AKIBAT MENINGGALKAN AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari
Di awal pembahasan ini telah dijelaskan tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak sedikit di dalam Al-Qur’an, sanjungan dan pujian kepada yang menunaikannya dengan baik, seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (an-Nisa: 114)
Kemudian, apa akibat yang akan diperoleh oleh orang yang mengabaikan dan meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar?
Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam secara detail memberitahukan kepada kita sebagai berikut:
Pertama: Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Maidah: 63)
Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini menegaskan bahwa orang yang tidak mencegah kemungkaran sama halnya dengan pelaku kemungkaran itu sendiri. Ayat ini juga sekaligus sebagai celaan bagi para ulama yang tidak beramar ma’ruf nahi mungkar.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengutip riwayat dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini. Beliau (Ibnu Abbas) berkata, “Tidak ada dalam Al-Qur’an celaan sekeras (celaan) yang ada di ayat ini.” (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim)
Kedua: Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)
Inilah akibat tidak saling mengingatkan dan mencegah kemungkaran yang dilakukan. Allah Subhanahu wa ta’ala mencela mereka, agar (siapa pun) berhati-hati dari melakukan hal yang sama. (lihat Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim, Ibnu Katsir)
Ibnu ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Ijma’ sudah ditetapkan bahwa mencegah kemungkaran adalah wajib bagi yang mampu dan aman dari bahaya yang mengancam diri serta kaum muslimin secara umum. Namun, jika dikhawatirkan ada bahaya (mudarat), mengingkarinya adalah dengan hati dan menjauh dari kemungkaran tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Ayat di atas juga terkait dengan orang yang mendiamkan kemungkaran padahal mampu dan berwenang mencegahnya. (lihat Tafsir Taisir Karimirrahman, as-Sa’di)
Ketiga: Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat serta Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (al-‘Araf: 165)
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Subhanahu wa ta’ala telah memastikan akan selamatnya orang-orang yang mengingkari kemungkaran serta binasanya orang-orang yang zalim dan yang mendiamkannya, karena balasan yang akan diperoleh itu akan setimpal dengan perbuatan yang dilakukan.” (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim)
Keempat: Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.” (Ali Imran: 21)
Ayat ini, menurut al-Imam al-Qurthubi t, menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar juga wajib atas umat terdahulu. Beliau juga mengatakan, “Seperti yang telah disinggung oleh Ibnu Abdil Bar, kemungkaran itu wajib dicegah oleh siapa pun yang mampu.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Di dalam Shahih al-Bukhari dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah Subhanahu wa ta’ala dan yang diam terhadapnya seperti sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal, yang sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas dan sebagian lagi di bagian bawah. Jika mereka (yang di bawah) mencari air untuk minum mereka, mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas. Mereka pun berkata, ‘Seandainya boleh, kami lubangi saja perahu ini untuk mendapatkan bagian kami, sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami.’ Jika orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu, mereka akan binasa semuanya. Namun, jika mereka mencegah dengan tangan mereka, maka mereka akan selamat semuanya.” (HR. al-Bukhari no 2313, 2489, at-Tirmidzi no. 2099, Ahmad no. 17638, 17653 )
Hadits yang mulia ini memberikan keterangan yang penting bahwa kaum muslimin berserikat dalam urusan agama yang akan menyelamatkan mereka di akhirat. Ini persis seperti berserikatnya manusia pada umumnya dalam manfaat berlayar menggunakan sebuah kapal untuk keselamatannya di dunia.
Apabila semua orang yang berserikat menggunakan kendaraannya berupa kapal tadi mendiamkan salah seorang mereka yang akan merusak keseimbangan perahu, hal itu akan menjadi penyebab celakanya mereka semua.
Demikian juga, diamnya kaum muslimin terhadap orang yang melakukan kefasikan dan tidak mengingkari kemungkarannya akan menjadi sebab celakanya mereka semua di akhirat bahkan juga di dunia.
Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Jika tidak, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya, namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. at-Tirmidzi no. 2095)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada suatu umat sebelumnya melainkan dia memiliki pembela dan sahabat yang memegang teguh sunnah-sunnah dan perintah-perintahnya. Kemudian datanglah setelah mereka suatu kaum yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barang siapa yang berjihad dengan tangan melawan mereka, maka dia seorang mukmin. Barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisan, maka dia seorang mukmin. Barang siapa yang berjihad dengan hati melawan mereka, maka dia seorang mukmin, dan setelah itu tidak ada keimanan (sebesar) biji sawi pun.” (HR. Muslim no. 71 bab “Bayan Kauni Nahyi ‘anil Mungkar minal Iman”)
Wal ’ilmu indallah.
————————————————-
Sumber: Majalah Asy Syariah