MELULUHLANTAKKAN SYUBHAT-SYUBHAT IBRAHIM AR-RUHAILY DALAM MASALAH JARH WA TA’DIL

MELULUHLANTAKKAN SYUBHAT-SYUBHAT IBRAHIM AR-RUHAILY DALAM MASALAH JARH WA TA’DIL

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاةُ وَالسَّلامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَبَعْدُ:

Ini sebagian catatan penting terhadap Dr. Ibrahim Ar-Ruhaily di dalam masalah jarh wa ta’dil, di mana dia berbicara pada sebagian masalah yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil dan dia membawa hal-hal yang aneh. Maka saya ingin memberikan beberapa catatan untuk menjelaskan kebenaran dengan hujjah dan dalil yang shahih, disertai isyarat bahwa dia terjatuh pada kontradiksi yang banyak yang menunjukkan jauhnya dia dari ilmu ini. Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan kita hidayah berupa kebenaran dan menolong kita untuk bisa mengikutinya dan kokoh di atasnya, sesungguhnya Dia Maha Kuasa mengabulkannya.

CATATAN PERTAMA:

Dr. Ibrahim Ar-Ruhaily berkata: “Ya, merujuk kepada ulama dan memperhatikan perbedaan mereka dalam masalah-masalah ini, jika yang mentazkiyah memiliki keutamaan berupa ilmu, wara’ dan senioritas maka perkataannya didahulukan, namun jika yang menjarh memiliki ilmu, keutamaan dan senioritas maka dilihat juga perkataannya.”

Catatan: Ar-Ruhaily telah terjatuh pada kesalahan besar yang tidak sepantasnya terjatuh padanya orang yang telah menggeluti ilmu hadits dan ilmu jarh wa ta’dil. Yang nampak bahwa dia jauh dari keahlian dalam ilmu ini, atau dia tidak menyadari bahaya ucapan ini dan pengaruhnya pada ilmu jarh wa ta’dil. Oleh karena itulah wajib untuk menjelaskan kesalahan ini berdasarkan dalil-dalil dari perkataan para ulama pakar hadits dan kritikusnya.

Pertama: Ar-Ruhaily menjadikan timbangan dalam mentarjih perkataan para ulama ahli hadits di dalam menilai seorang rawi berupa jarh wa ta’dil 3 perkara:

1. Ilmu.
2. Wara’.
3. Senioritas.

Adapun ilmu dan wara’ maka tidak ada masalah pada keduanya, jadi keduanya termasuk syarat bagi penta’dil dan penjarh, jadi dia harus mengetahui sebab-sebab jarh wa ta’dil, demikian juga dia harus seorang yang wara’ dan bertakwa agar tidak menilai manusia tanpa alasan yang benar.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdul Lathif rahimahullah berkata:

“Disyaratkan pada penta’dil dan penjarh 4 syarat yaitu:

1. Hendaknya dia seorang yang adil.
2. Hendaknya dia seorang yang memiliki wara’ yang menhalangi dari fanatik dan hawa nafsu.
3. Hendaknya dia seorang yang cerdas dan tidak lalai agar tidak tertipu lahiriah keadaan seorang rawi.
4. Hendaknya dia mengetahui sebab-sebab jarh wa ta’dil agar tidak menjarh orang yang adil atau menta’dil orang yang sepantasnya dijarh.”
(Dhawabith Al-Jarh wat Ta’dil 1/26)

Adapun tentang senioritas, maka saya tidak mendapatkan ulama yang menyebutkannya, walaupun pada syarat-syarat lemah yang dinyatakan lemah oleh para ulama. Jadi saya tidak mengetahui dari mana Dr. Ar-Ruhaily membawanya.

Masalah senioritas disebutkan oleh para ulama ketika mengurutkan para rawi berdasarkan thabaqahnya, nah termasuk masalah-masalah yang dijadikan oleh para ulama sebagai sandaran di dalam menentukan urutan ini adalah siapa yang paling dahulu masuk Islam, dan hal ini dirinci pada kitab-kitab thabaqah. Adapun menjadikannya sebagai salah satu syarat bagi penjarh dan penta’dil, maka ini termasuk hal yang paling aneh.

Kedua: Dipahami dari perkataan Dr. Ar-Ruhaily bahwa perkataan orang yang lebih senior didahulukan atas perkataan orang belakangan, sama saja apakah orang yang lebih senior sebagai pihak penta’dil atau penjarh, sama saja apakah pihak yang terdahulu benar atau salah, dan sama saja apakah pihak yang lebih senior memiliki hujjah atau tidak.

