Petunjuk Bagi Orang-orang Yang Bingung

Petunjuk Bagi Orang-orang Yang BingungPETUNJUK BAGI ORANG-ORANG YANG BINGUNG [Terhadap Ahlul Kitab Dan Orang-orang Yang Sesat]

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Hafizhahullah

Shahabat yang mulia bernama Jabir bin Abdillah menuturkan:

“Umar ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu datang kepada Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab. Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihissalam masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.”

Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no. 1589.

Dalam riwayat Ad-Darimi hadits di atas datang dengan lafadz:

‘Umar ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam dengan membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata: “Ya Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat.” Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam diam, lalu mulailah ‘Umar membacanya dalam keadaan wajah beliau Shallallahu `alaihi wa sallam berubah. Melihat hal itu Abu Bakar ber-kata kepada ‘Umar: “Betapa ibumu kehilang-an kamu, tidakkah engkau melihat perubah-an pada wajah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam?” Umar melihat wajah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam (dan ia menangkap perubahan tersebut), maka ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Kami ridha Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai Nabi kami.” Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam berkata: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihissalam muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Seandainya Musa masih hidup dan ia menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.”

Sikap Seorang Muslim terhadap Berita-berita Ahlul Kitab

Berita-berita yang datang dari ahlul kitab, Yahudi ataupun Nasrani, yang tidak ada keterangannya dalam syariat kita, tidak boleh kita pastikan kebenarannya kemudian kita benarkan. Atau memastikan kedusta-annya kemudian kita pun mendustakannya. Karena berita itu bisa jadi benar atau haq dan bisa jadi dusta atau batil. Jika kita benarkan dikhawatirkan itu adalah batil dan bila kita dustakan khawatirnya itu adalah haq. Sehingga dua keadaan ini bisa men-jatuhkan kita ke dalam dosa.

Shahabat Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam yang mulia Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:

Adalah ahlul kitab mereka membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya, dan katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan pada kami….” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4485)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata ketika menjelaskan sabda Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam (Janganlah   kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya): “Yakni apabila berita yang mereka kabarkan itu masih mengandung ihtimal (kemungkinan benar dan kemungkinan salah). Sehingga jangan sampai perkaranya benar namun kalian mendustakannya atau perkaranya dusta namun kalian membenarkannya, dan kalian pun terjatuh dalam dosa. Dan tidak ada larangan mendustakan mereka dalam perkara yang memang syariat kita menyelisihinya dan tidak pula ada larangan untuk membenarkan mereka dalam perkara yang disepakati syariat kita, demikian penjelasan Al-Imam Asy-Syafi’i.” (Fathul Bari 8/214)

Bersamaan dengan itu kita dilarang bertanya tentang perkara agama kepada ahlul kitab. Karena itulah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata:

Bagaimana kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang sesuatu sementara kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam adalah kitab paling akhir (turunnya dari sisi Allah). Kalian membacanya dalam keadaan murni tidak bercampur (dengan kepalsuan). Allah telah menyampaikan (keterangan) kepada kalian bahwa ahlul kitab itu telah mengganti dan mengubah-ubah kitabullah. Mereka menulis kitab itu dengan tangan-tangan mereka (mereka karang sendiri) kemudian mereka mengatakan: “Ini (apa yang mereka tulis itu) diturunkan dari sisi Allah.” Mereka lakukan perbuatan itu untuk memperoleh keuntungan yang sedikit. Tidakkah ilmu yang datang kepada kalian mencegah kalian dari bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian. (HR. Al-Bukhari no. 7363, kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam: La Tas`alu Ahlal Kitab ‘an Syai`in)

Dari ucapan beliau Radhiyallahu ‘anhu:  , seakan-akan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu hendak menyatakan: “Mereka ahlul kitab tidak pernah menanyakan tentang sesuatu pun kepada kalian, sementara mereka tahu kitab kalian tidak ada tahrif (penyimpangan/ perubahan) di dalamnya. Mengapa kalian justru bertanya kepada mereka sedangkan kalian benar-benar mengetahui bahwa kitab mereka telah diubah dari aslinya?” (Fathul Bari 13/621).

Abdurrazzaq Ash-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan dalam Mushannafnya [3] (no. 19212) dari jalan Huraits bin Zhuhair, ia berkata: “Abdullah (yakni Ibnu Mas‘ud) berkata Radhiyallahu ‘anhu:

“Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepada ahlul kitab karena sesungguhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk/ hidayah kepada kalian. Mereka sendiri telah menyesatkan diri mereka. (Bila kalian bertanya kepada mereka kemudian mereka memberitakan apa yang kalian tanyakan, dikhawatirkan) kalian akan men-dustakan yang haq atau membenarkan yang batil.”

Bila ada yang menyatakan bahwa larangan bertanya kepada ahlul kitab ini seakan bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelummu.” (Yunus: 94)

Maka dijawab bahwa ayat ini tidaklah bertentangan dengan larangan yang tersebut dalam hadits. Karena yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah bertanya kepada ahlul kitab yang telah beriman, sementara larangan yang tersebut dalam hadits hanyalah ditujukan bila bertanya kepada ahlul kitab yang belum beriman. (Fathul Bari 13/408)

Peringatan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam dari Membaca Buku-buku Ahlul Kitab

Di dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa ahlul kitab telah mengubah-ubah kitab mereka yang tadinya merupakan kalamullah yang diturunkan dari atas langit, namun kemudian karena ulah para pendeta Yahudi dan Nasrani bercampurlah kalamullah tersebut dengan kalam manusia. Bahkan kalamullah itu sendiri mereka ubah dan dipindahkan dari tempatnya, sehingga kitab mereka tidak lagi murni sebagaimana diturunkan pada awalnya, tetapi tercampur dengan kepalsuan dan kedustaan, dan susah untuk dipisahkan mana yang haq dan mana yang batil.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan [4].” (Al-Baqarah: 79).

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah berkata: “Yang Allah maksudkan dengan firman-Nya ini adalah orang-orang Yahudi Bani Israil yang telah melakukan tahrif atas Kitabullah. Dan mereka menulis sebuah kitab berdasar-kan penakwilan/ penafsiran menyimpang yang mereka buat, menyelisihi dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada Nabi Musa alaihissalam. Kemudian orang-orang Yahudi ini menjual kitab karangan mereka itu kepada suatu kaum yang tidak memiliki ilmu tentang penakwilan tersebut, tidak pula memiliki pengetahuan dengan apa yang terdapat dalam Taurat, dan kepada orang-orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang terdapat dalam kitabullah. Mereka, orang-orang Yahudi melakukan hal ini, karena ingin mendapatkan dunia yang rendah.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 1/422).

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah menyebut-kan bahwa pendeta-pendeta Yahudi itu khawatir kehilangan sumber penghidupan dan kepemimpinan mereka ketika Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam datang ke Madinah. Mereka lalu melakukan tipu daya untuk menyimpangkan orang-orang Yahudi dari beriman kepada Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam. Mereka telah memahami sifat/ ciri-ciri beliau Shallallahu `alaihi wa sallam yang tersebut dalam Taurat, di mana disebutkan bahwa beliau memiliki wajah dan rambut yang bagus, kedua matanya seperti bercelak, perawakannya sedang tidak terlalu tinggi tidak pula pendek. Mereka lalu kemudian mengubah sifat-sifat tersebut dan menggantinya dengan sifat tinggi, miring matanya, dan keriting rambutnya. Bila orang-orang bodoh yang tidak mengerti Taurat bertanya tentang sifat/ ciri-ciri nabi yang terakhir kepada para pendeta ini, mereka pun membacakan apa yang telah mereka tulis, sehingga orang-orang bodoh tersebut menjumpai sifat/ ciri-ciri nabi yang akhir itu berbeda dengan sifat/ ciri Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam. Akibatnya mereka pun mendustakannya. (Ma’alimut Tanzil, 1/54-55)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Mereka (orang-orang Yahudi) mengubah perkataan dari tempat-tempat-nya.” (An-Nisa: 46)

Ayat di atas menunjukkan bahwa sifat orang-orang Yahudi itu suka mengganti dan mengubah-ubah makna Taurat dari tafsir yang sebenarnya. (Jami‘ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 4/121).

Perubahan yang mereka lakukan itu bisa berupa lafadz atau maknanya, atau keduanya sekaligus. Mereka mengubah hakikat yang ada, menempatkan al-haq di atas al-batil, dan menentang al-haq itu. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 181). Diriwayatkan bahwa Ka‘b Al-Ahbar pernah datang menemui Umar ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, yang ketika itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, dengan mem-bawa sebuah mushaf, ia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, dalam mushaf ini tertulis Taurat, apakah aku boleh membacanya?”

Umar menjawab: “Jika memang engkau yakin itu adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa alaihissalam pada hari Thursina maka silahkan membacanya. Dan jika tidak, maka jangan membacanya.” (Syarhus Sunnah 1/271). Karena bercampurnya al-haq dengan al-batil inilah, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam mengingkari perbuatan Umar Radhiyallahu ‘anhu yang memegang Taurat sebagaimana tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita. Beliau Shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan kepada Umar:

“Apakah engkau termasuk orang yang bingung wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih.”

Di samping itu, apa yang datang dalam syariat agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam sudah sangat memadai sehingga umat beliau tidak lagi mem-butuhkan syariat agama lain atau syariat umat terdahulu. Umat ini tidak lagi butuh nabi dan rasul lain setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam di tengah mereka. Kalaupun para nabi dan rasul terdahulu, sebelum Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam, masih hidup dan menemui masa kenabian beliau, niscaya para nabi dan rasul tersebut akan mengikuti beliau dan tunduk pada syariat yang beliau bawa. Karena itulah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam berkata kepada ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya Musa alaihissalam masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.”

Kitab Suci Yahudi dan Nasrani Tidak Lagi Asli

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan jaminan penjagaan atas kalam-Nya yang termaktub dalam kitab Taurat dan Injil, sebagaimana jaminan penjagaan yang diberikan-Nya kepada Al-Qur`an:

“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Adz-Dzikra (Al-Qur`an) dan sungguh Kami-lah yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)

Karena penjagaan ini maka Al-Qur`an selama-lamanya tidak akan dapat dipalsukan sampai kalamullah itu diangkat kembali dari lembaran dan dada-dada manusia (dari hapalan mereka) menjelang hari kiamat. Adapun kitab samawi lainnya seperti Taurat dan Injil tidaklah selamat dari pemalsuan sehingga wajar bila kita katakan kitab-kitab yang dipegang ahlul kitab telah dipalsukan para rahib dan pendeta mereka dari aslinya. Ini berdasarkan pengabaran Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri melalui Al-Qur`an, dari hadits Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, dari atsar dan juga dari bukti-bukti sejarah serta pertentangan dan keganjilan-keganjilan yang ada di dalam Taurat dan Injil sendiri.

Dalam kitabnya Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, Ibnu Hazm rahimahullah menyebutkan secara panjang lebar sejarah Bani Israil sejak wafatnya Nabi Musa alaihissalam untuk membuktikan bahwa kitab Taurat tidak lagi asli tetapi telah diubah-ubah. Disebutkan bahwa sepeninggal Nabi Musa alaihissalam, Bani Israil dipimpin Yusya’ bin Nun selama 31 tahun dengan tetap istiqamah berpegang dengan agama. Kemudian mereka dipimpin Fainuhas ibnul ‘Azar bin Harun selama 25 tahun, juga masih istiqamah di atas agama. Setelah wafatnya Fainuhas, seluruh Bani Israil murtad dari agama mereka dan menyembah berhala secara terang-terangan.

Dan sejak itu mereka dipimpin penguasa-penguasa kafir, meski terkadang diselingi kepemimpinan penguasa yang beriman. Namun tetap lebih dominan dikuasai penguasa kafir dan yang berkubang dalam kekafiran dan penyembahan terhadap berhala [5]. Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Sejak Bani Israil masuk ke tanah yang disucikan (Palestina) sepeninggal Musa alaihissalam sampai masa pemerintahan raja mereka Syawul, sebanyak tujuh kali mereka meninggalkan keimanan dan terang-terangan menyembah berhala.” Beliau rahimahullah juga berkata: “Perhatikanlah, kitab apa yang masih tertinggal bersama dengan kekufuran yang terus menerus dan menolak keimanan selama masa yang panjang [6] di sebuah negeri yang kecil. Sementara tidak ada seorang pun di muka bumi ketika itu yang berada di atas agama mereka dan mengikuti kitab mereka selain mereka sendiri.” (Al-Fishal 1/215).

Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh kedustaan yang terdapat dalam Taurat. Di dalam Taurat dihikayatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Ini Adam, ia telah menjadi seperti salah satu dari Kami dalam mengetahui kebaikan dan kejelekan….” Ibnu Hazm menyatakan dengan ucapan ini menunjukkan mereka meyakini ilaah atau sesembahan itu lebih dari satu dan Adam termasuk ilaah tersebut [7]. Disebutkan pula dalam Taurat: “Ketika manusia telah banyak memenuhi muka bumi dan lahir putri-putri Adam. Maka saat putra-putra Allah melihat putri-putri Adam yang cantik-cantik, putra-putra Allah pun memperistri sebagian dari mereka.”

Ibnu Hazm membantah kedustaan mereka ini dengan menyatakan bahwa ucapan tersebut adalah kedunguan dan kedustaan yang besar, di mana Allah dijadikan memiliki anak laki-laki yang menikahi putri-putri Adam, yang berarti Allah dan Adam berbesanan. Maha Suci Allah dari kedustaan ini [8]. Selain itu di dalam Taurat yang mereka pegangi disebutkan bahwa Nabi Luth alaihissalam digauli dua putrinya secara bergantian setelah beliau yang telah renta dibuat mabuk dengan diminumi khamr. Sehingga kedua putrinya hamil dari hasil hubungan dengan ayahnya.

Na’udzubillah dari tuduhan keji mereka yang membuat gemetar kulit orang-orang yang beriman yang mengetahui hak-hak para nabi [9]. Ibnul Qayyim rahimahullah mendustakan ucapan orang-orang Yahudi bahwa lembaran-lembaran yang bertuliskan Taurat saling mencocoki baik yang ada di belahan bumi timur maupun barat. Ibnul Qayyim berkata: “Ini adalah kedustaan yang nyata, karena Taurat yang berada di tangan orang-orang Nasrani menyelisihi/ berbeda dengan Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi, dan juga Taurat yang ada di tangan Samiri berbeda pula dengan keduanya.

Demikian pula Injil, sebagiannya berbeda dengan yang lain dan saling bertentangan.” Ibnul Qayyim melanjutkan: “Taurat yang berada di tangan orang-orang Yahudi di dalamnya terdapat tambahan, perubah-an/ penyimpangan dan pengurangan yang kentara bagi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka (ahlul ilmi) yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Taurat yang Allah turunkan kepada Musa alaihissalam. Demikian pula Injil yang berada di tangan orang-orang Nasrani. Di dalamnya terdapat tambahan, perubahan/ penyimpangan dan pengurangan yang tidak bisa disembunyikan dari orang-orang yang ilmunya dalam. Dan mereka yakin secara pasti bahwa hal itu tidak terdapat dalam Injil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada Al-Masih `Isa alaihissalam.” (Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara, hal. 101).

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Rahmatullah bin Khalilur Rahman Al-Kairanawi Al-Hindi rahimahullah menyebutkan beberapa bukti bahwa kitab Taurat dan Injil yang ada sekarang bukanlah Taurat dan Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi ‘Isa alaihimussalam . Di antaranya, beliau menyebutkan fakta sejarah berkenaan dengan Taurat bahwasanya Taurat yang ada sekarang terputus sanadnya sebelum zaman raja Yusya’ bin Amun yang berkuasa pada tahun 638 SM. Sedangkan nuskhah (manuskrip) bertuliskan Taurat yang didapatkan setelah 18 tahun ia berkuasa, tidak bisa dijadikan sandaran. Karena nuskhah itu dibuat-buat oleh Al-Kahin Hilqiyya. Selain tidak bisa dijadikan sandaran, secara umum nuskhah itu hilang sebelum Bukhtanashar menak-lukkan negeri Palestina pada tahun 587 SM.

Seandainya kita anggap nuskhah itu tidak hilang, maka ketika Bukhtanashar mengu-asai Palestina niscaya ia akan memusnah-kan Taurat dan seluruh kitab Perjanjian Lama sehingga tidak tersisa bekasnya. Orang-orang Yahudi berdalih bahwa Uzara telah menulis sebagian lembaran-lembaran Taurat di Babil, namun yang ditulisnya ini pun hilang ketika Anthaikhus IV menaklukkan negeri Palestina.

Ketika Suraya berkuasa antara tahun 175-163 SM, ia berencana memusnahkan agama Yahudi dan mewarnai Palestina dengan ajaran Hailainiyyah (Helenisme Yunani). Ia pun menjual jabatan-jabatan pendeta Yahudi, membunuh sejumlah 40 hingga 80 juta pendeta Yahudi, merampas barang-barang yang ada di seluruh tempat ibadah Yahudi, bertaqarrub kepada sesembahannya dengan menyembelih babi dan menyalakan api di atas tempat penyembelihan orang Yahudi, serta memerintahkan 20 ribu tentara untuk mengepung Al-Quds yang akhirnya menyerbu Al-Quds pada hari Sabtu ketika orang-orang Yahudi berkumpul untuk mengerjakan shalat.

Mereka merampas Al-Quds, meruntuhkan rumah dan pagar-pagar, menyalakan api di dalamnya serta membunuh semua orang yang ada di dalamnya sampaipun para wanita dan anak-anak. Tidak ada yang selamat pada hari itu kecuali orang yang lari ke gunung-gunung atau bersembunyi dalam gua-gua.” (Mukh-tashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 20-21).

Demikian pula keberadaan Injil yang dipegangi orang-orang Nasrani. Jauh ditulis setelah diangkatnya Nabi ‘Isa alaihissalam, baik itu Injil yang konon katanya ditulis oleh Yohanes yang kemudian disebut Injil Yohanes, Injil Markus, Injil Lukas maupun Injil Matius. Cukuplah keberadaan empat Injil ini yang masing-masing isinya terdapat pertentangan, sebagai bukti ketidakotentikan Injil tersebut. Dan Injil-Injil itu bukanlah Injil yang pernah diturunkan kepada Nabi ‘Isa alaihissalam. Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi berkata: “Kitab samawi (yang diturunkan dari langit) yang wajib kita terima adalah kitab yang ditulis dengan perantara salah seorang nabi, dan sampai kepada kita dengan sanad yang bersambung tanpa ada perubahan dan penggantian. Adapun kitab yang disandarkan kepada seseorang yang memiliki ilham dengan semata-mata persangkaan dan dugaan, tidaklah cukup untuk menetapkan bahwa kitab tersebut merupakan karya orang itu, sekalipun misalnya ada satu atau beberapa kelompok mengaku-aku penyandaran tersebut.

Tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama yang disandarkan kepada Musa, Uzra, Isy’aya`, Irmiya dan Sulaiman  , tidaklah tsabit (benar) dengan satu dalil pun yang menunjukkan keshahihan penyandarannya kepada mereka, karena hilangnya sanad yang bersambung atas kitab-kitab tersebut. Dan juga tidakkah engkau lihat bahwa kitab-kitab dari Perjanjian Baru yang lebih dari 70 (buah) disandarkan kepada ‘Isa, Maryam, Hawariyyun dan pengikut mereka. Kelompok-kelompok Nasrani yang ada sekarang telah sepakat tentang ketidak-shahihan penyandaran kitab-kitab tersebut kepada Isa dan lainnya.

Bahkan kitab-kitab itu termasuk kedustaan yang dibuat-buat. Kemudian ada kitab yang wajib diterima menurut penganut Katholik, namun wajib ditolak menurut orang-orang Yahudi dan penganut Protestan….” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal.19). Dengan demikian semakin pastilah dari fakta-fakta yang ada bahwa kitab-kitab yang dipegangi Yahudi dan Nasrani bukanlah Taurat dan Injil yang disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim, sehingga tidak wajib untuk kita terimanya. Namun kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut ditempatkan sebagai berikut:

  • Setiap riwayat yang terdapat di dalamnya bila dibenarkan oleh Al-Qur`anul Karim maka riwayat tersebut diterima dengan yakin, kita benarkan tanpa rasa berat.
  • Namun bila didustakan Al-Qur`an maka kita tolak dengan yakin, kita dustakan tanpa keberatan.
  • Bila Al-Qur`an mendiamkannya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan maka kita pun mendiam-kannya, yakni kita tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan.
  • Al-Qur`anul Karim adalah penjaga bagi kitab-kitab sebelumnya, yakni Al-Qur`an menampakkan al-haq yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya dan mendu-kungnya, serta menampakkan kebatilan yang ada di dalam kitab-kitab tersebut dan menolaknya.
  • Bantahan ulama Islam atas Taurat dan Injil serta menampakkan kedustaan serta perubahan yang ada di dalamnya, tidaklah ditujukan kepada Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada Musa dan ‘Isa alaihimussalam. Namun yang mereka bantah adalah kisah dan riwayat-riwayat yang dikumpulkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sepanjang beberapa kurun, di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa itu adalah wahyu dan ilham. Sungguh Taurat yang Allah turunkan kepada Musa hanya satu dan Injil yang Allah turunkan kepada ‘Isa hanya satu pula. Lalu bagaimana bisa didapatkan sekarang ini ada tiga Taurat yang berbeda dan ada empat Injil yang juga berbeda? [10]” (Mukhtashar Kitab Izh-harul Haq, hal. 35-37)

Wallahul musta’an.

Manhaj yang Benar terhadap Buku-buku Ahlul Bid’ah wal Ahwa`

Melihat ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu memegang lembaran yang tertulis Taurat di dalamnya sudah membuat wajah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam berubah karena marah. Padahal kitab Taurat merupakan salah satu kitab samawi, Kalamullah yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari langit, meski kemudian diubah-ubah dan diganti Yahudi. Lalu bagaimana kiranya jika beliau Shallallahu `alaihi wa sallam melihat buku-buku yang jelas tidak diturunkan dari langit, malah isinya bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah? Bagaimana kira-kira kemarahan beliau bila melihat kita membolak-balik buku tersebut dan membacanya? Apalagi ingin menyelami kebenaran yang katanya ada atau mungkin ada di dalamnya? Tentunya kemurkaan beliau jauh lebih besar lagi. Wallahul musta’an.

Bisa jadi buku-buku yang ditulis ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu itu ada setitik atau beberapa titik nilai kebenaran, tapi kebenaran apa yang bisa diharapkan bila ia dibalut dan diselimuti sekian banyak kebatilan? Dan bukankah buku-buku yang selamat dari kebatilan masih banyak, buku-buku yang ditulis ulama Ahlus Sunnah masih menggunung? Kenapa harus mempersulit diri dengan menyelami samudera kebatilan nan pekat karena ingin mendapatkan sebutir kecil mutiara kebenaran?

Ketika Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah memperingatkan seseorang dari bukunya Al-Harits Al-Muhasibi dengan menyatakan: “Hati-hati engkau dari buku-buku ini, karena ini merupakan buku-buku bid’ah dan kesesatan. Wajib bagimu berpegang dengan atsar (hadits atau Sunnah Nabi) karena di dalamnya engkau akan merasa cukup.” Ternyata orang itu berkelit dengan mengatakan: “Dalam buku-buku ini ada ibrah/ pelajaran.” Apa jawaban Abu Zur’ah rahimahullah Beliau menegaskan: “Siapa yang tidak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, niscaya tidak ada baginya ibrah dalam buku-buku ini.” (Al-Mizan 2/165).

Memberi peringatan (tahdzir) dari kitab-kitab yang di dalamnya terdapat kebid’ahan dan kesesatan, memang termasuk manhaj as-salafus shalih dengan mencontoh Rasul yang mulia Shallallahu `alaihi wa sallam ketika mengingkari perbu-atan ‘Umar ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. Tahdzir ini dimak-sudkan sebagai penjagaan terhadap manhaj kaum muslimin dari kemudharatan dan bahaya yang dikandung dalam buku-buku tersebut.

Dan tidak termasuk perbuatan dzalim bila seorang muslim menasehati saudaranya untuk menjauhi buku-buku yang demikian karena ingin menghindarkan kemudharatan yang akan didapatkannya, dengan semata ia menyebutkan kejelekan buku tersebut tanpa menyinggung kebaikannya. (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 128, karya Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi‘ bin Hadi Al-Madkhali).

Al-Imam Ibnu Muflih rahimahullah berkata: “Asy-Syaikh Muwaffaquddin rahimahullah menyebutkan larangan dari melihat buku-buku ahlul bid’ah. Beliau mengatakan: “Adalah generasi salaf melarang dari bermajelis dengan ahlul bid’ah, melarang melihat buku-buku mereka, dan mendengar ucapan mereka.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/251). Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata menukilkan ucapan Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah: “Setiap buku yang berisi penyelisihan terhadap As-Sunnah tidak boleh dilihat dan dibaca. Bahkan yang diizinkan dalam syariat adalah menghapus dan memusnahkannya.”

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan: “Para shahabat telah membakar seluruh mushaf yang me-nyelisihi mushaf Utsman karena kekhawatiran mereka akan tim-bulnya perselisihan di tengah umat. Maka bagaimana bila mereka meli-hat buku-buku ini yang menciptakan perselisihan dan perpecahan di kalangan umat….” Ibnul Qayyim ber-kata lagi: “Maksud dari semua ini adalah buku-buku yang mengandung kedustaan dan bid’ah wajib untuk dimusnahkan dan dipunahkan. Bahkan memusnahkannya lebih utama daripada menghancurkan alat-alat laghwi dan musik serta bejana-bejana yang berisi khamr. Karena bahaya buku-buku ini lebih besar daripada bahaya alat-alat musik. Dengan demikian tidak ada ganti rugi terhadap buku-buku tersebut sebagai-mana tidak ada ganti rugi dari penghancuran bejana-bejana khamr.” (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 134)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Asy Syariah

***************

Catatan Kaki:

  1. Ibnu ‘Aun berkata: “Aku bertanya kepada Al-Hasan: ‘Apa yang dimaksud dengan  ?’. Al-Hasan menjawab: ‘Orang-orang yang bingung’. Demikian disebutkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (1/132), sebagaimana dinukilkan dalam Al-Irwa` (6/38). Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah menyebutkan makna sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam tersebut: ‘Yakni apakah kalian bingung dalam ber-Islam, kalian tidak mengetahui agama kalian hingga kalian harus mengambil agama tersebut dari Yahudi dan Nasrani?” (Syarhus Sunnah 1/271)
  2. yakni betapa ibumu kehilangan kamu. Orang yang mengucapkan hal ini kepada seseorang seakan-akan mendoakan kematian lawan bicaranya karena jeleknya perbuatan atau ucapannya. Atau ia mengucapkan ucapan tersebut dengan maksud menyatakan: “Bila engkau berbuat/ berucap demikian, maka kematian lebih baik bagimu, agar engkau tidak menambah kejelekan lagi.” Atau bisa pula ucapan ini termasuk lafadz-lafadz yang biasa beredar di lisan orang Arab tanpa dimaksudkan sebagai doa seperti ucapan mereka:  dan . (An-Nihayah, hal. 123)
  3. Al-Hafizh Ibnu Hajar menghasankan sanadnya dalam FathulBari 13/408
  4. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan bahwa dalam ayat ini dan yang sebelumnya ada peringatan dari melakukan penggantian, perubahan, dan penambahan dalam syariat. Maka semua orang yang mengganti, mengubah atau mengadakan perkara baru (bid’ah) dalam agama Allah dengan sesuatu yang bukan bagian dari agama dan dengan sesuatu yang terlarang dalam agama, maka ia masuk dalam ancaman yang keras dan azab yang pedih tersebut. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 1/9)
  5. Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, 1/ 213-215
  6. Lebih dari 114 tahun
  7. Al-Fishal 1/146.
  8. Al-Fishal 1/147
  9. Al-Fishal 1/161
  10. Karena terbatasnya lembaran yang ada dalam rubrik ini maka kami tidak dapat memaparkan semuanya. Bagi pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan lebih jauh, silahkan membaca kitab-kitab seperti Al-Fishal fil Milal wal Ahwa` wan Nihal Al-Imam Ibnu Hazm, Al-Jawabus Shahih liman Baddala Dinal Masih Al-Imam Ibnu Taimiyyah, Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara Al-Imam Ibnul Qayyim, Izh-harul Haq Asy-Syaikh Rahmatullah Al-Hindi atau Mukhtasharnya.
© 1445 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks