AIR HUJAN BERASAL DARI UAP AIR LAUT?
Tanya: Apakah benar teori yang mengatakan bahwa air hujan berasal dari uap air yang menguap dari air laut?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Alhamdulillah, masalah ini telah diterangkan oleh para ulama dengan dalil-dalilnya. Di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnul Qayyim, dan al-Imam Ibnu Baz Rahimahullah.
Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (24/262), “Hujan yang turun diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di angkasa dari awan. Dari awan itulah hujan tercurah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kalian minum. Kaliankah yang menurunkannya dari awan atau Kamikah yang menurunkannya?” (al-Waqi’ah: 68—69)
Begitu pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.” (an-Naba’: 14)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Maka engkau pun melihat hujan keluar dari celah-celahnya.” (an-Nur: 43)
Yakni dari celah-celah awan.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala pada beberapa ayat lainnya: ﭬ ﭭ , artinya dari atas. Kata as-sama’ adalah isim jenis [1] untuk sesuatu yang tinggi (di atas). Boleh jadi maknanya adalah untuk di atas ‘Arsy [2], atau bermakna benda-benda angkasa, atau atap rumah. Hal itu tergantung perangkat bahasa yang bergandeng dengan kata tersebut. Substansi (zat) asal air hujan terkadang diciptakan dari udara yang ada di angkasa dan terkadang diciptakan dari uap air yang menguap dari bumi. Inilah yang disebutkan oleh ulama muslimin dan ahli filsafat [3] pun sependapat dengan ini.”
Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (13/87), “Ulama menyebutkan (penciptaan air hujan) bahwasanya uap air yang menguap dari lautan bisa jadi terkumpul darinya air di awan dan Allah Subhanahu wa ta’ala mengubah rasanya yang asin menjadi tawar. Bisa jadi pula, Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan air di angkasa (awan), kemudian tercurah sebagai air hujan yang menyirami manusia dengan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Dialah yang Mahakuasa atas segala sesuatu sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia.” (Yasin: 82)
Makna ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Miftah Dar as-Sa’adah, dan disebutkan pula oleh selainnya. Telah tsabit (tetap) dalam hadits-hadits sahih bahwa air memancar keluar dari sela-sela jari-jemari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah dan di luar Madinah, lalu orang-orang minum dan berwudhu darinya. Hal itu termasuk dari ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah Subhanahu wa ta’ala yang besar, yang menunjukkan kemahasempurnaan kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala , ilmu, rahmat, dan karunia-Nya, serta kebenaran Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
FUNGSI PETIR MENURUT SYARIAT
Petir itu menurut syariat fungsinya apa? Melempar setan?
Yang berfungsi untuk melempar setan adalah bintang yang dijatuhkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala . Ini adalah salah satu fungsi diciptakannya bintang-bintang di langit, sebagaimana dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an.
Adapun fungsi petir dan kilat, sebagai jawabannya kami nukilkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (24/263—264), “Adapun petir dan kilat, terdapat keterangan pada hadits marfu’ (disandarkan sebagai sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam) yang diriwayatkan dalam kitab Sunan at-Tirmidzi dan lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ar-ra’d (petir). Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ، مَعَهُ مَخَارِيقُ مِنْ ناَرٍ يَسُوقُهَا بِهَا حَيْثُ شَاءَ اللهُ
“Malaikat dari malaikat-malaikat Allah yang ditugasi mengatur urusan awan di tangannya ada alat (cambuk) [4] dari api untuk mengarak awan menurut kehendak Allah.” [5]
Pada kitab Makarim al-Akhlaq karya al-Kharaithi, terdapat atsar dari Ali Radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّعْدِ، فَقَالَ: مَلَكٌ. وَسُئِلَ عَنِ الْبَرْقِ، فَقَالَ: مَخَارِيْقُ بِأَيْدِي الْمَلاَئِكَةِ. وَفِيْ رِوَايَةٍ عَنْهُ: مَخَارِيْقُ مِنْ حَدِيْدٍ بِيَدِهِ.
Beliau ditanya tentang petir, maka beliau menjawab, “Malaikat.” Beliau ditanya lagi tentang kilat, beliau menjawab, “Cambuk-cambuk di tangan para malaikat.” Pada riwayat lain beliau berkata, “Cambuk-cambuk dari besi di tangan malaikat.”
Telah diriwayatkan pula atsar-atsar yang semakna dengan ini.
Begitu pula telah diriwayatkan keterangan lain dari beberapa salaf yang tidak menyelisihi keterangan di atas, seperti ucapan sebagian mereka, “Sesungguhnya petir itu adalah (suara) benturan subtansi-subtansi (zat-zat) awan akibat adanya tekanan udara dalam awan.” Keterangan ini tidaklah kontradiksi dengan keterangan di atas karena ar-ra’d (petir/guruh) adalah mashdar dari رَعَدَ (ra’ada artinya telah berguruh), يَرْعُدُ (yar’udu artinya sedang/akan berguruh), رَعْدًا (ra’dan artinya guruh/petir).
