BENARKAH SALAFIYYUN TIDAK MERUJUK KEPADA ULAMA KIBAR
Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah
Pertanyaan: Diantara ucapan mereka yaitu orang-orang yang mengaku sebagai Salafiyun: “Kami sepakat dengan kalian bahwasanya dalam urusan-urusan agama, kita merujuk kepada para ulama kibar seperti Asy-Syaikh Al-Fauzan dan (Asy-Syaikh) Abdul Muhsin Al-Abbad serta selain mereka.” Kita jawab kepada mereka: “Ya.” Kemudian mereka berkata kepada kita: “Jika demikian, maka kenapa pada perkara-perkara manhaj seperti tahdzir terhadap sebagian orang, kalian tidak merujuk kepada ulama kibar dan hanya mengambil perkataan Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaly, Ubaid Al-Jabiry, dan Muhammad bin Hady?!”
Asy-Syaikh: Ucapan siapa ini?!
Penanya: Ucapan orang-orang yang mengaku sebagai Salafiyun.
Asy-Syaikh: Ini adalah ucapan orang-orang yang berpenyakit –baarakallahu fiik–mereka mengaku-ngaku dan mereka akan mengaku-ngakunya lagi. Adapun mereka sepakat dengan menyatakan: “Kami bersama kalian dalam merujuk kepada ulama kibar yaitu si fulan dan fulan.” Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Asy-Syaikh Rabi’ tidak bisa dijadikan rujukan dalam masalah-masalah syari’at yaitu masalah halal dan haram, demikian juga Asy-Syaikh Zaid (bin Muhammad Al-Madkhaly rahimahullah –pent) dan para ulama Ahlus Sunnah yang lainnya?! Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa tidak bisa merujuk kepada para ulama semisal mereka?! Ini merupakan sikap menyempitkan sesuatu yang luas (membatasi), baarakallahu fiik. Hanya saja para ulama bertingkat-tingkat dalam mengetahui keadaan manusia, mengetahui keadaan orang-orang tertentu, dan dalam mengenal para pengusung hawa nafsu. Benar kan?! Hal semacam ini sejak zaman dahulu, bukan mulai dari sekarang. Jadi orang-orang yang membicarakan keadaan manusia dan mengetahui keadaan manusia diantara mereka ada yang banyak (ilmu dan pembicaraannya), diantara mereka yang perkataannya banyak, diantara mereka ada yang berbicara tentang satu dua orang saja, dan diantara mereka ada yang sedikit bicaranya, baarakallahu fiik.
Jadi ini merupakan pintu dan ini pintu yang lain. Adapun (ucapan kalian): “Kenapa kalian mengatakan dan kenapa kalian mengambil (ulama tertentu saja)!” Kami jawab: kita tidak membeda-bedakan orang-orang yang selevel. Mereka itulah yang justru merupakan orang-orang yang suka membeda-bedakan orang-orang yang selevel. Jadi kita menerima perkataan Asy-Syaikh Al-Fauzan, menerima perkataan Asy-Syaikh Al-Abbad, menerima perkataan Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh Zaid, dan para ulama Ahlus Sunnah yang lainnya.
Benar kan?! Kita menerima perkataan yang sesuai dengan dalil dan kebenaran. Sedangkan siapa saja yang tidak sesuai dengan dalil maka kita katakan: “Beliau telah berijtihad, namun tidak benar pendapatnya.” Itu saja. Adapun mereka maka mereka tidak mengatakan demikian. Keadaan Asy-Syaikh Al-Abbad yang terkadang tidak sependapat dengan Asy-Syaikh Rabi’ dan sebagian masayikh Ahlus Sunnah dalam menjarh sebagian pengusung hawa nafsu, maka kita katakan: “Beliau adalah orang yang shalih, namun beliau tidak mengetahui yang benar dalam masalah ini, atau beliau mengatakan sebuah pendapat namun tidak benar pendapatnya dan beliau mendapatkan satu pahala, antara mendapatkan satu dan dua pahala.”
Apakah Asy-Syaikh Al-Abbad sendiri beliau mengharuskan engkau (mengilzam) untuk menerima pendapat beliau?! Beliau tidak mengharuskan dirimu. Beliau mengatakan: “Kalau engkau ambil silahkan ambil, kalau tidak engkau ambil (kurang jelas –pent).”
Dan jika Asy-Syaikh Rabi’ berbicara dan beliau memiliki ilmu dan bukti yang lebih, beliau juga memiliki berbagai kitab, risalah, dan berbagai tulisan, bagaimana engkau tidak mau mengambil kebenaran?! Wajib untuk engkau mengambil kebenaran. Kemudian perhatikan kepada pihak yang mensyaratkan (dan katakan kepada mereka): kalian mengatakan dan kami mengatakan, dan kalian kenapa kalian mengambil (pendapat tertentu saja) dan kenapa kami melakukan?! Mereka ini adalah para pemuda yang masih kemarin sore, mungkin sebagian mereka sekarang ini masih berupa titik kecil, salah seorang dari mereka umurnya belum mencapai umur cucu Asy-Syaikh, belum mencapai umur cucu-cucu beliau, namun dengan lancangnya dia berbicara dengan ucapan semacam ini seakan-akan dia lebih tua dari beliau. Dia katakan ucapan yang besar ini yaitu upaya meluruskan para ulama. Dia katakan: “Ulama ini begini, yang ini begini, yang ini tidak tahu apa-apa, dan yang ini tidak tahu bagaimana.” Seseorang wajib menyadari kapasitasnya dan tahu diri, karena kalau dia melakukan tindakan buruk tersebut yaitu dengan bertindak lancang memaksakan dirinya di luar kapasitasnya, maka dia hanya akan merugikan dirinya sendiri dan menyakiti orang lain.
Nabi shallallahu alaihi was sallam pernah berkhutbah Jum’at, lalu masuklah seseorang dengan cara melangkahi pundak-pundak manusia. Benar kan?! Apa yang dia inginkan? Dia ingin maju di depan. Maka beliau berkata kepadanya:
اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ.
“Duduklah, karena engkau telah menyakiti dan mengganggu!” (lihat: Shahih Sunan Abu Dawud no. 1024 –pent)
Maksudnya: engkau ingin duduk di shaff pertama, maka datanglah di awal waktu, seperti orang-orang yang datang awal. Adapun dengan engkau datang ketika khutbah sedang berlangsung dan engkau melangkahi pundak-pundak manusia, maka engkau menyakiti mereka. Tetaplah di tempatmu, kenalilah tempatmu dan duduklah di sana! Tempat ini berakhir di sini, jadi sudah duduklah di sini!
Jika manusia tahu diri, niscaya mereka tidak akan menyakiti dan mengganggu orang lain. Baarakallahu fiik.
Sumber audio:
www.youtube.com/watch?v=8dn5wiBaNwk
Dengarkan Audio:
Alih bahasa: Abu Almass
Sabtu, 14 Ramadhan 1435 H