Para Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini menjadi dua pendapat: Pendapat pertama: Seluruh badan wanita adalah aurot, termasuk di dalamnya wajah dan telapak tangan. Ini adalah pendapat imam Ahmad dan jumhur Ulama Hanabilah, dan dirojihkan oleh para Muhaqqiqun,dan pendapat ini yang dipilih oleh Syekh Al Utsaimin, Syekh Muqbil dan Syekhuna Abdurohman Al ‘Adeny. Diantara dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut: Firman Alloh ta’ala:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir” [QS. Al Ahzab: 53]
Sebab turunnya ayat ini menunjukan kewajiban bagi wanita untuk menutup seluruh tubuhnya. Lihatlah hadist Anas di dalam Shohihain tentang sebab turunnya firman Alloh:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ……الآية
” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka…” [QS. An Nur: 31]
Sisi pendalilan dari ayat ini: Firman-Nya: ” janganlah menampakkan perhiasannya” termasuk perhiasan wanita adalah wajah, dan wajah merupakan perhiasan yang paling besar dan berharga daripada rambut dan betisnya. Firman Alloh ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
” Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” [QS. AL Ahzab: 59]
Jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita. Firman Alloh ta’ala:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ…
” Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan…” [QS. An Nur: 60].
Sisi pendalilan dari ayat ini: Bahwa perempuan-perempuan yang sudah tua, yang mana kaum lelaki sudah tidak tertarik kepadanya maka diberikan ijin untuk menanggalkan jilbab-jilbab mereka yaitu boleh bagi mereka untuk tidak menutup kepala dan wajahnya. Hal ini menunjukan bahwa selain dari mereka tidak diberikan ijin untuk membuka kepala dan wajahnya.
Dalil- dalil dari Sunnah:
Sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam:
المَرْأَةُ عَوْرَةٌ فِإَذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Artinya: “Wanita adalah aurot, maka apabila dia keluar (dari rumahnya) maka syaithon akan berdiri tegak (untuk mnyesatkannya kedalam fitnah atau menyesatkan laki-laki kedalam fitnah disebabkan wanita teersebut)”. (HR. At Tirmidzy dari shohabat ibnu mas’ud. Dan dishohihkan oleh Syekh Al Albani dan Syekh Muqbil_semoga Alloh merahmati mereka).
Hadits ini bersifat umum “Wanita adalah aurot” yaitu seluruh tubuhnya aurot. Tidaklah dikecualikan dari keumuman ini kecuali dengan dalil, maka tidak ada dalil yang mengecualikannya.
Hadits Ummu ‘Athiyah rodhiyallohu ‘anha, dia bertanya kepada Rosululloh ketika memerintahkan seluruh wanita untuk keluar ke lapangan shola ied:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: «لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا».
“Wahai Rosululloh, diantara kami ada yang tidak memiliki jilbab, maka beliau menjawab: Hendaknya saudaranya yang memiliki jilbab memakainnya” [HR. Al Bukhory dan Muslim]. Hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha di dalam kisah Ifiq dia berkata:
فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي، فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي
“Maka saya terbangun dan mendengar dia (Shofwan bin Al Mu’atthol) beristirja’ (mengucapkan inna lillahi wa inna ilahi roji’un) tatkala ia melihatku. Saya langsung menutupi wajahku dengan jilbabku….”[HR. Al Bukhori dan Muslim]. Di dalam hadits ini menunjukan bahwa ketika turun ayat jilbab maka para wanita diperintahkan untuk menutup wajah-wajah mereka.
Hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, tatkala turun ayat :
“وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ”، فقالت: «أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا».
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya” maka ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha berkata: Maka mereka langsung mengambil sarung-sarung mereka dan menyobeknya dari bagian bawah lalu menjadikannya sebagai kerudung mereka” [HR. Al Bukhory].
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar: yaitu mereka menutup wajah-wajah mereka, ini adalah sebuah bentuk praktek amalan dari para shohabiyah dalam mengamalkan ayat tersebut. Secara dzohir bahwa ayat ini hanya memerintahkan wanita untuk menututup kepala dan dada, maka hal ini melazimkan akan menutup pula antara keduanya yaitu wajah. Hadits Asma bintu abu Bakr rodhiyallohu ‘anha berkata:
“كُنَّا نُغَطِّيَ وُجُوهَنَا مِنَ الرِّجَالِ”
“kami menutup wajah-wajah kami dihadapan laki-laki” [HR. Al Hakim, dishohikan oleh Syekh Al Albany].
