Benarkah Jarh Wa Ta’dil Merupakan Pintu Yang Buruk Bagi Para Penuntut Ilmu

Benarkah Jarh Wa Ta'dil Merupakan Pintu Yang Buruk Bagi Para Penuntut IlmuBENARKAH JARH WA TA’DIL MERUPAKAN PINTU YANG BURUK BAGI PARA PENUNTUT ILMU

Asy-Syaikh Abu Ammar Ali Al-Hudzaify hafizhahullah

***

Muhammad Al-Imam mengatakan: “Wahai segenap ikhwah, yang dituntut dari kita adalah hendaknya kita mewaspadai diri kita, pada hari-hari kita ini telah dibuka sebuah pintu keburukan, apakah pintu tersebut?! Sebuah pintu keburukan yaitu masalah jarh wa ta’dil bagi para penuntut ilmu, masalah jarh wa ta’dil bagi para penuntut ilmu. Para penuntut ilmu butuh untuk menutup pintu ini, pintu jarh wa ta’dil tidak ada yang menanganinya dengan baik dan tidak mampu memikulnya kecuali orang yang kokoh ilmunya, yang bersih dari hawa nafsu, orang yang menyiapkan dirinya untuk berhati-hati dan meneliti berita-berita yang beredar, berhati-hati untuk berusaha bersikap adil dalam menilai atau menghukumi serta menjauhi kepentingan-kepentingan jiwa, bukan untuk melampiaskan kemarahan atau membalas dendam, dan seterusnya.

Engkau perhatikan seorang penuntut ilmu jika dia berselisih dengan saudaranya, engkau tidak mengetahui kecuali dia berdusta atasnya dan melampaui batas dalam menyikapinya, ini dalam keadaan dia adalah seorang penuntut ilmu. Bagaimana dia tidak melampaui batas ketika menurut pandangannya dia telah berhak untuk melakukan jarh wa ta’dil. Jadi ini merupakan fitnah, sehingga saya menasehatkan para penuntut ilmu agar mereka bertaubat kepada Allah dari masuk ke dalam perkara-perkara ini, dan hendaknya mereka istiqamah di atas agama, senantiasa berusaha memperbaiki perbuatan lisan mereka, dan menjaga lisan dari hal-hal yang tidak boleh yaitu dengan membicarakan keburukan atau mencela seseorang. Bertakwalah kepada Allah, hendaknya engkau merasa diawasi oleh Allah, dan bukan merupakan hujjah bagi seseorang dengan dia membiarkan lisannya bebas berbicara sesuai yang dia inginkan dan berdalih dengan ucapan: “Saya telah mendengar sendiri demikian.” Semacam ini tidak cukup. Dalam hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:

مَنْ قَالَ فِيْ مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيْهِ أَسْكَنَهُ اللهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ.

“Barangsiapa mencela seorang mu’min dengan hal-hal yang tidak ada padanya, maka Allah akan menenggelamkannya dalam peluh penghuni neraka.”
(Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 437 –pent)

Jadi kita mengetahui dan berjalan di atas hal ini, yaitu bahwasanya jarh wa ta’dil termasuk perkara yang diketahui oleh ulama hadits bahwa mereka berjalan di atasnya, hanya saja dengan dhawabith (kaedah-kaedah) syari’at. Oleh karena inilah mayoritas ulama tidak masuk ke dalam pintu ini, kenapa?! Karena mereka lebih mengutamakan keselamatan, mengedepankan keselamatan, dalam keadaan mereka adalah ulama, padahal mereka adalah ulama. Bacalah kehidupan Salaf dan lihatlah siapakah yang menyibukkan diri dengan perkara ini?! Mereka adalah Kibarul Ulama. Demikian juga mereka ini adalah segelintir dari ulama.

Jadi Ahlus Sunnah –bihamdillah– berjihad menundukkan jiwa mereka untuk memperbaiki perbuatan lisan mereka, yaitu dengan berbicara yang lebih baik bagi upaya mendakwahkan agama Allah dengan menegakkan nasehat bagi hamba-hamba Allah. Tetapi jangan sampai syaithan mempermainkan kita dan masuk menyerang kita melalui pintu-pintu yang tidak mampu kita hadapi dengan baik. Dan pintu-pintu ini tidak dituntut dari kita untuk menanganinya, karena itu di luar kemampuan kita, di atas kesanggupan kita baik secara ilmiyah maupun secara akal. Oleh karena inilah –sebagaimana yang telah kalian dengar– saya katakan hal ini sebagai bentuk nasehat. Dan sebagaimana yang kalian saksikan bahwa orang-orang yang bertolak pada medan ini tanpa dhawabith dan tanpa ikatan maka mereka telah merugikan diri mereka sendiri. Maka oleh karena inilah saya nasehatkan jangan sampai engkau menjadi pelajaran bagi orang lain, tetapi hendaknya engkau yang mengambil pelajaran dari orang lain dan jangan sampai justru engkau yang menjadi pelajaran bagi orang lain. Jadi yang dituntut adalah selalu berupaya memperbaiki perbuatan lisan.

Di markiz ini –semoga Allah senantiasa menjaganya– kami nasehatkan kepada para murid kami agar mereka belajar adab terhadap para ulama, terhadap thullab yang lain, terhadap teman-teman dan kawan-kawan. Hendaknya mereka belajar adab, perkataan yang baik, ucapan yang bagus, menjauhi sikap melampaui batas dalam menghukumi, menjauhi sikap terburu-buru dalam menyampaikan berita-berita yang belum dipastikan kebenarannya, menjauhi sikap gegabah, dan hendaknya kita memiliki sifat-sifat yang tenang atau tidak terburu-buru. Kita ini untuk apa belajar?! Apakah kita belajar agar menjadi orang-orang yang suka membuat keributan?! Ataukah kita belajar agar kita meraih faedah dari ilmu?! Semoga Allah memberkahi kalian dan memberi taufiq kepada kami dan kalian semuanya.

