Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin melanjutkan penjelasannya, “Adapun yang kedua, yakni dalil dari hadits. Banyak riwayat dari Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan, maupun penetapan (taqrir).
1. Penjelasan dengan ucapan
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Allah di atas, seperti dalam hadits:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى . رواه مسلم
“Mahasuci Rabb-ku Yang Mahatinggi.” (HR. Muslim)
أَلَا تَأْمَنُونِي، وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ . متفق عليه
“Tidakkah kalian mempercayaiku sedangkan aku adalah kepercayaan Dia yang ada di atas langit. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
2. Penjelasan dengan perbuatan, misalnya ketika beliau berkhutbah pada haji wada’.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke langit seraya bersabda, “Ya Allah persaksikanlah.” (HR. Muslim)
3. Penetapan (taqrir).
Disebutkan dalam hadits Mu’awiyah bin al-Hakam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak wanita, “Di mana Allah?”. Dijawab, ” Di atas langit.” “Siapa aku?”, tanya beliau lagi. “Anda Rasulullah” jawabnya.
Dengan jawaban tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan keimanannya, “Merdekakan dia! karena dia seorang wanita yang beriman.” (HR. Muslim)
Seorang budak wanita yang tidak terpelajar pun mengetahui bahwa Allah di atas langit. Namun, orang sesat mengingkari keberadaan Allah di atas langit, mereka mengatakan, “Dia tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri.” Atau sebaliknya, mereka mengatakan bahwa Allah di seluruh tempat.
(diringkas dari Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah hlm. 251-252)