APAKAH MAKNA MEMBEBASKAN BUDAK ?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Pertanyaan: Membebaskan budak bagi sebagian orang menjadi sesuatu yang susah dipahami. Jadi mereka tidak mengetahui maknanya karena mereka tidak pernah melihatnya secara langsung. Di sini ada seorang ikhwah yang menanyakan khusus tentang pembebasan budak, dan kami sering mendengar tentang kaffarah dengan membebaskan budak, padahal kami tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan budak? Apakah dia manusia yang divonis mati kemudian dimaafkan ataukah dia termasuk jenis hewan?
Jawaban: Membebaskan budak yang dimaksud dengannya adalah memerdekakan budak pria atau wanita. Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan syari’at bagi hamba-hamba-Nya jika mereka berjihad melawan musuh-musuh Islam dan berhasil mengalahkan mereka maka anak-anak dan para wanita mereka menjadi budak bagi kaum Muslimin. Jadi kaum Muslimin bisa menjadikan mereka sebagai pelayan, memanfaatkan mereka, menjual mereka, dan mengatur urusan mereka. Demikian juga para tawanan jika kaum Muslimin berhasil menawan musuh-musuh mereka.
Pemerintah memiliki hak untuk memilih, jika menghendaki boleh membunuh tawanan, atau membebaskan tawanan jika memandang ada maslahat, atau boleh memperbudak mereka dengan menjadikan mereka termasuk bagian dari rampasan perang, atau membunuh mereka jika memandang maslahatnya dengan membunuh, atau menukar tawanan, atau meminta uang tebusan kepada orang-orang kafir tersebut untuk membebaskan tawanan mereka.
Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pada Perang Badr. Ketika itu beliau shallallahu alaihi was sallam mendapatkan tawanan, maka beliau membunuh sebagian mereka dan meminta tebusan bagi sebagian mereka. Diantara tawanan tersebut adalah An-Nadhr bin Al-Harits dan Uqbah bin Abi Mu’aith, beliau memerintahkan untuk membunuh keduanya setelah perang berakhir. Sedangkan sisanya beliau bebaskan dengan meminta tebusan dan memerintahkan kaum Muslimin agar menerima tebusan dari orang-orang musyrik sebagai imbalan pembebasan tawanan mereka. Sebagian mereka juga ada yang dibebaskan oleh beliau shallallahu alaihi was sallam tanpa tebusan apapun. Jadi memaafkan tawanan boleh dilakukan oleh pemerintah jika memandang ada maslahat, boleh membunuhnya, boleh memperbudaknya, dan boleh juga membebaskannya dengan meminta tebusan.
Inilah yang dimaksud dengan budak yang dimiliki oleh kaum Muslimin ketika berhasil mengalahkan musuh mereka. Mereka menjadi budak bagi kaum Muslimin. Setelah itu pemilik budak boleh memilih, jika dia ingin dia boleh menjadikannya sebagai pelayannya [1] untuk mengurusi kebutuhannya, jika dia ingin dia boleh menjualnya dan menikmati hasil penjualannya, dan jika dia ingin dia boleh membebaskannya karena semata-mata mengharapkan wajah Allah, dan ini merupakan amalan yang sangat dianjurkan, atau dia bisa membebaskannya sebagai kaffarah akibat membunuh, [2] atau kaffarah karena melakukan hubungan badan di siang hari pada bulan Ramadhan, [3] atau sebagai kaffarah zhihar, [4] atau sebagai kaffarah melanggar sumpah. [5]
Dan Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
أَيُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ أَعْتَقَ امْرَءًا مُسْلِمًا أَعْتَقَ اللهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ.
“Seorang muslim mana saja yang membebaskan budak muslim maka Allah akan membebaskannya dari neraka sesuai dengan anggota badan budak yang dia bebaskan.” [6]
Sumber Artikel: Majmu’ul Fataawa Ibnu Baz, XXII/343-344
Alih Bahasa: Abu Almass
Selasa, 6 Dzulhijjah 1435
—————————–
Catatan kaki:
[1] Budak wanita boleh digauli oleh pemiliknya layaknya istri, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ.
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap istri-istri mereka dan budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5-6)
[2] Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوْا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللهِ.
“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min yang lain kecuali karena tidak sengaja, dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tidak sengaja maka dia wajib memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga yang terbunuh, kecuali jika mereka menyedekahkannya. Jika yang terbunuh tersebut berasal dari kaum (kafir) yang terikat dengan perjanjian damai dengan kalian, maka hendaklah yang membunuh membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) serta memerdekakan budak yang beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak maka hendaklah dia berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai bentuk taubat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa’: 92)
[3] Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dia mengatakan: “Saya telah celaka wahai Rasulullah.” Beliau bertanya:
وَمَا أَهْلَكَكَ؟
“Apa yang membuatmu celaka?”
Dia menjawab: “Saya telah menggauli istri saya pada siang hari di bulan Ramadhan.” Beliau bertanya:
هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟
“Apakah engkau bisa mendapatkan budak untuk engkau merdekakan?”
Dia menjawab: “Tidak.” Beliau bertanya lagi:
فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟
“Apakah engkau sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?”
Dia menjawab: “Tidak.” Beliau bertanya lagi:
فَهَلْ تَجِدُ أَنْ تُطْعِمَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟
“Apakah engkau sanggup memberi makan enam puluh orang miskin?”
Dia menjawab: “Tidak.” Maka orang itu duduk dan didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sekeranjang korma, lalu beliau berkata:
خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ!
“Ambillah ini dan sedekahkanlah!”
Maka orang itu bertanya: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dari saya, demi Allah tidak ada diantara dua bukit di Madinah ini yang lebih fakir dari saya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga kelihatan gigi gerahamnya dan beliau mengatakan:
أَطعِمْهُ أَهْلَكَ!
“Kalau begitu berikan kepada keluargamu dengannya!” (Al-Bukhary no. 1936 dan di beberapa tempat, serta Muslim no. 1111 –pent)
[4] Zhihar adalah ucapan seorang suami kepada istrinya: “Engkau haram bagiku seperti ibuku.” Kaffarahnya dijelaskan oleh Allah Ta’ala:
وَالَّذِيْنَ يُظَاهِرُوْنَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُوْنَ بِهِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيْنًا.
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu berhubungan. Demikianlah yang dinasehatkan kepada kalian dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya untuk berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya berhubungan. Siapa yang tidak mampu maka dengan cara memberi makan enam puluh orang miskin.” (QS. Al-Mujadilah: 3-4)
[5] Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِيْ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِيْنَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ.
“Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang tidak diniatkan untuk bersumpah, tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. Maka kaffarah akibat melanggar sumpah itu adalah dengan memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kaffarahnya adalah dengan puasa selama tiga hari. Demikian itu adalah kaffarah bagi sumpah-sumpah kalian bila kalian melanggar sumpah.” (QS. Al-Maidah: 89)
[6] Shahih Al-Bukhary no. 6715, Shahih Muslim no. 1509, Sunan At-Tirmidzy no. 1541 dan Musnad Ahmad bin Hanbal, II/420.
Dalam riwayat-riwayat tersebut juga disebutkan:
حَتَّى فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.
“Sampai kemaluannya pun akan dibebaskan dari neraka dengan sebab dia membebaskan kemaluan budaknya.” (pent)