Penetapan kaedah yang dilakukan oleh Ar-Ruhaily semacam ini sangat berbahaya, di mana kaedah ini membatalkan kaedah-kaedah jarh wa ta’dil dan penerapan para ulama dalam ilmu yang mulia ini. Seandainya para ulama mengikuti kaedah yang dibuat olehnya, niscaya ilmu ini telah berakhir sejak awal kemunculannya. Tetapi Allah yang menjaga agama yang agung ini dan membangkitkan para ulama rabbani dari kalangan ahli hadits dan selain mereka untuk menjaganya.

Termasuk yang menunjukkan bathilnya ucapan Ar-Ruhaily adalah kesepakatan para ulama ahli hadits bahwa pihak yang memiliki hujjah dan ilmu didahulukan atas orang lain, tanpa memandang siapa yang lebih dahulu dan siapa yang belakangan sama sekali.

Para ulama menyebutkan perbedaan ahli hadits ketika ada pertentangan antara jarh wa ta’dil, namun mereka tidak menyebutkan –walaupun dengan isyarat– masalah senioritas sama sekali.

Yang disimpulkan oleh Al-Iraqy rahimahullah adalah bahwasanya ada 3 pendapat:

“Jika terjadi pertentangan antara jarh dengan ta’dil pada seorang rawi di mana sebagian pihak menjarh dan sebagian lain menta’dilnya, maka dalam hal ini ada 3 pendapat:

Pendapat pertama: Jarh didahulukan secara mutlak, walaupun pihak yang menta’dil lebih banyak. Al-Khathib menukil pendapat ini dari jumhur ulama. Sedangkan Ibnu Shalah mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang benar dan juga dibenarkan oleh ahli ilmu ushul, seperti Al-Imam Fakhruddin dan Al-Amidy, alasannya karena pihak yang menjarh memiliki tambahan ilmu yang tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil, juga karena pihak yang menjarh membenarkan kabar pihak yang menta’dil tentang apa yang nampak dari keadaan seseorang, hanya saja pihak yang menjarh mengabarkan tentang perkara yang tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil.

Pendapat kedua: Jika pihak yang menta’dil lebih banyak maka didahulukan ta’dil. Pendapat ini dihikayatkan oleh Al-Khathib di dalam Al-Kifayah dan penulis kitab Al-Mahshuul. Alasannya karena banyaknya pihak yang menta’dil menguatkan keadaan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan berita mereka. Sebaliknya sedikitnya pihak yang menjarh melemahkan berita mereka. Al-Khathib menyatakan: ‘Ini adalah pendapat yang salah dan jauh yang muncul dari orang yang salah paham, karena pihak yang menta’dil walaupun mereka banyak namun mereka tidak mengabarkan bahwa berita yang dikabarkan oleh pihak yang menjarh tidak ada, dan seandainya mereka mengabarkan seperti itu, tentu itu merupakan persaksian bathil, karena itu merupakan persaksian untuk menafikan sesuatu yang mungkin saja bisa terjadi, walaupun mereka (pihak yang menta’dil) tidak mengetahuinya.’

Pendapat ketiga: Jika terjadi pertentangan antara jarh dengan ta’dil, maka salah satunya tidak bisa dikuatkan kecuali dengan hal yang bisa menguatkan, hal ini dihikayatkan oleh Ibnul Hajib. Sedangkan perkataan Al-Khathib konsekwensinya mengabaikan pendapat ketiga ini dengan mengatakan: ‘Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang dijarh oleh satu atau dua orang dan dita’dil oleh jumlah yang semisalnya, maka jarh didahulukan.’ Dan pada gambaran ini merupakan hikayat adanya ijma’ atas pendahuluan jarh, berbeda dengan yang dihikayatkan oleh Ibnul Hajib.”
(At-Tabshirah wat Tadzkirah hal 11)

Maka manakah masalah senioritas yang didengung-dengungkan oleh Ar-Ruhaily?! Bahkan dia menjadikannya termasuk syarat yang harus ada pada pihak yang menta’dil dan pihak yang menjarh.