Pendapat Kedua: Seluruh badan wanita adalah aurot, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ini adalah pendapat sejumlah para ulama dan dirojihkan oleh Syekh Al Albany. Dalil-dalil mereka sebagai berikut: Firman Alloh ta’ala:
“إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا”
” kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” [QS. An Nur:31]. Mereka berdalil dengan tafsir Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma bahwa yang dikecualikan dalam ayat ini adalah wajah dan telapak tangan.
Menjawab pendalilan dari ayat ini: Tafsir ibnu Abbas, adalah atsar yang tidak sah darinya, dan kalau seandainya shohih maka tafsir ibnu Abbas bertentangan dengan tafsir dari shohabat yang lainnya seperti Ibnu Mas’ud yang mana beliau mentafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah pakaian, karena melihat ke pakaian wanita tidak sampai melihat kebadannya atau aurotnya. Atau bisa jadi beliau mentafsirkan ayat tersebut sebelum turunnya ayat jilbab.Ayat jilbab diturunkan pada tahun kelima hijriyah. Dan juga kalau ditinjau secara bahasa maka pentafsiran dengan wajah dan telapak tangan adalah pentafsiran yang paling lemah karena di dalam ayat tersebut Alloh berfirman:
“إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا”
” kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” [QS. An Nur:31].
Alloh tidak berfirman dengan lafadz:
“إِلَّا مَا أَظَهَرَ مِنْهَا”
Yang artinya: ” kecuali apa yang ditampakan dari padanya” [QS. An Nur:31].
Kemudian lihatlah lafadz ayat setelahnya:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ
“dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka” [QS. An Nur:31].
Maka lafadz ini menguatkan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan adalah perhiasan secara bathin (yang tidak tampak) yaitu wanita menampakan perhiasan bathin tersebut hanya kepada mahromya saja. Maka hal ini menunjukan bahwa yang bukan termasuk mahromnya hukumnya berbeda dengan hukum yang berlaku pada mahromnya.
Kemudian juga lafadz ayat setelahnya
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan” [QS. An Nur:31].
Yaitu agar tidak terjadi fitnah disebabkan suara yang keluar dari perhiasannya, padahal hal ini tidak menunjukan warna, sifat, umur dan bentuk wanita tersebut, yang seperti ini dilarang. Bagaimana dengan wanita yang menampakan wajahnya, yang dengannya bisa terlihat warna, sifat, umur dan bentuk wanita tersebut, maka ini adalah fitnah dan fitnahnya lebih besar dari sekedar suara perhiasan seperti pada kakinya. Sehingga menampakan wajah lebih dilarang dengan sebab di atas.
Hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, berkata:
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: «يَا أَسْمَاءُ، إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا» وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ. رواه أبو داود.
“Bahwasannya Asma bintu Abu Bakr masuk menemui Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian yang tipis, maka Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam pun berpaling darinya, Beliau bersabda: “Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita jika telah baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini – beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya” [HR. Abu Dawud]
Ini adalah hadits yang dho’if (lemah), karena di dalamnya ada 4 ‘ilal (penyakit yang menyebabkan lemahnya hadits): Di dalamnya ada perowi yang bernama Kholid bin Duroik, dia tidak bertemu dengan ‘Aisyah, sehingga hadits ini adalah hadits munqothi’ (hadits yang terputus sanadnya). Di dalamnya juga ada perowi yang bernama Qotadah, dia seorang mudallis, dan di dalam hadits ini dia meriwayatkan dengan sighoh (bentuk) periwayatan (عن) sehingga dengan ini menjadikan periwayatannya menjadi lemah. Di dalamnya juga ada perowi yang bernama Sa’id bin Basyir, dia meriwayatkan hadits ini dari Qotadah, sedangkan periwayatannya dari Qotadah terdapat kelemahan. Di dalamnya pula ada perowi yang bernama Al Walid bin Muslim, dia seorang mudallis, di dalam hadits ini dia juga meriwayatkan dengan bentuk periwayatan (عن) sehingga dengan ini menjadikan periwayatannya menjadi lemah. Hadits ini memeliki jalan sanad yang lain yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Baihaqy dari hadits ‘Aisyah pula, namun hadits ini juga hadits yang lemah Karena di dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah (perowi yang dho’if) dan juga seorang perowi lain yang lemah sekali periwayatannya. Dan hadits juga memeliki jalan sanad yang lain, namun di dalamnya Qotadah meriwayatkan hadits secara mursal, sedangkan mursalnya Qotadah termasuk mursal yang paling lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Muqbil Rohimahulloh, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai penguat hadits.
