AYAT-AYAT YANG ISINYA BERLAWAN ATAU BERKEBALIKAN
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita yang baik-baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula….” (an-Nur: 26)
Dia Yang Mahatinggi juga berfirman,
Nabi Nuh berseru kepada Rabbnya sembari berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sungguh janji-Mu itulah yang benar….” (Hud: 45)
Namun Allah Subhanahuwata’ala menyatakan kepada Nuh alaihissalam,
“Wahai Nuh, sungguh dia bukanlah termasuk keluargamu [1], sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik….” (Hud: 46)
Di surat lain Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang kafir. Keduanya berada di bawah status pernikahan dengan dua hamba yang saleh dari kalangan hamba-hamba Kami. Namun kedua istri tersebut berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari siksa Allah. Dan (di hari kiamat nanti) dikatakan kepada keduanya, “Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka.”
Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, “Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya serta selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (at-Tahrim: 10—11)
Bagaimana mendudukkan ayat-ayat di atas yang seakan bertentangan? Di satu ayat dinyatakan, “Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik….” Sementara itu, di ayat yang lain diberitakan bahwa istri Nabi Nuh alaihissalam dan Luth alaihissalam adalah perempuan yang buruk. Adapun Fir’aun yang jelek, istrinya adalah wanita yang baik?
Jawab:
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta [2] memberikan jawaban sebagai berikut.
- Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita yang baik-baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula….” (an-Nur: 26)
Ayat ini disebutkan setelah ayat-ayat yang turun tentang haditsul ifk (kabar dusta dan keji yang dituduhkan kepada Ummul Mukminin Aisyah ash-Shiddiqah bintu ash-Shiddiq, semoga Allah Subhanahuwata’ala meridhainya dan ayahnya) sebagai penekanan akan terlepasnya Aisyah radhiyallahuanha dari tuduhan palsu, dusta, dan mengada-ada yang dilemparkan oleh Abdullah bin Ubai bin Salul, tokoh munafikin. Ayat di atas sekaligus menjadi keterangan akan kesucian dan penjagaan diri Aisyah radhiyallahuanhu serta hubungannya dengan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam.
Ayat ini memiliki dua makna:
- Kata khabitsat (yang keji/buruk) dan amalan sayyi’at (jelek) paling pantas digandengkan dengan orang-orang yang keji. Orang-orang yang keji lebih pantas dan cocok dengan kata khabitsat dan amalan fahisyah. Kata thayyibat (yang baik) dan amalan thahirah (suci) paling pantas dan paling berhak disandangkan kepada orang-orang thayyibun, para pemilik jiwa yang mulia dan akhlak karimah yang tinggi. Thayyibun lebih pantas dengan kata thayyibat dan amalan shalihat.
- Wanita-wanita khabitsat untuk laki-laki khabitsun (keji), dan para lelaki khabitsun lebih pantas pula beroleh wanita-wanita khabitsat. Sebaliknya, wanita-wanita thayyibat, yang suci lagi menjaga diri, lebih pantas untuk para lelaki yang suci lagi menjaga diri. Para lelaki thayyibun dan menjaga diri paling utama beroleh para wanita yang suci lagi menjaga diri pula.
Ayat ini dengan kedua maknanya menunjukkan kesucian Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahuanha dari tuduhan keji yang dilemparkan Abdullah bin Ubai bin Salul dan orang yang mengikutinya yang tertipu dengan kedustaannya dan teperdaya oleh ucapannya yang diindah-indahkan.
- Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
Nabi Nuh berseru kepada Rabbnya sembari berkata, “Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sungguh janji-Mu itulah yang benar. Engkau adalah sebaik-baik pemutus perkara.” Namun Allah Subhanahuwata’ala menyatakan kepada Nuh alaihissalam, “Wahai Nuh, sungguh dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik….” (Hud: 45—46)
Makna dua ayat di atas adalah Allah Subhanahuwata’ala mengabarkan tentang Rasul-Nya Nuh alaihissalam yang memohon kepada Allah Subhanahuwata’ala agar menunaikan janji-Nya kepadanya untuk menyelamatkan putranya dari bencana tenggelam dan binasa. Hal ini berdasarkan apa yang dipahami Nuh alaihissalam dari firman Allah Subhanahuwata’ala kepadanya,
“Angkutlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing hewan sepasang (jantan dan betina) dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan atasnya dan angkutlah pula orang-orang yang beriman.” (Hud: 40)
Nuh alaihissalam berkata,
“Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku….” (Hud: 45)
Sungguh, Engkau telah menjanjikan kepadaku untuk menyelamatkan keluargaku dan janji-Mu itu benar, tidak akan diingkari.
“Sungguh janji-Mu itulah yang benar. Engkau adalah sebaik-baik pemutus perkara.”
Allah Subhanahuwata’ala menyatakan,
“Wahai Nuh, sungguh dia bukanlah termasuk keluargamu….” (Hud: 46)
Maksudnya, anakmu itu tidak termasuk orang-orang yang Aku janjikan keselamatan karena yang Aku janjikan untuk diselamatkan hanyalah orang yang beriman dari kalangan keluargamu. Pengecualian ini dibuktikan dengan firman-Nya,
“… kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan atasnya.” [3]
Oleh karena itulah, Allah Subhanahuwata’ala mencela Nuh alaihissalam atas permintaan tersebut dan pemahamannya yang keliru, dengan menyatakan,
“Wahai Nuh, sungguh dia bukanlah termasuk keluargamu.”
Mengapa? Allah Subhanahuwata’ala menerangkan alasannya dengan firman-Nya,
“… sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik….”
karena kekafirannya terhadap ayahnya, Nuh alaihissalam, dan penyelisihannya terhadap sang ayah, si anak tidak termasuk keluarga sang ayah dalam hal agama, walaupun secara nasab si anak adalah putranya. [4]
Ibnu Abbas radhiyallahuanhu dan ulama salaf lainnya berkata, “Tidak ada satu pun istri nabi yang berzina.” Inilah yang benar. Hal ini karena Allah Subhanahuwata’ala sangat cemburu apabila sampai ada istri nabi yang diutus-Nya berbuat fahisyah (zina). Oleh sebab itulah, Allah Subhanahuwata’ala marah terhadap orang-orang yang menuduh Aisyah radhiyallahuanha, istri Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, berbuat fahisyah. Allah Subhanahuwata’ala mengingkari perbuatan mereka tersebut dan menyucikan Aisyah radhiyallahuanha dari ucapan mereka serta menurunkan ayat al-Qur’an tentang hal tersebut yang terus dibaca sampai hari kiamat.
- Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang kafir….” (at-Tahrim: 10)
dan dua ayat seterusnya dari surah at-Tahrim.
Setelah Allah Subhanahuwata’ala menyalahkan istri-istri Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, secara khusus Aisyah dan Hafshah radhiyallahuanhunna, atas perbuatan mereka yang tidak pantas dalam bergaul yang baik dengan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam hingga beliau marah dan bersumpah untuk mengasingkan diri dari mereka selama sebulan.
Allah Subhanahuwata’ala mengingkari kesalahan yang dilakukan oleh sebagian mereka terhadap diri Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam, serta mengancam mereka dengan talak dan Allah Subhanahuwata’ala akan menggantikan untuk beliau istri-istri yang lebih baik dari mereka, Allah Subhanahuwata’ala menutup surah at-Tahrim dengan dua permisalan.
Satu permisalan diberikan-Nya untuk orang-orang kafir, yaitu dua istri yang kafir: istri Nabi Nuh alaihissalam dan istri Nabi Luth alaihissalam. Permisalan berikutnya untuk orang-orang yang beriman, yaitu dua wanita yang salehah: Aisyah, istri Fir’aun, dan Maryam bintu Imran.
Permisalan ini adalah bentuk pengumuman bahwa Allah Subhanahuwata’ala adalah Hakim yang adil, tidak ada yang Dia segani ketika menghukumi. Bahkan, di sisi-Nya, setiap jiwa akan beroleh apa yang diusahakannya. Allah Subhanahuwata’ala mendorong para hamba-Nya untuk bertakwa dan takut akan sebuah hari saat mereka semua akan dikembalikan kepada Allah Subhanahuwata’ala. Sebuah hari yang seorang ayah tidak bisa menebus anaknya dan anak tidak bermanfaat bagi ayahnya sedikit pun. Sebuah hari saat seseorang lari meninggalkan saudara, ibu, ayah, istri, dan anaknya. Setiap orang pada hari itu punya urusan yang menyibukkannya. Sebuah hari yang seseorang tidak bisa memikul dosa orang lain. Sebuah hari yang tidak bermanfaat di dalamnya syafaat, selain bagi orang yang diizinkan oleh ar-Rahman dan diridhai ucapannya.
Allah Subhanahuwata’ala menerangkan bahwa istri Nuh alaihissalam dan istri Luth alaihissalam adalah dua wanita yang kafir meskipun keduanya adalah istri dari dua rasul yang mulia. Istri Nuh mengkhianati beliau dengan menunjukkan kepada orang kafir siapa-siapa yang beriman kepada suaminya. Sementara itu, istri Nabi Luth mengabarkan kepada orang kafir tentang tamu-tamu suaminya. Apa yang dilakukan kedua wanita ini adalah bentuk gangguan dan pengkhianatan terhadap suami keduanya. Keduanya juga menghalangi manusia sehingga tidak mengikuti kedua rasul yang mulia. Maka dari itu, kesalehan suami keduanya, Nuh dan Luth, tidak bermanfaat bagi keduanya. Tidak pula hal itu dapat mencegah dan menghalangi keduanya dari beroleh azab Allah Subhanahuwata’ala sedikit pun.
Pada hari kiamat dikatakan kepada kedua wanita ini, “Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya,” sebagai balasan yang setimpal atas kekufuran dan pengkhianatan keduanya. Bentuk pengkhianatannya adalah istri Nuh melaporkan kepada orang-orang kafir tentang orang-orang yang beriman kepada suaminya, sedangkan istri Luth memberi tahu kepada orang-orang kafir tentang tamu-tamu suaminya. Pengkhianatan keduanya bukan dalam bentuk berzina karena Allah Subhanahuwata’ala tidak akan ridha apabila ada di antara nabi-Nya yang memiliki seorang istri yang pezina.
