BAGAIMANA SIKAP KITA TERHADAP PERBEDAAN PARA ULAMA DALAM MASALAH FIKIH
Asy-Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah
Pertanyaan: Bagaimana sikap kita terhadap perbedaan para ulama dalam masalah fikih?
Jawaban:
Sikap kita berbeda-beda sesuai perbedaan keadaan dan kedudukan ilmiyah kita.
Sikap seorang ulama dan seorang penuntut ilmu yang mapan terhadap perbedaan para ulama dalam masalah fikih adalah berusaha mencari yang benar dan mengerahkan segenap kemampuan untuk sampai kepadanya serta tidak bersikap fanatik kepada siapa pun, bahkan yang wajib adalah mengikuti dalil dan mencari kebenaran.
Sedangkan sikap orang awam dan penuntut ilmu pemula serta siapa saja yang belum mengetahui kebenaran dengan jelas adalah dengan bertanya kepada orang yang terpercaya ilmunya, agamanya, sikap wara’ (kehati-hatian), dan ketakwaannya.
Di sini ada beberapa peringatan:
Pertama: Masalah-masalah fikih yang padanya terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama tidak terlepas dari beberapa keadaan:
# Bisa jadi padanya terdapat dalil yang jelas dan tegas, maka wajib untuk kembali kepadanya dan tidak menoleh kepada pendapat siapa saja yang menyelisihinya. Karena sikap yang wajib adalah mengikuti Nabi shallallahu alaihi was sallam dan bukan selain beliau. Dalam masalah yang sifatnya seperti ini para ulama mengatakan: “Diingkari siapa saja yang menyelisihi kebenaran padanya.”
# Bisa jadi padanya terdapat dalil-dalil khusus namun bertentangan dengan dalil-dalil yang lain. Jadi dalil-dalil tersebut tarik menarik dan mengandung kemungkinan salah satu dari dua pendapat atau dari beberapa pendapat yang ada. Dalam masalah yang sifatnya seperti ini wajib untuk mencari yang benar dan berusaha sampai kepadanya, bukan mencari pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu dan tidak pula bersikap fanatik. Dan masalah-masalah seperti ini padanya tidak boleh keluar dari nukilan yang berasal dari Salaf dalam memahami nash-nash yang ada.
# Bisa jadi dalil-dalil dalam masalah-masalah tersebut bersifat umum, maka dalam masalah-masalah seperti inilah yang dikatakan oleh para ulama: “Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah yang diperselisihkan.”
Kedua: Sepantasnya untuk merujuk kepada para ulama besar dan bukan kepada selain mereka dalam masalah-masalah berikut:
# Masalah-masalah kontemporer yang muncul dan sifatnya insindentil (tiba-tiba) serta membutuhkan fatwa, dalam hal ini merujuknya kepada para ulama besar.
# Masalah-masalah penting yang berkaitan dengan nasib umat.
# Fatwa umum yang berkaitan dengan umat secara umum.
# Masalah-masalah yang pemerintah mempercayakannya kepada para ulama.
Tidak memperhatikan masalah-masalah ini akan menjerumuskan umat ke jurang perselisihan dan permusuhan.
Ketiga: Mentarjih (menguatkan) pendapat seorang ulama atas pendapat ulama yang lain bukan artinya mencela ulama tersebut, karena para ulama yang sampai pada tingkatan mujtahid jika benar maka dia mendapatkan dua pahala, dan jika keliru maka dia mendapatkan satu pahala.
Namun perlu diperhatikan bahwa seorang ulama yang mendapatkan satu pahal jika dia keliru adalah ulama yang berijtihad di samping memiliki kemampuan berijtihad.
Adapun seseorang yang bukan ulama dan tidak pantas untuk berijtihad, maka orang semacam ini jika dia berijtihad dan keliru ijtihadnya, jadi tidak bisa dikatakan bahwa dia mendapatkan satu pahala. Bahkan dalam hal ini para ulama mengatakan: “Dia berdosa walaupun sesuai dengan pendapat yang benar, karena dia telah lancang berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu.”
وَاللهُ أَعْلَمُ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
Sumber artikel:
www.albaidha.net/vb/
Alih bahasa: Abu Almass
Senin, 16 Ramadhan 1435 H