Mereka juga berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata:
كَانَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ تَسْتَفْتِيهِ، فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الْآخَرِ (رواه البخاري ومسلم وهذا لفظ مسلم)
“Al Fadhl bin ‘Abbas pernah membonceng Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam, kemudian datang seorang wanita dari Khats’am yang bertanya kepada beliau; dan Al Fadhl melihatnya kepadanya, dan wanita tersebut melihat kepadanya. Kemudian Rosululloh memalingkan wajah Al Fadhl kesisi yang lain [HR. Al Bukhory dan Muslim, ini adalah lafadz hadits Muslim]. Adapun lafadz Al Bukhory:
وَكَانَ الفَضْلُ رَجُلًا وَضِيئًا ….. وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ
“Al Fadhl seorang lelaki yang tampan ….. dan datanglah seorang wanita yang cantik dari khats’am”
Dalam riwayat An Nasa’i:
وَكَانَتِ امْرَأَةً حَسْنَاءَ
“Dia adalah wanita yang cantik”
Dengan hadits ini mereka berdalil tentang bolehnya bagi wanita membuka wajahnya. Sisi pendalilan mereka adalah Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan wanita tersebut untuk menurunkan jilbanya untuk menutup mukanya sehingga Al Fadhl dapat melihat mukanya.
Jawaban dari hadits ini, sbb: Riwayat Al Imam Muslim tidak terdapat dalil bolehnya wanita membuka wajahnya, karena lafadznya:
فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ
“dan Al Fadhl melihatnya kepadanya, dan wanita tersebut pun melihat kepadanya” Al Fadhl melihat wanita tersebut tidaklah melazimkan kalau wanita tersebut dalam keadaan membuka wajahnya.
Adapun riwayat Al Imam Al Bukhory, maka sebagaimana yang telah dimaklumi apabila seorang wanita membuka matanya maka akan terlihat sedikit warna kulit wajahnya, sehingga terkadang terlihat elok wajahnya dari tatapannya. Dari sini menunjukan bahwa riwayat Al Bukhory tidak tampak dengan jelas bahwa wanita tersebut membuka wajahnya. Adapun riwayat An Nasa’i jelas menyelisihi riwayat Muslim, sebagaimana telah dimaklumi bahwa Al Imam Muslim paling perhatian dengan lafadz-lafadz hadits di dalam periwayatannya. Mungkin juga kita katakan bahwa barangkali Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam setelah itu memerintahkan wanita tersebut untuk menutup mukanya atau wanita tersebut belum mengetahui hukum jilbab, sehingga Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam tidak segera memerintahkan dia sampai menjawab pertanyaannya terlebih dahulu, kemudian mengkabarkannya tentang hukum jilbab. Tidaklah kita mengakatakan bahwa hadits ini terjadi sebelum turunnya ayat jilbab, karena syariat haji turun pada tahun kesepuluh hiriyah sedangkan ayat jilbab turun pada tahun kelima hijriyah.
Hadits Jabir rodhiyallohu ‘anhuma:
ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ، فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ، فَقَالَ: «تَصَدَّقْنَ، فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ»، فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ, فَقَالَتْ: لِمَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ….. الحديث
“Setelah itu, beliau berlalu hingga sampai di tempat kaum wanita. Beliau pun memberikan nasehat dan peringantan kepada mereka. Beliau bersabda: “Bersedekahlah kalian, karena kebanyakan kalian akan menjadi bahan bakar neraka jahannam.” Maka berdirilah seorang wnita terbaik di antara mereka denga wajah pucat kehitaman seraya bertanya: kenapa ya Rosululloh? ……”[HR. Muslim].