Dalam tafsirnya terhadap firman Allah Subhanahuwata’ala, “Maka keduanya mengkhianati suami keduanya…,” Ibnu Abbas radhiyallahuanhu menyatakan bahwa kedua istri tersebut tidaklah berzina.
Beliau menegaskan, “Tidak ada seorang pun dari istri nabi yang melakukan perbuatan zina. Adapun pengkhianatan keduanya (istri Nuh dan istri Luth) adalah dalam hal agama.”
Demikian pula yang dikatakan oleh Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, adh-Dhahhak, dan selain mereka, semoga Allah Subhanahuwata’ala merahmati mereka.
Pada ayat berikutnya, Allah Subhanahuwata’ala menerangkan permisalan yang dibuat-Nya untuk orang-orang yang beriman dengan Asiyah, istri Fir’aun, orang yang paling zalim di zamannya. Allah Subhanahuwata’ala hendak menunjukkan bahwa bercampurnya orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir tidak akan bermudarat bagi si mukmin apabila memang terpaksa harus bercampur, selama orang-orang beriman tersebut berpegang dengan tali Allah Subhanahuwata’ala, teguh dengan agamanya. Sebaliknya, kesalehan dua rasul: Nuh dan Luth, tidak bermanfaat bagi dua istri mereka yang kafir.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali (kekasih, teman dekat, pemimpin, penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (Ali Imran: 28)
Oleh karena itu, istri Fir’aun tidak termudaratkan dengan kekafiran dan kezaliman suaminya. Allah Subhanahuwata’ala adalah Hakim yang adil. Ia tidak akan menyiksa seseorang karena dosa yang diperbuat oleh orang lain. Allah Subhanahuwata’ala justru melindungi Asiyah, meliputinya dengan penjagaan dari-Nya, menjaganya dengan baik, dan mengabulkan doanya, serta membangun untuknya sebuah rumah di jannah (surga). Allah Subhanahuwata’ala pun menyelamatkannya dari Fir’aun dan makarnya serta dari seluruh orang yang zalim.
Dari penafsiran ayat-ayat yang telah lewat, disimpulkan bahwa putra Nuh alaihissalam, bukanlah anak zina; dan Aisyah radhiyallahuanha dibersihkan oleh Allah Subhanahuwata’ala dari tuduhan yang dilemparkan oleh tokoh munafik dan orang yang tertipu oleh ucapan si munafik dari kalangan mukminin dan mukminah; istri Nuh alaihissalam dan istri Luth alaihissalam tidaklah berzina, hanya saja mereka berdua kafir dan memberi tahu orang-orang kafir tentang urusan yang menyusahkan suami masing-masing, serta memalingkan manusia dari mengikuti kedua nabi ini. Ayat di atas menunjukkan pernikahan seorang mukmin dengan wanita kafir dibolehkan dalam syariat umat terdahulu, demikian pula pernikahan seorang lelaki kafir dengan mukminah. [5]
Dengan demikian, jelaslah bahwa ayat-ayat yang disebutkan tidaklah saling bertentangan, tetapi justru bercocokan. Sebagiannya menguatkan yang lain.
[Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta, fatwa no. 11324, 3/271—276]
*
Sumber: Majalah Asy Syariah
————————————————
Catatan Kaki:
- Seakan-akan penanya beranggapan, Allah Subhanahuwata’ala menolak ucapan Nabi Nuh alaihissalam bahwa anak itu adalah anak kandungnya, yang berarti bahwa anak itu hasil hubungan zina istri Nuh dengan lelaki lain, sedangkan Nuh alaihissalam merasa anak itu adalah darah dagingnya. Padahal maksud firman Allah Subhanahuwata’ala, “Sungguh dia bukanlah termasuk keluargamu” adalah sebagaimana yang akan diterangkan dalam jawaban pertanyaan ini. Adapun pengkhianatan istri Nuh alaihissalam kepada beliau bukan dalam bentuk berselingkuh dengan lelaki lain hingga lahir “anak haram”, sebagaimana akan dijelaskan. –penerj.
- Saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh al-Imam Ibnu Baz, semoga Allah Subhanahuwata’ala merahmati beliau dan meluaskan kuburnya.
- Bahwa dia akan terkena azab karena kekafirannya. –penj.
- Jadi, yang ditolak oleh Allah Subhanahuwata’ala bukanlah keberadaan anak tersebut sebagai anak kandung Nabi Nuh alaihissalam, tetapi keberadaannya sebagai keluarga Nuh yang dijanjikan untuk diselamatkan dari azab karena anak tersebut kafir terhadap ayahnya, seorang rasul yang menyeru kepada keimanan. –penj.
- Dalam hal ini, Asiyah yang mukminah bersuamikan Fir’aun yang kafir, bahkan salah seorang tokoh kekafiran.