Demikian pula الرَّاعِدُ (ar-ra’id artinya yang berguruh) dinamakan (رَعْدًا) ra’dan (petir/guruh), seperti halnya الْعَادِلُ (al-‘adil artinya yang adil) dinamakan عَدْلاًً (‘adlan artinya adil).
Gerakan yang ada mengharuskan keluarnya suara, sementara para malaikatlah yang menggerakkan (mengarak) awan. Mereka memindahkannya dari satu tempat ke tempat lainnya. Seluruh gerakan yang terjadi di alam atas dan alam bawah, yang mengaturnya adalah para malaikat. Suara manusia pun bersumber dari benturan anggota-angota tubuhnya, yaitu kedua bibirnya, lidahnya, gigi-giginya, anak lidah (anak tekak), dan tenggorokan. Bersama dengan itu, manusia disifati bahwa dia bertasbih kepada Rabbnya, memerintahkan kepada yang kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Jika begitu, petir adalah suara menghardik awan. [6]
Begitu pula halnya dengan kilat. Telah dikatakan, “(Kilat itu) kilauan air atau kilauan api.” Hal ini pun tidak menafikan (menampik) bahwa kilat itu adalah cambuk yang ada di tangan malaikat, karena api yang berkilau di tangan malaikat seperti cambuk, seperti penggiring hujan. Malaikat menggiring (mengarak) awan seperti halnya penunggang menggiring binatang tunggangannya.”
Catatan Kaki:
1. Istilah dalam ilmu nahwu.
2. Yaitu tempat Allah Subhanahu wa ta’ala berada.
3. Ibnu Taimiyah Rahimahullah menyebutkan pendapat ahli filsafat di sini bukan dalam rangka mengangkat kedudukan mereka, karena ilmu filsafat dan ilmu kalam tidak berasal dari Islam tetapi dari Yunani yang menyusup ke dalam tubuh kaum muslimin. Ilmu filsafat dan ilmu kalam tercela dan haram. Kata Abu Yusuf al-Qadhi, “Barang siapa menuntut agama (syariat) ini dengan ilmu kalam (filsafat), dia akan menjadi zindiq (munafik).”
4. Lihat penjelasan makna makhariq (alat semacam cambuk) dalam an-Nihayah fi Gharib al-Atsar karya Ibnul Atsir.
5. Setelah itu beliau ditanya lagi tentang suara petir yang terdengar itu. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
زَجْرُهُ بِالسَّحَابِ إِذَا زَجَرَهُ حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى حَيْثُ أُمِرَ
“Hardikannya terhadap awan jika ia menghardiknya (untuk mengaraknya) hingga berhenti di tempat yang diperintahkannya.”
Ini adalah hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu dengan riwayat at-Tirmidzi (pada Kitab Tafsir al-Qur’an, Bab Wa min Surah ar-Ra’d no. 3117) tentang kedatangan sekelompok Yahudi menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya tentang petir. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad, ath-Thabarani, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, dan lainnya dengan lafadz:
أَقْبَلَتْ يَهُودُ إِلَى النَّبِيِّ n فَقَالُوا: يَا أَبَا الْقَاسِمِ، نَسْأَلُكَ عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ أَجَبْتَنَا فِيْهَا اتَّبَعْنَاكَ وَصَدَّقْنَاكَ وَآمَنَّا بِكَ … فَأَخْبِرْنَا عَنِ الرَّعْدِ مَا هُوَ؟ قَالَ: الرَّعْدُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ (بِيَدَيْهِ -أَوْ فِيْ يَدِهِ- مِخْرَاقٌ مِنْ نَارٍ يَزْجُرُ بِهِ السَّحَابَ) وَالصَّوْتُ الَّذِيْ يُسْمَعُ مِنْهُ زَجْرُهُ السَّحَابَ إِذَا زَجَرَهُ حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى حَيْثُ أَمَرَهُ
Sekelompok orang Yahudi menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Abul Qasim, kami akan bertanya kepadamu tentang beberapa hal. Jika engkau menjawabnya, kami akan mengikutimu, membenarkanmu dan beriman kepadamu … Kabarkan kepada kami tentang petir, apakah itu?’”
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Petir adalah salah satu malaikat Allah yang ditugasi mengurus awan, (di kedua tangannya—atau di tangannya—ada cambuk dari api untuk menghardik awan), dan suara yang terdengar darinya adalah hardikannya terhadap awan jika ia menghardiknya hingga berhenti di tempat yang diperintahkannya.”
Yang dalam kurung adalah tambahan lafadz dari adh-Dhiya’ pada salah satu riwayatnya. Dinyatakan berderajat sahih oleh al-Albani. Lihat ash-Shahihah (no. 1872).
6. Ini sesuai dengan sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam pada kelanjutan hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu di atas.
————————————————-
Sumber: Majalah Asy Syariah