Hitam putihnya sebuah organisasi tentu tak bisa dilepaskan dari orang-orang yang membesarkannya. Pasalnya, segala pemikiran tokoh-tokohnya merupakan cermin yang menunjukkan wajah organisasi.
Sosok Hasan Al-Banna dengan berbagai pemikiran dan manhajnya, benar-benar diwarisi tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin saat ini. Sehingga kita dapati antara mereka dengan Hasan Al-Banna setali tiga uang alias sama saja. Gerakan Ikhwanul Muslimin, di manapun ia berada takkan jauh dari induknya. Berbagai ciri khas yang ada sedikit banyak melekat pada mereka, walaupun mungkin kadarnya berbeda. Sebagai bukti, akan kami sampai-kan di sini beberapa ucapan tokoh-tokoh mereka di berbagai negara, atau ucapan orang-orang yang sejalan dengan mereka.
Umar At-Tilmisani
Dia adalah pimpinan umum ketiga dari gerakan Ikhwanul Muslimin, setelah Hasan Al-Banna. Ia telah membuka lebar-lebar pintu menuju kepada kesyirikan dengan mengatakan:
“Sebagian mereka mengatakan, bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam memintakan ampun untuk orang-orang, bila mereka mendatangi beliau n ketika masih hidup saja. Sementara bagi saya, tidak jelas mengapa dikaitkannya ayat [1] dengan permintaan ampun tersebut saat Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam hidup saja. Sementara (menurut saya) dalam ayat tersebut tidak ada pembatasan semacam itu… Oleh karenanya saya mendapati diri saya cenderung untuk mengambil pendapat yang mengatakan bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam memintakan ampun untuk siapa saja yang datang kepada beliau, menuju ke hadapannya baik semasa hidup beliau atau setelah kematiannya. Sehingga, tidak ada alasan untuk bersikap keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, berlindung kepada mereka di kubur mereka yang suci, dan berdoa kepadanya saat kesempitan. Dan karamah para wali adalah termasuk dalil-dalil atas mukjizat para Nabi.” (Buku Syahidul Mihrab, karya Umar At-Tilmisani, hal. 225-226)
Anda lihat bagaimana ia membuka peluang untuk mereka yang ingin berdoa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (bukan mendoakan Nabi). Lebih parah dari itu, bahkan yang berdoa kepada para wali atau bertawassul dengan kubur mereka. Sementara pembaca tentu tahu bahwa berdoa adalah ibadah besar yang tidak pantas diperuntukkan kecuali hanya untuk Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menyembah selain Allah, yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang dzalim.” (Yunus: 106)
Tapi justru At-Tilmisani mengatakan: “Tidak ada alasan untuk bersikap keras dalam mengingkari orang yang berlindung kepada para wali di kuburan mereka.”
Musthafa As-Siba’i
Dia adalah Pimpinan Umum Ikhwanul Muslimin di Syria. Ia menulis sebuah qashidah (bait-bait syair) di Raudhah, dekat mimbar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Masjid Nabawi setelah Ashar pada tanggal 10 Muharram 1284 H, lalu membacanya di depan kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum dan setelah haji:
Wahai pemandu orang yang berjalan menuju Ka’bah dan tanah Al-Haram
Dan menuju Thayyibah (Madinah) tuk mencari pimpinan seluruh umat
Jika upayamu untuk menuju Al-Mukhtar (Nabi) hanya sunnah
Maka upaya orang semacamku adalah wajib, menurut orang yang memiliki keinginan tinggi
Wahai tuanku, wahai kekasih Allah, aku datang
Ke hadapan pintumu tuk mengadukan rasa sakit dari penyakitku
Wahai tuanku, terus menerus penyakit itu berada di tubuhku
Karena begitu sakit aku tak pernah lalai dan tak pernah tidur
…(diambil dari majalah Hadharatul Islam, edisi khusus bertepatan dengan kematian Musthafa As-Siba’i hal. 562-563)
Pembaca, anda lihat bagaimana ia mengadukan sakitnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat. Inikah tauhid? Bahkan inilah syirik akbar yang ditentang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengapa tidak ia adukan kepada Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan minta kesembuhan dari-Nya? Sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara`: 80)
Dalam bait-bait syair ini juga banyak terdapat penyelewengan. (lihat Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal hal. 172)
Hasan At-Turabi
Dia adalah pimpinan Ikhwanul Muslimin di Sudan. Yang bersangkutan juga meremehkan masalah syirik. Dia menga-takan kepada jamaah Ansharus Sunnah di Sudan: “Sesungguhnya mereka memper-hatikan masalah aqidah dan syirik terhadap kuburan, tapi mereka tidak memperhatikan syirik dalam hal polilik. Hendaknya kita biarkan para pemuja kuburan itu thawaf di sekitar kuburan mereka sampai kita mencapai kubah parlemen.” (Majalah Al-Istiqamah, Rabi’ul Awwal 1408 H, hal. 26)
Pembaca, sepanjang hayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau memerangi para pemuja kuburan baik dengan lisan dan tangan beliau yang mulia, lalu At-Turabi mengatakan demikian? Apakah kamu pengikut Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, wahai Turabi?