Ketiga: Ar-Ruhaily menyebutkan bahwa pihak yang mentazkiyah yang memiliki keutamaan berupa ilmu, wara’ dan senioritas maka perkataannya didahulukan, perkataannya ini konskwensinya adalah perkataan pihak yang mentazkiyah harus didahulukan secara mutlak, jika perkataannya ditentang oleh pihak yang menjarh, maka tidak menoleh kepada perkataan yang menjarh sama sekali, bahkan tidak perlu dibandingkan antara jarh dan ta’dil dan tidak pula membandingkan bukti-bukti yang ditunjukkan oleh pihak yang mentazkiyah dan oleh pihak yang menjarh.

Dan musibah terbesar adalah dengan dia mengatakan tentang pihak yang menjarh bahwa perkataannya itu perlu dilihat dahulu, jadi dia tidak memastikan untuk mendahulukannya sebagaimana dia memastikan pada pihak yang mentazkiyah.

Ar-Ruhaily dalam menetapkan kaedahnya ini dia bersandar pada perkataan sebagian ahli ilmu ushul dan fikih, namun dia tidak menoleh kepada perkataan ulama ahli hadits dan kritikusnya. Padahal hukum asalnya adalah bahwasanya jarh didahulukan atas ta’dil, karena pihak yang menjarh memiliki tambahan ilmu yang tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil. Dan pihak yang menjarh tidak berarti mendustakan pihak yang menta’dil pada ta’dil yang dia katakan, hanya saja pihak yang menjarh memberi tambahan ilmu berupa adanya sebab-sebab jarh yang sifatnya baru yang diketahui oleh pihak yang menjarh.

Al-Khathib Al-Baghdady rahimahullah berkata: “Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang dijarh oleh satu atau dua orang dan dita’dil oleh jumlah yang semisalnya, maka jarh didahulukan, alasannya karena pihak yang menjarh mengabarkan tentang perkara tersembunyi yang dia ketahui dan dia sebenarnya tetap membenarkan pihak yang menta’dil dan mengatakan kepadanya: ‘Anda mengetahui keadaannya yang nampak dari apa yang telah Anda ketahui, tetapi saya bersendirian mengetahui apa yang tidak Anda ketahui dari urusannya.’ Kabar dari pihak yang menta’dil tentang keadilan yang nampak dari seseorang tidaklah menafikan kejujuran perkataan pihak yang menjarh pada kabar yang dia sampaikan, karena itulah wajib untuk mendahulukan jarh atas ta’dil.”  (Al-Kifayah hal. 106-107)

Beliau juga berkata: “Yang dipegangi oleh jumhur ulama adalah bahwasanya hukum yang diberlakukan adalah berdasarkan jarh dan menerapkannya adalah lebih kuat. Sekelompok ulama ada yang mengatakan: ‘Bahkan hukum yang berlaku adalah yang berdasarkan penilaian adil.’ Dan ini merupakan pendapat yang salah berdasarkan apa yang telah kami sebutkan, bahwasanya pihak yang menjarh membenarkan pihak yang menta’dil pada ilmu yang nampak dan mereka mengatakan: ‘Kami memiliki tambahan ilmu yang tidak kalian ketahui tentang perkaranya yang tersembunyi.’ Kelompok ini beralasan bahwa banyaknya pihak yang menta’dil menguatkan keadaan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar yang mereka sampaikan, dan sedikitnya pihak yang menjarh melemahkan berita yang mereka sampaikan, dan ini adalah pendapat yang salah dan jauh yang muncul dari orang yang salah paham, karena pihak yang menta’dil walaupun mereka banyak, namun mereka tidak berarti mengabarkan bahwa berita yang dikabarkan oleh pihak yang menjarh tidak ada, dan seandainya mereka mengabarkan seperti itu dengan mengatakan: ‘Kami bersaksi bahwa apa yang kalian ketahui ini tidak terjadi padanya.’ Tentu dengan hal itu mereka keluar (tidak bisa –pent) menjadi ahli ta’dil atau jarh, karena hal itu merupakan persaksian berupa penafian sesuatu yang mungkin dan bisa saja terjadi, walaupun mereka (pihak yang menta’dil) tidak mengetahuinya, sehingga pendapat yang tetap (benar) adalah apa yang telah kami sebutkan.”  (Al-Kifayah hal. 107)

Lihatlah perkataan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berikut ini di dalam Ijaabatus Saa’il hal. 498-499:

“Penanya: Jika seorang rawi dinilai tsiqah oleh satu orang namun dijarh oleh empat orang, atau dijarh oleh empat orang dan dinilai tsiqah oleh empat orang, perkataan siapa yang dipegangi? Mohon penjelasan dengan satu contoh dari kitab-kitab hadits dan biografi para perawi dalam masalah jarh mufassar, karena saya mendahulukan ta’dil pihak yang lebih banyak?

Jawab: Mendahulukan ta’dil pihak yang lebih banyak tidak benar, karena pihak yang menjarh mengetahui apa yang tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil. Misalnya: engkau melihat seseorang yang selalu shalat di shaff pertama, dan atas dasar itu engkau menilainya sebagai orang yang terpercaya, tetapi temanmu mengetahui bahwa dia adalah orang yang lemah hafalannya. Atau engkau melihat seseorang yang selalu shalat di shaff pertama, namun temanmu mengetahui bahwa dia bekerja di bank riba, atau suka membuat atau mengambil gambar makhluk yang bernyawa, atau pekerjaannya tukang cukur jenggot. Jadi pihak yang menjarh mengetahui apa yang tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil, walaupun seseorang dinilai terpercaya oleh sepuluh orang namun ada satu orang yang menjarhnya secara terperinci, maka jarh yang terperinci tersebut diterima, wallahul musta’an.”

Dr. Ar-Ruhaily telah jatuh pada sikap kontradiksi pada masalah ini dengan parah, di mana dia menyatakan pada awal pertanyaan yang lalu ketika menjawab pertanyaan:
“Para ulama mengatakan bahwa masalah-masalah ini dikembalikan kepada kebenaran dan membandingkan perkataan para ulama serta mentarjihnya. Ini kita katakan berlaku bagi siapa? Bagi para imam jarh wa ta’dil, seperti Al-Bukhary, Yahya bin Ma’in dan Ahmad.”

Namun setelah itu dia mengatakan: “Perkataan seorang ulama tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi harus dilihat perkataannya dan membandingkannya dengan perkataan ulama lain, kemudian dipilih pendapat pihak yang hujjah menguatkannya. Yang dimaksud dengan hujjah itu apa? Al-Kitab, As-Sunnah dan ijmak.”

Di sini Ar-Ruhaily menetapkan untuk memperhatikan perbedaan para ulama jarh wa ta’dil dan mentarjihnya sesuai yang benar, namun di sana dia menetapkan bahwa perkataan pihak yang menta’dil dari para ulama yang memiliki keutamaan dan senioritas harus didahulukan.

Di tempat lain dia menetapkan: “Jadi sekarang seandainya kita menjumpai ada tiga ulama berbeda pendapat di dalam menilai seseorang di masa ini, pihak yang satu menjarhnya, sementara pihak yang lain menta’dilnya, maka apakah kita mengambil perkataan pihak yang menjarh dan tidak memperhatikan perkataan pihak yang menta’dil, padahal dia juga termasuk ulama? Ulama ini dia memiliki ijtihad dan ulama yang itu juga memiliki ijtihad. Adapun apa yang disebutkan para ulama bahwa jarh terperinci didahulukan atas ta’dil yang global, ini adalah kaedah yang benar, namun ketika mereka semua ulama, ini ulama dan itu ulama, sementara ulama ini memiliki tambahan ilmu pada sebuah masalah dan dia menjarh –maksudnya– dia memahami…”

Di sini Ar-Ruhaily menetapkan bahwa setiap ulama memiliki ijtihad, dan dia ingin menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mengharuskan (mengilzam) orang lain dengan pendapat salah seorang ulama, baik dari pihak yang menjarh, atau dari pihak yang menta’dil.

Lalu dia menetapkan bahwa kaedah mendahulukan jarh terperinci atas ta’dil yang global adalah kaedah yang benar, kemudian pada penerapannya dia tidak menetapkan benarnya kaedah tersebut, karena seandainya kaedah ini benar, tentu dia akan sepakat terhadap pihak yang menjarh yang mereka ini adalah para ulama besar yang memiliki keahlian khusus dalam masalah ini dan mereka memiliki hujjah yang cukup ketika menjarh ahli bid’ah yang mereka jarh, hanya saja Ar-Ruhaily ketika menghadapi dalil-dalil para ulama dan hujjah mereka dalam menjarh orang-orang yang dijarh, dia berusaha menerapkan kaedah bahwa dalam masalah ijtihad tidak ada ilzam (pengharusan), karena semua pihak ulama, pihak yang menjarh ulama dan pihak yang menta’dil pun ulama.

Saya katakan kepada Ar-Ruhaily: Mana sikap murni mencari kebenaran dan mana sikap menilai perkataan ulama dengan kebenaran, serta mengambil perkataan yang sesuai dengan kebenaran, sama saja apakah kebenaran itu bersama pihak yang menjarh atau ada pada pihak yang menta’dil?! Intinya, Ar-Ruhaily telah bersikap kontradiksi dalam masalah ini dan menempuh jalan sendiri. Dan dalam hal ini dia melakukan seperti kelakuan Abul Hasan Al-Ma’riby, yang mana dia tidak menerapkan kaedah-kaedah para ulama ahli hadits pada banyak ahlul ahwa’ dan ahli bid’ah.

Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Abul Hasan memiliki pengetahuan tentang jarh wa ta’dil, tetapi dia menyelisihi ahli hadits dalam menerapkan kaedah-kaedahnya dengan menempuh jalan Adnan Ar’ur, Al-Ikhwan Al-Muslimun, dan Quthbiyun. Kemudian dia tidak menerapkannya terhadap banyak ahlul ahwa’ dan ahlul bathil, dan karena dia memusuhi Ahlus Sunnah maka dia tidak mengatakan untuk mendahulukan jarh terperinci atas ta’dil yang global dan tidak menerima jarh dari ulama yang terpercaya, walaupun tidak ditentang oleh ulama lain dengan tazkiyah pada orang yang dijarh tersebut.” (Jinaayatu Abil Hasan Alal Ushuulis Salafiyyah, hal. 3)

CATATAN KEDUA:

Ar-Ruhaily berkata: “Adapun jika ulama sepakat atau hampir sepakat untuk menta’dil seseorang dan menta’dil sebagian Ahlus Sunnah sebagaimana yang ini terjadi sekarang, kalau sekarang engkau perhatikan sebagian orang yang dibicarakan kesalahannya, seandainya engkau merujuk kepada mayoritas ulama, maka engkau tidak akan menjumpai para ulama tersebut mentabdi’ orang-orang yang sekarang ditabdi’, dan engkau akan menjumpai pihak yang mentabdi’ mungkin hanya satu atau dua orang saja, dan ini selalu terjadi sehingga menjadi kaedah yang umum bahwasanya dia mentabdi’ dalam keadaan para ulama yang lain tidak mentabdi’…”

Ar-Ruhaily pada ucapannya ini terjatuh pada bentuk merancukan permasalahan yang hal ini tidak tersamar oleh penuntut ilmu yang masih pemula, yang nampak bahwasanya dia sedang berbicara tentang gambaran tertentu yang terlintas di pikirannya, bukan membicarakan kaedah-kaedah ilmu ini. Dan ini nampak jelas dari ucapannya yang sangat jauh dari kaedah-kaedah para ulama dan penerapan mereka pada ilmu ini.

Dari ucapannya Ar-Ruhaily terjatuh pada perkara-perkara berikut:

Perkara pertama: Dia membagi masalah ini yaitu perbedaan dalam jarh wa ta’dil menjadi dua jenis:

1. Jika ulama berbeda pendapat dalam jarh wa ta’dil dan perkataan mereka bertentangan, pada jenis ini dia menetapkan bahwa ta’dil didahulukan jika pihak yang mentazkiyah memiliki keutamaan ilmu, wara’ dan senioritas, adapun pihak yang menjarh maka dilihat dulu perkataannya.

2. Ulama sepakat atau hampir sepakat untuk menta’dil seseorang dan menta’dil sebagian Ahlus Sunnah, pada jenis ini dia menetapkan untuk mengambil pendapat pihak yang menta’dil dan tidak menoleh kepada perkataan pihak yang menjarh, bahkan dia menganggap perkataan pihak yang menjarh yang menyelisihi mayoritas ulama adalah pendapat yang syadz (ganjil) sehingga tidak perlu melihat perkataannya.

Dari ucapannya bisa diambil dua kaedah:

Kaedah pertama: Jika mayoritas ulama sepakat untuk menta’dil seseorang maka perkataan mereka diambil dan tidak perlu menoleh kepada perkataan yang menyelisihi mereka, walaupun yang menyelisihi termasuk ulama dalam bidang ini.

Yang nampak bahwasanya Ar-Ruhaily menguatkan pendapat yang mensyaratkan jumlah dalam menta’dil, dan dia dalam hal tersebut menyelisihi pendapat jumhur ahli hadits.

Al-Khathib rahimahullah berkata:

“Pasal: Jika orang banyak menta’dil seseorang namun dia dijarh oleh pihak yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pihak yang menta’dil:
Yang dipegangi oleh jumhur ulama adalah bahwa hukum yang diberlakukan adalah yang berdasarkan jarh, dan mengamalkannya lebih tepat. Sekelompok ulama ada yang mengatakan: ‘Bahkan hukum yang berlaku adalah yang berdasarkan penilaian adil.’ Dan ini merupakan pendapat yang salah berdasarkan apa yang telah kami sebutkan bahwasanya pihak yang menjarh membenarkan pihak yang menta’dil pada ilmu yang nampak dan mereka mengatakan: ‘Kami memiliki tambahan ilmu yang tidak kalian ketahui tentang perkaranya yang tersembunyi.’ Kelompok ini beralasan bahwa banyaknya pihak yang menta’dil menguatkan keadaan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar yang mereka sampaikan, dan sedikitnya pihak yang menjarh melemahkan berita yang mereka sampaikan, dan ini adalah pendapat yang salah dan jauh dari orang yang salah paham, karena pihak yang menta’dil walaupun mereka banyak namun mereka tidak mengabarkan bahwa berita yang dikabarkan oleh pihak yang menjarh tidak ada, dan seandainya mereka mengabarkan seperti itu dengan mengatakan: ‘Kami bersaksi bahwa apa yang kalian ketahui ini tidak terjadi padanya.’ tentu dengan hal itu mereka keluar (tidak bisa –pent) menjadi ahli ta’dil atau jarh, karena hal itu merupakan persaksian berupa penafian sesuatu yang mungkin dan bisa saja terjadi, walaupun mereka (pihak yang menta’dil) tidak mengetahuinya, sehingga pendapat yang tetap (benar) adalah apa yang telah kami sebutkan.”
(Al-Kifayah hal. 107)

Ibnu Shalah rahimahullah berkata: “Jika terkumpul pada seseorang jarh dan ta’dil, maka jarh didahulukan, karena pihak yang menta’dil mengabarkan apa yang nampak dari keadaan orang tersebut, sedangkan pihak yang menjarh mengabarkan apa yang tidak diketahui oleh pihak penta’dil. Jika jumlah pihak yang menta’dil lebih banyak maka ada yang berpendapat bahwa ta’dil didahulukan. Namun pendapat yang benar –dan ini merupakan pendapat jumhur– adalah bahwasanya jarh didahulukan berdasarkan apa yang telah kami sebutkan, wallahu a’lam.”
(Uluumul Hadits hal. 110)

Az-Zarkasy rahimahullah berkata: “Yang benar adalah mendahulukan jarh berdasarkan apa yang telah kami sebutkan, maksudnya karena mendahulukan jarh mengandung tambahan ilmu yang tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil, dan itu sesuatu yang mungkin ada, sama saja apakah jumlah yang menta’dil lebih banyak atau lebih sedikit atau seimbang. Jadi seandainya ada satu orang yang menjarh dan ada seratus orang yang menta’dil, tetap didahulukan perkataan satu orang tersebut.”
(An-Nukat 3/263)

Jadi jelas bahwa pendapat jumhur ulama menyatakan mendahulukan jarh atas ta’dil, walaupun jumlah yang menta’dil lebih banyak. Maka manakah dalil Ar-Ruhaily yang menunjukkan kaedah yang dia sebutkan ini?! Bahkan dia tidak menyebutkan siapakah para ulama yang sepakat dengan pendapatnya. Apakah para ulama sepakat atau hampir sepakat terhadap pendapatnya?! Ataukah pendapatnya termasuk pendapat yang syadz yang tidak dijadikan pegangan oleh ahli hadits?!

Kaedah kedua: Jika sebagian ulama menyelisihi pendapat mayoritas, maka dia menganggap pendapat mereka syadz dan tidak perlu menoleh kepadanya.

Ar-Ruhaily sering kali mendengung-dengungkan masalah ini dan dia ingin mengarahkan pandangan para penuntut ilmu bahwa perkataan sebagian ulama dalam jarh adalah pendapat yang syadz, dan ini merupakan kesalahan dan ketergelinciran yang besar.

Untuk menjelaskan kesalahan ini saya katakan:

1. Ar-Ruhaily tidak menjelaskan apa makna syadz (ganjil) menurutnya, apa definisinya, serta kapan dimutlakkan terhadap pendapat tertentu sebagai pendapat yang syadz. Yang dipahami dari ucapannya bahwa syadz menurut dia adalah: pendapat sebagian ulama yang menyelisihi pendapat mayoritas, sama saja sesuai dengan kebenaran atau menyelisihi kebenaran pada sikap menyelisihi tersebut. Jadi Ar-Ruhaily mensyaratkan pendapat syadz adalah menyelisihi pendapat mayoritas saja. Padahal ini termasuk kesalahan besar, dan saya tidak menyangka ada seorang ulama pun yang selamat dari sifat syadz menurut definisinya ini, karena tidak ada seorang ulama pun kecuali terkadang menyelisihi pendapat mayoritas ulama berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan pendapat yang dia pilih. Di samping itu makna syadz menurut ulama berbeda dengan apa yang diyakini oleh Ar-Ruhaily.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

“Syadz menurut bahasa yang kita diajak bicara dengannya adalah keluar dari rombongan. Dan lafazh ini ada di dalam syariat berdasarkan kesepakatan yang menunjukkan sebuah makna, namun para ulama berbeda pendapat pada makna tersebut. Sebagian ada yang mengatakan bahwa syadz adalah pendapat seseorang yang menyelisihi semua ulama. Pendapat ini telah kami jelaskan kebathilannya pada pembicaraan tentang ijma’ dalam kitab kami ini walhamdulillahi rabbil alamin. Hal itu karena seseorang jika menyelisihi jumhur namun kepada kebenaran maka dia terpuji, sedangkan syadz adalah tercela secara ijma’. Jadi mustahil seseorang terpuji dan tercela dari satu sisi pada waktu yang bersamaan, dan tidak mungkin sesuatu yang satu berkonskwensi pujian dan celaan secara bersamaan dalam satu waktu dan dari satu sisi. Ini merupakan dalil yang sifatnya aksiomatis. Semua shahabat dahulu berbeda pendapat dengan Abu Bakr dalam hal memerangi orang-orang yang murtad, jadi mereka ketika berbeda pendapat mereka semua salah dan beliau sendiri yang benar, sehingga pendapat ini adalah bathil.

Sebagian lain berpendapat: syadz adalah ulama sepakat atas sebuah perkara lalu salah seorang dari mereka keluar dari pendapat yang mereka semua memilihnya tersebut. Ini adalah pendapat Abu Sulaiman dan jumhur shahabat kami. Makna ini seandainya ada, maka ini adalah salah satu dari macam syadz dan bukan definisi syadz itu sendiri dan bukan pula uraiannya. Dan apa yang mereka sebutkan ini seandainya ada, maka merupakan syadz dan kekafiran secara bersamaan berdasarkan apa yang telah kami jelaskan pada pembicaraan tentang ijma’, bahwa siapa saja yang menyelisihi ijma’ dalam keadaan dia meyakini bahwa itu merupakan ijma’, maka dia kafir, di samping masuk pada hal yang tidak mungkin dan mustahil. Sebatas yang saya ketahui, kapan kita bisa meyakini adanya ijma’ seluruh ulama dalam satu majelis, lalu mereka sepakat kemudian salah seorang dari mereka menyelisihi mereka?! Dan pendapat yang kami pegangi –dan hanya Allah saja yang memberi taufik– adalah bahwasanya definisi syadz adalah sikap menyelisihi yang benar. Jadi siapa saja yang menyelisihi pendapat yang benar dalam sebuah masalah, maka dia terjatuh pada pendapat yang syadz, sama saja apakah yang menyelisihi itu adalah seluruh penduduk bumi beserta keluarga mereka atau sebagian mereka, sedangkan jamaah dan rombongan adalah pihak yang benar walaupun di muka bumi tidak ada dari mereka kecuali satu orang saja, dia adalah jamaah dan dia adalah rombongan.

Dahulu hanya Abu Bakr dan Khadijah radhiyallahu anhuma saja yang masuk Islam, ketika itu keduanya adalah jamaah, dan seluruh penduduk bumi selain keduanya dan selain Rasulullah shallallahu alaihi was sallam adalah orang-orang yang syadz dan suka berpecah belah. Dan pendapat yang kami pilih ini tidak ada perselisihan di antara para ulama padanya. Dan siapa saja yang menyelisihinya, pasti mau tidak mau dia akan kembali kepadanya dan mengakuinya. Dan kebenaran merupakan asal yang dengannya langit dan bumi tegak. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَإِنَّ السَّاعَةَ لَآتِيَةٌ فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ.

