nah, lalu bagaimanakah kita menilai keputusan Nabi Dawud Alaihissalam sebelumnya?

Ada beberapa ihtimal (Kemungkinan) yang diterangkan para ulama mengenai alasan Nabi Dawud Alaihissalam mengambil keputusan tersebut. Bisa saja karena bayi tersebut lebih mirip dengan ibu yang tua. Atau memang didalam syariat terdahulu usia memang menentukan sehingga ibu yang tua dimenangkan. Atau karena bayi itu berada di gendongan si ibu yang tua, sementara ibu yang muda tidak mampu memberikan bukti atau kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Ringkasnya disebutkan oleh Al Imam Qurthubi (Syarh An Nasa’i karya Al Atyubi),” keputusan Nabi Dawud yang menentukan bayi tersebut sebagai milik ibu yang tua tentu berdasarkan alasan yang kuat. Dengan alasan tersebut Nabi Dawud Alaihissalam menguatkan pendapat ibu yang tua. Sebab, masing-masing tidak mampu memberikan bukti.”

Ada juga pertanyaan lain yang mesti diajukan, “kenapa keputusan yang telah diambil Nabi Dawud  dapat dibatalkan?” Bisa jadi, karena Nabi Dawud Alaihissalam telah memberikan mandat secara umum kepada Nabi Sulaiman Alaihissalam –putranya sendiri- untuk mengambil keputusan dalam setiap permasalahan yang terjadi. Atau memang di dalam syariat mereka, keputusan yang telah diambil dapat dikoreksi dan dibatalkan. Atau setelah Nabi Sulaiman Alaihissalam mengungkap kasus pertengkaran tersebut dengan cara yang cerdik, beliau menyampaikannya kepada Nabi Dawud sehingga Nabi Dawudlah yang menetapkan hukum Nabi Sulaiman. Wallahua’lam.

Setelah Nabi Sulaiman mengambil langkah cerdik dengan mengesankan beliau benar-benar ingin membelah dua bayi tersebut, lalu ibu yang muda berusaha menghalangi, diterangkan oleh beberapa ulama bahwa ibu yang tua pun mengakui bahwa bayi tersebut memang milik ibu muda. Artinya, keputusan Nabi Sulaiman Alaihissalam bukan semata karena penolakan ibu muda namun diperkuat dengan pengakuan dari ibu yang tua.

Bagaimanapun juga, kisah-kisah tentang Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman-ayah dan anak-, baik di dalam Al quran maupun As Sunnah adalah pelajaran bagi kita. Hal ini juga sekaligus menjadi koreksi bahwa semestinya seorang ayah bersungguh-sungguh di dalam mendidik anak-anaknya. Dengan demikian, keluarga shalih yang terdiri dari anggota-anggota keluarga yang shalih bukanlah sesuatu yang mustahil, Insya Allah.
Allah berfirman tentang beliau berdua :

Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman”. [Q.S. An Naml:15]

Sumber: Majalah Qudwah Edisi 9 Vol.1 1434 H / 2013 M Halaman 105 – 111

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.