Jadi yang dituntut adalah upaya memperbaiki perbuatan lisan dan merasa selalu diawasi oleh Allah pada apa-apa yang kita ucapkan, pada apa-apa yang kita lakukan, dan pada apa-apa yang kita tinggalkan. Kita memohon kepada Allah, kita memohon kepada Allah, kita memohon kepada Allah –dengan kemurahan, keutamaan, dan kebaikan-Nya– agar membantu kita untuk memperbaiki perbuatan lisan kita, kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk memperbaiki perbuatan lisan kita.”

Sumber: Rekaman ucapan Muhammad Al-Imam di youtube.com yang berjudul: الجرح والتعديل باب شر فتح على طلاب العلم

https://www.youtube.com/watch?v=a0w2gup0zBA

Download Audio Di Sini

***

Komentar:

Pertama: Celaan ini semuanya berasal dari Muhammad Al-Imam hanyalah terhadap para pemuda yang berbicara tentang jarh wa ta’dil, padahal perkaranya tidak perlu untuk dibesar-besarkan dengan cara semacam ini. Dan hendaknya Muhammad Al-Imam mengetahui bahwa para ulama kita tidak mengenal celaan semacam ini sepanjang sejarah, kecuali dari orang yang ingin melindungi dirinya dari kritikan para ulama.

Adapun berkaitan dengan masuknya seorang pemuda yang tidak memiliki ilmu yang mapan dalam bab ini, maka maksimalnya keadaan dia adalah dia telah melakukan kesalahan yang perlu untuk dinasehati, tetapi tidak boleh untuk mengatakan bahwa jarh wa ta’dil merupakan pintu keburukan, karena jarh wa ta’dil termasuk bagian dari agama dan telah ditunjukkan dalilnya oleh Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’, dan bukan termasuk fitnah serta bukan pula termasuk pintu keburukan.

Jadi ucapannya tersebut mengandung upaya membuat lari atau menjauhkan dari masalah jarh wa ta’dil itu sendiri, bukan sebatas menjauhkan dari kelancangan atau sikap terburu-buru untuk tampil dari orang-orang yang tidak memiliki keahlian atau kemampuan yang mapan. Maka saya menuntutnya agar menunjukkan siapa yang telah mendahuluinya mengucapkan ungkapan semacam ini?!

Kedua: Anggaplah kita terima bahwa di sana ada orang yang tidak memiliki ilmu yang kokoh dan dia terburu-buru tampil melakukan perbuatan semacam ini, mereka itu jumlahnya berapa?! Dan apakah mereka layak mendapatkan celaan dan penggambaran yang dibesar-besarkan semacam ini?! Tidakkah Muhammad Al-Imam melihat bahwa di sana terdapat perkara-perkara yang lebih pantas untuk dicela dibandingkan perkara tersebut?! Jadi di sana ada orang yang suka membaca kitab-kitab ahli bid’ah, di sana ada yang memiliki hubungan baik dengan mereka dan menjalin hubungan bersama mereka, di sana ada yang suka memuji-muji mereka, di sana ada yang suka mendengarkan ucapan mereka, [1] di sana ada yang suka mencela para ulama Ahlus Sunnah. Maka berapakah waktu yang telah disisihkan oleh Muhammad Al-Imam untuk menasehati orang-orang yang semacam mereka itu?!

Ketiga: Muhammad Al-Imam menyebutkan bahwa ulama hadits berjalan pada masalah jarh wa ta’dil dengan dhawabith yang sesuai dengan syari’at, dan dia juga menyebutkan bahwa mayoritas ulama tidak masuk ke dalam pintu ini dan lebih mengutamakan keselamatan, dalam keadaan mereka adalah ulama, oleh karena itulah tidak ada yang menyibukkan diri dengan perkara ini selain Kibarul Ulama dan mereka itu hanya segelintir dari saja.

Saya katakan: Sesungguhnya kekhususan Kibarul Ulama dengan perkara jarh wa ta’dil tidak berarti bahwa para murid tidak boleh berbicara dalam perkara jarh wa ta’dil, karena buktinya para imam dan murid-murid mereka berbicara menjelaskan keadaan para perawi. Hanya saja perbedaan antara dua jenis ini yaitu bahwasanya para imam mengabarkan tentang keadaan para perawi berdasarkan apa yang Allah karuniakan kepada mereka berupa perhatian yang besar terhadap keadaan para perawi, sedangkan para murid menukil perkataan para imam tersebut. Jadi para imam memiliki kekhususan untuk mengeluarkan perkataan dalam menilai para perawi, sedangkan para murid menukil apa yang disebutkan oleh para imam tersebut. Di samping perlu diingat bahwa para murid terkadang juga berbicara tentang para perawi yang mereka ketahui keadaannya saja. Jadi kekhususan para imam dengan kata lain adalah mendalami pengetahuan tentang para perawi, sedangkan para murid hanya berbicara tentang para perawi yang mereka ketahui keadaannya saja. Sementara Muhammad Al-Imam berusaha membuat lari atau menjauhkan dari masalah jarh wa ta’dil secara mutlak, walaupun sekedar menukil perkataan para ulama yang membidanginya secara khusus.

Catatan kaki:
[1] Terlebih lagi bahwa di sisinya di markiz ada orang-orang yang masih suka mendengarkan sebagian dai dari kalangan hizbiyun.

Ditulis oleh:
Abu Ammar Ali Al-Hudzaify hafizhahullah
17 Shafar 1436 H

Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=149126

© 1446 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks