AL-QUR’AN, ANTARA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN
| | |
Sungguh, kalimat tulisan ini hanyalah sebuah renungan dan jeritan hati yang sudah mulai usang bak secarik kain yang lapuk dan hampir tak lagi dapat digunakan.
Betapa petaka dan musibah meronanya hati nan membatu tak lagi dapat dihindarkan.
Betapa banyaknya waktu ini terbuang dan terlewatkan tak bersisa tanpa ada lantunan kalam ilahi.
Berapa banyak diantara kita yang meninggalkan membacanya? Dan berapa banyak diantara kita yang tak mendengarnya? Dan berapa banyak diantara kita yang tak mentadaburinya? Dan berapa banyak diantara kita yang tak mengamalkannya? Dan berapa banyak diantara kita yang tak menjadikannya penawar jiwa? Dan berapa banyak diantara kita yang tak menjadikannya sebagai hakim yang berkuasa?
Sungguh ironis hal itu terjadi diantara kita, di sekitar kita, di dalam ruang rumah kita, di dalam kendaraan dan perjalanan kita.
Hari demi hari berjalan, pekan demi pekan pun berlalu, bulan demi bulan pun pergi namun Al-Qur’an pun telah diabaikan.
Alloh Ta’ala berfirman:
(وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا) [سورة الفرقان : 30]
Berkatalah Rosul: “Wahai Robb ku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang tidak diacuhkan”. [Qs. Al-Furqon: 30]
Berkata imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh:
“Pemboikotan terhadap Al-Qur’an ada beberapa macam:
- Mengacuhkannya dari mendengarkannya, beriman kepadanya, memberikan perhatian kepadanya.
- Mengacuhkannya dari beramal dengannya, berdiri di sisi penghalalannya dan pengharamannya, sekalipun dia membacanya dan beriman kepadanya.
- Mengacuhkannya dari berhukum dengannya dan menjadikannya sebagai hakim di dalam perkara pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya, dan berkeyakinan bahwa (berhukum dengannya) tidak memberikan keyakinan, dan dalil-dalil lafazhnya tidak menghasilkan ilmu.
- Mengacuhkannya dari mempelajari dan memahaminya, serta mengenal apa yang diinginkan oleh Yang berbicara dengannya.
- Mengacuhkannya dari menjadikannya sebagai penawar, tidak berobat dengannya dalam segala penyakit dan permasalahan hati, sehingga dia mencari penawar dari selainnya, dan meninggalkan berobat dengannya.
Maka semua ini masuk ke dalam firman-Nya:
(وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا) [سورة الفرقان : 30]
Sekalipun sebagaian sikap acuhnya lebih ringan dari sebagian lainnya. ” [Al-Fawaid, ibnul Qoyyim hal. 82. Cet. Darul kutub al-‘Ilmiyyah].
Sungguh Alloh Ta’ala telah mengancam orang-orang yang memiliki hati yang keras yang tunduk ketika mendengar lantunan kalam-Nya dan membaca kitab suci-Nya, namun tidak dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya, dan tidak merasa tentram dengan kehadirannya, bahkan dia berpaling dari Robbnya, menoleh kepada selainnya, dengan ancaman yang keras lagi dahsyat, maka Alloh berfirman:
(ۚ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ) [سورة الزمر : 22]
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Alloh. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. [Qs. Az-Zumar: 22]
Dan sungguh telah shahih dari Malik bin Dinar rohimahulloh bahwa beliau berkata:
«ما ضُرب عبدٌ بعقوبة أعظم من قسوة قلبه» [رواه عبد الله بن أحمد في زوائد كتاب “الزهد” (١٨٩٥) وأبو نعيم في “الحلية” (٦/٢٨٧)]
“Tidaklah seorang hamba ditimpa dengan suatu petaka yang lebih besar dari kerasnya hati”. [Diriwayatkan oleh Abdulloh bin Ahmad, dan Abu Nu’aim]
Dan berkata Hudzifah al-Mar’asyi rohimahulloh:
«ما أُصيب أحدٌ بمصيبة أعظم من قساوة قلبه» [رواه أبو نعيم في الحلية (٨/٢٦٩)]
“Tidaklah seseorang ditimpa dengan suatu musibah yang lebih besar dari kerasnya hati”. [Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam “al-al-Hilyah”]
اللهم إنا نعوذ بك من قلب لا يخشع، وعين لا تدمع، وإليك وحدك نشكُو قسوة قلــوبنا.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
Ya Alloh, kami berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak memiliki rasa khusyu’, dari mata yang tak pernah meneteskan air penyesalan, dan hanya kepada-Mu semata kami mengadu akan kerasnya hati-h ati kami.
Sholat dan salam semoga terlimpahkan bagi nabi kita Muhammad, bagi keluarga dan para sahabatnya.
[Sumber: Al-Qur’an bainal iqbal wal hajr, Syaikh Abdul Qodir bin Muhammad al-Junaid]
Muhammad Sholehuddin Abu Abduh,
Palembang
Jumat, 16 Rojab 1435 H.