Thawaf itu hanya di Ka’bah wahai Turabi. Demikianlah menurut kitab Rabbi, firman-Nya:
“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyem-purnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (Al-Hajj: 29)
Hasan At-Turabi juga merendah-kan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mengatakan tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Dia ini adalah sosok yang tinggi, tapi jangan kalian katakan bahwa beliau itu ma’shum, tidak melakukan kesalahan.” (dinukil dari Ar-Raddul Qawim, hal. 8)
Wahai Turabi, umat telah sepakat tentang kema’shuman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai-mana kata Adz-Dzahabi: “Sesungguhnya mereka (jumhur/ mayoritas ulama) berse-pakat bahwa para nabi ma’shum dalam menyampaikan risalah, dan taat kepada mereka adalah wajib –kecuali menurut Khawarij–. Dan jumhur juga berpandangan bahwa bisa jadi mereka jatuh dalam dosa kecil, namun mereka tidak dibiarkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada dosa tersebut.” (Al-Muntaqa min Mizanil I’tidal, hal. 165)
Barangkali karena keyakinannya di atas, ia mengatakan dalam ceramahnya di hadapan para mahasiswi di Diyum timur (12/8/1982) tentang hadits lalat yang masuk ke air [2]: “Ini urusan kedokteran. Dalam hal ini, yang diambil adalah ucapan dokter kafir, dan ucapan Rasul tidak diambil karena ini bukan bidangnya.” (Ar-Raddul Qawim, hal. 83)
At-Turabi juga merendahkan para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mengatakan: “Semua shahabat itu adil? Kenapa?” (Ar-Raddul Qawim, hal. 84)
Padahal Ahlus Sunnah meyakini keadilan yakni keshalihan mereka dengan persaksian Allah Subhanahu wa ta’ala. Betapa banyak Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam ayat Al-Qur‘an:
“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap Allah.”
Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) mengatakan: “…Keadilan/ keshalihan para shahabat telah pasti dan telah dike-tahui, yaitu dengan persaksian Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap keadilan/ keshalihan mereka, berita-Nya tentang kesucian mereka, serta pilihan Allah terhadap mereka, dalam nash Al-Qur`an.” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal. 46)
At-Turabi menjunjung tinggi bendera persatuan antar agama. Ia mengatakan: “Sesungguhnya persatuan kebangsaan merupakan salah satu cita-cita kita dan kami dalam partai Islam. Dengan partai tersebut akan menuju kepada Islam atas dasar prinsip-prinsip agama Ibrahim, yang mengumpulkan kami dengan orang-orang Kristen, karena adanya peninggalan sejarah keagamaan yang sama…” (Majalah Al-Mujtama’ Kuwait, edisi 763 tanggal 8/10/1985 M)
Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Abdullah Azzam
Dia menganggap remeh masalah syirik yaitu peribadatan kepada berhala atau benda-benda yang dikeramatkan. Penulis buku Al-Jama’atul Umm mengisahkan: “Sebagai contoh atas masalah ini, apa yang dinukilkan oleh Dr. Basyir atau Barman dari Asy-Syaikh Abdullah Azzam –rahimahullah– ketika dia berdiri di kemah Hai`ah Kibar Ulama (Badan Ulama Besar Saudi Arabia) di musim haji dan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya masalah meme-rangi syirik yang diserukan oleh ulama terdahulu semisal Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam hal peribadatan kepada patung-patung dan mengusap-usap kuburan telah selesai. Yang menggantikannya adalah syirik dalam bentuk lain, yaitu syirik dalam hal berhukum dengan syariat manusia dan meninggalkan syariat Allah.” (dinukil dari buku Asy-Syaikh Abdullah Azzam, Al-’Alim wal Mujahid, hal. 34)
Bagaimana dikatakan telah selesai? Tidakkah engkau melihat syirik semacam itu merekah di negeri pujaanmu, Afghanistan dan sekitarnya? Tolong, jangan menutup mata.