Jawaban dari hadits ini adalah: Lafadz (مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ) adalah lafadz yang menyelesihi kebanyakan periwayatan para perowi yang tsiqoh, mereka meriwayatkan dengan lafadz (مِنْ سَفَلَةِ النِّسَاءِ) artinya wanita yang rendah. Dari lafadz ini (مِنْ سَفَلَةِ النِّسَاءِ) menunjukan suatu kemungkinan bahwa wanita tersebut adalah seorang hamba sahaya (budak) bukan wanita yang merdeka, karena adanya warna hitam yang ada diwajahnya ini adalah alamat keumuman dari warna kulit para budak.
Jika demikian maka sesungguhnya budak perempuan tidaklah diwajibkan atas mereka untuk menutup wajah-wajah mereka selama tidak mengundang fitnah, berbeda dengan para wanita yang merdeka, wajib bagi mereka menutupi wajahnya. Sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu berkata:
“فَقَالَ المُسْلِمُونَ: إِحْدَى أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِينَ، أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُهُ؟ قَالُوا: إِنْ حَجَبَهَا فَهِيَ إِحْدَى أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِينَ، وَإِنْ لَمْ يَحْجُبْهَا فَهِيَ مِمَّا مَلَكَتْ يَمِينُهُ. رواه البخاري
“Berkata para Shohabat: Ia adalah ummahatul mukminin ataukah hamba sahaya? Dan mereka pun berkata: Jika beliau menghijabinya maka dia termasuk ummahatul mukminin, dan bila tidak, maka ia adalah hamba sahaya…” [HR. Al Bukhory]. Jawaban yang lain, bahwa kejadian ini sebelum diturunkannya ayat hijab.
Mereka berdalil dengan hadits Subai’ah Al Aslamiyah rodhiyallohu ‘anha, bahwa Abu As Sanabil bin Ba’kak melihatnya dalam keadaan berdandan. HR. Al Bukhory dan Muslim.
Jawaban dari hadits ini: Kejadian Abu As Sanabil melihatnya, ini disaat ingin mengkhitbahnya (meminangnya). Melihat wajah wanita yang akan dinikahi adalah hal yang dibolehkan.
Hadits Fathimah bintu Qois, dimana Rosulullohu berkata kepadanya:
فَقَالَ: «لَا تَفْعَلِي، إِنَّ أُمَّ شَرِيكٍ امْرَأَةٌ كَثِيرَةُ الضِّيفَانِ، فَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَسْقُطَ عَنْكِ خِمَارُكِ أَوْ يَنْكَشِفَ الثَّوْبُ عَنْ سَاقَيْكِ، فَيَرَى الْقَوْمُ مِنْكِ بَعْضَ مَا تَكْرَهِينَ….. الحديث
“Jangan (kamu pindah kerumahnya), karena Ummu Syuraik adalah wanita yang banyak tamunya, aku tidak mau kerudungmu jatuh atau penutup betismu tersingkap lalu orang-orang melihat sebagian yang tidak kau suka…..” [HR. Muslim].
Jawaban dari hadits ini adalah bahwa kalimat “khimar” tidaklah cuma di pakai untuk sesuatu yang menutupi kepala saja, tetapi juga bermakna sesuatu yang menutupi aurot, dalil dalam hal ini adalah perkataan ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha:
” فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي”
“Aku tutupi wajahku dengan jilbabku” [HR. Al Bukhory dan Muslim].
KESIMPULAN; Melihat dari dalil-dalil dari kedua pendapat di atas, maka kita melihat dalil-dalil pendapat pertama tentang aurot wanita adalah seluruh tubuhnya, termasuk di dalamnya wajah dan kedua telapak tangannya lebih kuat dan lebih jelas pendalilannya daripada dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat kedua yang mengecualikan wajah dan telapak tangan. Sehingga kita simpulkan dari pembahasan ini, pendapat pertama adalah pendapat yang kuat dan terpilih.Wallohu a’lam. Semoga apa yang kami tuliskan disini memberikan banyak faedah yang berharga dan bermanfaat bagi kaum muslimin secara umum, dan bagi kaum muslimah secara khusus. Wallohu a’lam bishowab wal muwaffiq ilaihi.
CATATAN: Pembahasan ini kami nukil dari fawaid yang diajarkan oleh Syekhuna Abdurohman Al ‘Adeny hafidzohullohu ta’ala dalam pelajaran Syarh Ad Durory karya Al Imam Asy Syaukany rohimahulloh.
Ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy
_di darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah