BAGAIMANA MENYIKAPI CELAAN KARENA SEORANG PRIA MENIKAHI SEORANG JANDA?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan: Saya seorang pria berusia 35 tahun, saya menikah dengan seorang wanita berusia 15 tahun ketika saya berusia 28 tahun.
Perlu diketahui bahwa istri saya tersebut sebelumnya telah menikah dengan pria yang lain, namun kebersamaannya dengannya hanya berlangsung selama 3 bulan saja, dan dia belum memiliki anak.
Saya menikah dengannya langsung setelah dicerai oleh suaminya yang pertama. Saya telah hidup bersamanya selama 7 tahun dan telah melahirkan untuk saya 5 orang anak, 3 perempuan dan 2 laki-laki.
Perlu diketahui bahwa sangat bahagia hidup bersamanya dan jauh dari berbagai masalah, dan istri saya adalah seorang wanita yang baik agamanya.
Hanya saja masalahnya kerabat dan teman-teman saya mencela dan mengolok-olok saya dengan mengatakan bahwa saya menikah dengan seorang janda, dan mereka mengatakan kepada saya bahwa pernikahan saya masih terus menjadi tanggung jawab saya (harus ganti istri -pent).
Maka saya memohon nasehat kepada Anda untuk saya –semoga Allah selalu memberkahi Anda– dan apakah dibenarkan untuk saya menikah lagi dengan seorang gadis dan menceraikan istri saya tersebut, atau memadunya dengan tetap hidup bersama saya. Mohon jawabannya, semoga Allah selalu memberkahi Anda.
Jawaban: Sesungguhnya pernikahan Anda dengan istri Anda yang telah menikah dengan orang lain sebelum Anda tidak masalah, dan tidak tercela, justru orang-orang yang mencela Anda mereka itulah yang pantas untuk dicela. Dan mereka tidak berhak untuk memprotes atau ikut campur urusan seseorang dengan istrinya. Dan alangkah miripnya mereka itu dengan orang-orang yang isebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:
ﻓَﻴَﺘَﻌَﻠَّﻤُﻮﻥَ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﻣَﺎ ﻳُﻔَﺮِّﻗُﻮﻥَ ﺑِﻪِ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀِ ﻭَﺯَﻭْﺟِﻪِ.
“Mereka mempelajari dari keduanya hal-hal (sihir) yang mereka gunakan untuk memisahkan seorang suami dari istrinya.” (QS. al-Baqarah: 102)
Nasehat saya untuk Anda adalah hendaknya Anda tetap hidup bersama istri Anda, selama kalian berdua hidup bahagia dan dikaruniai anak-anak.
Dan Anda jangan melirik wanita yang lain hanya semata-mata karena sebab celaan orang-orang yang bodoh kepada Anda.
Nabi shallallahu alaihi was sallam yang beliau merupakan hamba Allah yang paling mulia, paling bertakwa kepada-Nya, dan paling banyak ibadahnya, beliau saja, wanita yang pertama kali beliau nikahi adalah seorang janda, yaitu Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu anha. Bahkan sesungguhnya semua istri-istri Nabi shallallahu alaihi was sallam adalah janda, kecuali Aisyah radhiyallahu.
Jadi tidak ada celaan dan aib terhadap seseorang jika dia menikah dengan seorang janda. Dan selama Anda hidup bahagia bersama istri Anda, maka pertahankan dan jangan melirik wanita yang lain.
Adapun seseorang menikah lagi dengan wanita yang lain (poligami) maka dari sisi pernikahan tidak masalah, karena seorang pria boleh menikahi satu, dua, tiga, atau empat wanita.
Hanya saja jika seseorang ingin menikah lagi dengan wanita yang lain hanya gara-gara celaan orang-orang yang bodoh itu, maka tidak dibenarkan.
Namun sebelum saya mengakhiri jawaban atas pertanyaan ini, saya ingin mengingatkan tentang kalimat yang disebutkan dalam pertanyaan tadi, yaitu ucapan: “Saya menikahinya langsung setelah dicerai oleh suaminya yang pertama.”
Yang nampak dari ungkapan ini dia menikahinya sebelum menyelesaikan masa iddah dari suaminya yang pertama. Jika faktanya seperti itu, maka sekarang wajib atasnya untuk mengulangi akad nikah, karena menikahi seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah hukumnya bathil berdasarkan nash (dalil yang tegas dan jelas) dan ijma’.
Allah Ta’ala berfirman:
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻌْﺰِﻣُﻮﺍ ﻋُﻘْﺪَﺓَ ﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺒْﻠُﻎَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏُ ﺃَﺟَﻠَﻪُ.
“Dan janganlah kalian melakukan akad nikah (dengan seorang janda) hingga selesai iddahnya.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Dan para ulama –rahimahumullah– telah berijma’ atas rusaknya pernikahan dengan seorang wanita yang masih dalam masa iddah dari pria yang lain.
Namun jika ungkapan ini maksudnya adalah setelah selesai masa iddahnya, maka pernikahan tersebut sah dan tidak ada masalah, sehingga saya ingin agar saudara penanya memperhatikan dengan baik masalah ini.
Sedangkan jika kemungkinan pertama yang terjadi, yaitu dia menikahinya langsung setelah dicerai sebelum berakhirnya masa iddah, maka wajib untuk mengulangi akad nikah sebagimana yang telah saya katakan tadi.
Sedangkan tentang status anak-anaknya yang terlahir dari wanita tersebut adalah anak-anak yang sah, karena mereka berasal dari hubungan suami istri yang keadaannya mengandung syubhat (kerancuan atau ketidakjelasan).
Dan para ulama telah menyebutkan bahwa anak-anak diikutkan atau disandarkan kepada pria yang menggauli seorang wanita yang keadaannya mengandung syubhat, sama saja syubhat tersebut dalam masalah akad (pihak-pihak yang melakukan akad menyangka tidak ada masalah, padahal di belakang hari terbukti ada masalah, misalnya seperti kasus di atas, atau belakangan diketahui bahwa suami istri ternyata saudara sepersusuan -pent) atau karena syubhat i’tiqad/keyakinan (misalnya seseorang menggauli seorang wanita yang dia sangka istrinya, ternyata iparnya -pent).
***
Sumber: Fatawaa Nuurun Alad Darb, jilid 12 hlm. 709-710