Sayyid Quthub
Demikian pula dengan Sayyid Quthub, dia katakan: “Sesungguhnya peribadatan kepada berhala, yang Nabi Ibrahim berdoa kepada Rabb-Nya untuk menjauhkan dirinya dan anak-anaknya dari perbuatan tersebut, tidak hanya terwujud dalam gambaran sederhana yang dulu dilakukan oleh orang-orang Arab saat Jahiliyyah mereka, atau yang dilakukan oleh banyak orang-orang animisme pada benda-benda yang berwujud batu atau pohon… Sesung-guhnya gambaran sederhana ini semuanya tidak mencakup, menghabiskan bentuk syirik kepada Allah…” (Fi Zhilalil Qur`an, 4/2114)
Memang syirik bukan hanya dalam bentuk ibadah kepada berhala, tapi mengapa engkau sebut itu ‘sederhana’ (sadzaj), padahal itu termasuk bentuk syirik terbesar di umat ini, baik dulu maupun sekarang? Yang menguatkan bahwa ia meremehkan syirik dalam hal ini adalah bahwa dia banyak membesar-besarkan syirik dalam hal hukum dan salah dalam menafsirkan Laa ilaha illallah.
Sayyid Quthub juga mencela Nabi Musa ‘alaihissalam di mana ia mengatakan: “…Anggaplah Musa, sesungguhnya dia merupakan contoh seorang tokoh yang emosional dan temperamen.” (dari bukunya yang berjudul At-Tashwirul Fanni, hal. 162-163)
Kaum muslimin tentu tahu kedudukan para nabi yang begitu tinggi. Kehormatannya tak boleh disentuh, bahkan harus dihargai. Terlebih, secara khusus Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” (Al-Ahzab: 69)
Hal yang senada dengan ucapan Sayyid Quthub diucapkan pula oleh Abul A’la Al-Maududi. Dia adalah orang yang sejalan dengan Ikhwanul Muslimin dalam dakwahnya. Dia mengatakan: “Telah lewat 1300 tahun, dan Dajjal belum juga keluar. Ini menunjukkan bahwa perkiraan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak benar.” (Dinukil dari buku Ar-Rasa`il wal Masa`il, hal. 57)
Semoga Allah melindungi kita dari ucapan-ucapan semacam itu.
Sayyid Quthub juga menikam para shahabat. Ia mengatakan: “Sesungguhnya Mu’awiyah dan ‘Amr temannya, keduanya tidaklah mengalahkan ‘Ali karena keduanya lebih mengerti sesuatu yang dirahasiakan jiwa daripada ‘Ali atau karena lebih paham atas tindakan yang bermanfaat pada keadaan yang tepat. Akan tetapi karena keduanya bebas menggunakan segala senjata, sementara ‘Ali terikat dengan akhlaknya dalam hal memilih perangkat pertempuran. Dan ketika Mu’awiyah dan temannya cenderung kepada kedustaan, kecurangan, penipuan, kemunafikan, suapan, dan menjual janji (khianat), ‘Ali tidak bisa hanyut kepada tingkatan yang sangat rendah ini. Maka tidak heran jika keduanya berhasil sementara ‘Ali gagal, dan sungguh itu adalah kegagalan yang lebih mulia dari segala keberhasilan.” (dari bukunya Kutub wa Syakhshiyyat, hal. 242)
Pembaca, sangat tidak pantas ia ucapkan demikian kepada kedua shahabat tersebut. Dan sangat tidak pantas ia ikut campur dalam urusan mereka.
Ketahuilah bahwa aqidah Ahlus Sunnah tentang para shahabat adalah seperti kata Ibnu Taimiyyah t dalam Al-Wasithiyyah:
“Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bersihnya qalbu dan lisan mereka terhadap para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala sifatkan dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)
Senada dengan ucapan Sayyid adalah ucapan:
Muhammad Al-Ghazali (Mesir): “Sesungguhnya Abu Dzar adalah seorang sosialis, dan ia mengambil paham sosialisme ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (dari buku Al-Islam Al-Muftara ‘alaihi, hal. 103)
Sayyid Quthub juga beranggapan bahwa masyarakat muslimin telah murtad, ia katakan: “…Sesungguhnya manusia telah kembali kepada jahiliyyah dan murtad dari la ilaha illallah. Sehingga mereka memberikan kekhususan ketuhanan kepada manusia, dan (mereka) belum kembali mentauhidkan Allah Subhanahu wa ta’ala dan memurnikan loyalitas kepada-Nya… Manusia secara keseluruhan, termasuk di dalamnya adalah mereka yang mengulang-ulang di atas tempat adzan di belahan bumi timur maupun barat kalimat laa ilaha illallah tanpa ada makna dan realita… Mereka itu lebih berat dosa dan adzabnya di hari kiamat, karena mereka murtad menuju peribadatan kepada para hamba setelah jelas baginya petunjuk, dan setelah sebelumnya mereka dalam agama Allah Subhanahu wa ta’ala. (Fi Zhilalil Qur`an, 2/1057 dinukil dari Adhwa` Islamiyyah, hal. 92)
Demikian ia memvonis murtad masyarakat muslim di belahan timur bumi maupun barat, hanya karena anggapannya bahwa mereka tidak berhu-kum dengan hukum Allah Subhanahu wa ta’ala. Sungguh batil apa yang ia ucapkan. Ucapannya itu timbul karena dia melenceng dari aqidah Ahlus Sunnah dalam masalah ini.
Sa’id Hawwa
Sa’id Hawwa adalah salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin. Ia begitu memuji aliran sufi, tarekat Rifa’iyyah dan begitu terheran-heran dengan akrobat syaithaniyyah yang ada pada mereka. Ia mengatakan: “Suatu ketika, seorang Nashrani memberitakan kepadaku tentang sebuah kejadian yang dialaminya sendiri. Dan itu sebuah kejadian yang masyhur dan telah sangat diketahui. Allah Subhanahu wa ta’ala pertemukan aku dengannya setelah berita tentang kejadian itu sampai kepadaku melalui jalan lain. Ia memberitahuku bahwa ia menghadiri sebuah majelis dzikir. Salah satu peserta dzikir itu menusukkan pedang kepada yang lain di punggungnya sampai pedang tersebut tembus, dan sampai ia (yang ditusuk) memegangnya lalu pedang itu ditarik lagi. Tapi tidak berbekas sama sekali dan tidak mencelakakannya. Sungguh hal ini yang terjadi pada para pengikut tarekat (Rifa’iyyah). Dan terus melekatnya hal itu pada mereka merupakan keutamaan Allah Subhanahu wa ta’ala yang terbesar atas umat ini…” (dari bukunya Tarbiyatuna Ar-Ruhiyyah, hal. 218]
Dia katakan juga: “Dan saya tulis buku saya Tarbiyatuna Ar-Ruhiyyah dengan tujuan menjelaskan salah satu dari dua macam tema fiqih yang besar dan yang terbesar, yaitu tema tasawwuf yang tertata. Supaya saya bisa meletakkan perkara-perkara pada tempatnya dalam masalah hakekat sufi, yang hal itu merupakan salah satu ciri pokok dakwah Al-Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah.” (dari buku Jaulaat, Al-Jaulatul Ula, hal. 17)
Duhai… tema sufi dan kisah-kisah sufi semacam kisah di atas yang amat bertentangan dengan aqidah yang shahih dianggap ‘fiqih yang besar dan yang terbesar’!!
Ia pun sangat memuji para ahli bid’ah, ia mengatakan: “Sesungguhnya kaum muslimin di sela-sela zaman memiliki para imam dalam hal aqidah, fiqih, tasaw-wuf dan jalan kepada Allah. Maka imam mereka dalam hal aqidah adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.” (dari buku Jaulaat fil Fiqhaini Al-Kabir Wal Akbar hal. 22)
Tahukan pembaca siapa kedua tokoh yang dia anggap sebagai imam dalam hal aqidah? Keduanya adalah pencetus aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang bertolak belakang dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tapi Abu Hasan akhirnya bertaubat dan kembali kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ucapan senada dengan ucapan Sa’id Hawwa diungkapkan Abdul Fattah Abu Ghuddah yang mengatakan tentang Zahid Al-Kautsari: “Ini sebagai hadiah kepada arwah ustadz para ahli tahqiq (peneliti), Al-Hujjah, Al-Muhaddits (Ahli Hadits), Ahli ushul fiqh, peneliti, ahli sejarah, Al-Imam Zahid Al-Kautsari.” (Ar-Raf’u wat Takmil, hal. 68)
Tahukah pembaca siapakah Zahid Al-Kautsari itu? Dia adalah pembawa bendera aliran Jahmiyyah di masa belakangan ini, dan sangat membenci Ahlus Sunnah wal Jamaah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Dia adalah salah satu hasil didikan Hasan Al-Banna dan sangat terkesan dengan sosok Al-Banna. Sehingga tak heran bila ia mengajak untuk mengubur permu-suhan dengan Yahudi dan Nashrani. Ia mengatakan: “Di antara manusia ada yang bersandar kepada sebagian nash dari ayat Al-Qur`an dan hadits Nabi, ia mema-haminya dengan pemahaman yang dangkal, terburu-buru berdalil dengan-nya untuk berfanatik terhadap Islam dalam menghadapi musuhnya dari kalangan Yahudi dan Nashrani dan selain mereka. Contoh-contoh nyata dari nash dan ayat yang melarang untuk berloyal kepada selain mukminin di antaranya… (lalu ia sebut sebagiannya, di antaranya:)
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadalah: 22)
Ternyata itu bukan hanya ucapan, bahkan ia buktikan dengan kehadirannya dalam muktamar pendekatan antar agama. Ungkapnya: “Pada tahun ini, bulan Mei yang lalu saya menghadiri sebuah muktamar di Moskow. Muktamar itu membahas tentang Islam dan bagaimana saling memahami antar agama dan masyarakat-masyarakat lain. Yang mengikutinya adalah orang-orang Nashrani dan Ya-hudi serta agama-agama selain me-reka. Dan di akhir musim panas, saya menghadiri pesta penghormatan untuk pertemuan orang-orang Kristen dengan sebagian muslimin, yang diprakarsai oleh Majelis Gereja untuk Timur Tengah.” (Koran Asy-Syarqul Ausath, edisi 2789, Jumada Ats-Tsaniyah 1416, bertepatan dengan 1995 M)
Buah dari pernyataan dan perbuatannya itu, ia menyatakan siap untuk mengadakan pendekatan antar agama. Yang disayangkan, ia memposisikan dirinya sebagai juru bicara muslimin. Ia pun mencari titik temu antar agama dan mengatakan tidak ada jihad dalam Islam kecuali jihad untuk membela diri. Bahkan menyatakan peperangan dengan Yahudi bukan karena agama tapi karena tanah, katanya: “Kami tidak memerangi Yahudi karena aqidah. Kami hanyalah memerangi mereka karena tanah. Kami tidak memerangi orang-orang kafir karena mereka kafir, tapi karena mereka merampas tanah dan rumah kami serta mengambilnya tanpa hak.” (Ar-Rayah, edisi 4696) [kutipan-kutipan ucapannya ada dalam dalam buku Raf’ul Litsam dan lainnya]
Demikianlah kesesatan demi kesesatan saling melengkapi, na’udzubillah min dzalik.
Iapun berpandangan bahwa antara demokrasi dan syura adalah serupa (Koran Asy-Syarq, edisi 2719), padahal keduanya seperti timur dan barat, tidak akan pernah ketemu.
Mengadakan Pendekatan antara Sunnah dengan Syi’ah
Asy-Syatti dari Kuwait mengatakan: “Syi’ah Imamiyyah termasuk umat Mu-hammad. Sedangkan Syah (Penguasa Iran waktu itu, red.) mengangkat bendera Maju-si, sehingga tidak termasuk kebenaran bila kita mendukung bendera Majusi dan meninggalkan bendera umat Muhammad.” (Majalah Al-Mujtama’, edisi 455)
Al-Ghanusyi menukilkan ucapan Al-Banna: “Sesungguhnya kami ingin berhu-kum dengan Islam sebagaimana diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada perbedaan antara Sunnah dengan Syi’ah, karena madzhab-madzhab itu belum ada di jaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Al-Harakah Islamiyyah wat Tahdits hal. 21)
Demikianlah keadaan aqidah para tokoh gerakan ini. Pantaskah mereka ditokohkan, sementara berbagai macam kesesatan ada pada mereka?!!
Sumber Bacaan:
# Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi
# Haqiqatud Da’wah Ilallah, karya Sa’d Al-Hushayyin
# Nadharat fi Manhaj Al-Ikhwanil Muslimin, karya A. Salam
# dll
Sumber : Majalah Asy Syariah
—————————————————–
Catatan Kaki:
1 Ayat yang dimaksud adalah surat An-Nisa ayat 64:
“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
As-Sa’di menyebutkan dalam Tafsir-nya, hal. 185 bahwa ini berlaku ketika hidupnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
2 Yaitu hadits:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seekor lalat masuk ke minuman salah seorang di antara kalian maka hendaknya ia mencelupkannya lalu membuangnya, karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayapnya yang lain ada obatnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Bad’ul Khalq)
Sumber : Majalah Asy Syariah