“Dan Kami tidaklah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar, dan sesungguhnya Kiamat itu pasti akan datang, maka maafkanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Hijr: 85)

Jadi jika kebenaran merupakan asal, maka kebathilan adalah sikap keluar dan sesuatu yang syadz darinya. Tatkala kebenaran tidak boleh menjadi sesuatu yang dianggap syadz dan tidak ada selain kebenaran atau kebathilan, maka sah jika dikatakan bahwa yang syadz adalah kebathilan. Dan ini merupakan pembagian yang awalnya bersifat aksiomatis dan hujjah yang telak dan mencukupi, walhamdulillah.

Orang yang berpendapat bahwa syadz maknanya adalah satu orang menyelisihi jamaah ditanya:

“Bagaimana pendapatmu tentang dua orang yang menyelisihi jamaah?”

Jika dia menjawab: “Ini merupakan syadz.”

Dia ditanya lagi tentang tiga orang yang menyelisihi jamaah, lalu ditambah satu satu demikian seterusnya. Maka mau tidak mau hanya ada dua pilihan baginya: apakah dia akan mendapatkan jumlah tertentu yang dianggap syadz, atau apa yang melebihinya tidak dianggap syadz. Jadi dia akan membawa ucapan yang rusak tanpa landasan dalil sehingga dialah yang sesungguhnya terjatuh pada pendapat yang syadz atau ngeyel hingga keluar dari sesuatu yang masuk akal dan dari perkara yang disepakati oleh ummat, akhirnya mau tidak mau dia pun terjatuh pada sikap syadz yang sesungguhnya. Allah saja yang memberi taufik.”  (Al-Ihkaam Fii Ushulil Ahkaam, 5/82-83)

Berdasarkan perkataan Ibnu Hazm maka syadz ada dua jenis:

Jenis pertama: apa-apa yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, dan yang dimaksud adalah yang penyelisihannya terang dan jelas, yaitu yang tidak memiliki sandaran yang shahih bagi pendapatnya yang menyelisihi dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan ini adalah yang dimutlakkan pada sebagai pendapat yang lemah yang tidak perlu menoleh kepadanya.

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Perbedaan pendapat ada yang memiliki bagian untuk diperhatikan dan ada yang tidak memiliki bagian untuk diperhatikan, dan ada jenis ketiga yang dikenal sebagai pendapat yang lemah, oleh karena inilah pada pendapat yang ketiga ini tidak perlu menoleh kepadanya dan tidak ada nilainya.”

Jadi setiap perbedaan pendapat yang memiliki bagian untuk diperhatikan maka tidak disebut syadz, walaupun menyelisihi mayoritas ulama.

Jenis kedua: Apa yang menyelisihi ijma’ yang meyakinkan, bukan ijma’ yang sifatnya masih dugaan atau yang diklaim.

Berdasarkan hal ini maka mungkin untuk dikatakan bahwa pendapat syadz adalah: yang tidak memiliki pendapat yang mencocokinya dari perkataan Salaf, bahkan muncul tanpa ada yang mendahuluinya.

Siapa saja yang menelusuri perkataan ulama, dia akan mendapati mereka menghukumi sebuah pendapat sebagai pendapat yang syadz jika menyelisihi dalil-dalil shahih dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta ijma’ para ulama, atau menyelisihi dalil-dalil yang jelas dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta pendapat jumhur ulama, wallahu a’lam.

2. Dipahami dari ucapan Ar-Ruhaily bahwa makna syadz adalah siapa saja yang darinya sering berulang muncul jarh atau tabdi’, yaitu dari ucapannya: “Dan engkau akan menjumpai pihak yang mentabdi’ mungkin hanya satu atau dua orang saja, dan ini selalu terjadi sehingga menjadi kaedah yang umum bahwasanya dia mentabdi’ dalam keadaan para ulama yang lain tidak mentabdi’…”

Jadi dia menjadikan kaedah dalam menilai pendapat yang syadz adalah seorang ulama yang darinya sering berulang muncul jarh atau tabdi’ yang menyelisihi mayoritas ulama.

Ar-Ruhaily terjatuh pada kesalahan fatal dari sisi teori dan penerapannya:

Adapun dari sisi teori yaitu bagaimana dia bisa memvonis pendapat ulama yang darinya sering berulang muncul jarh atau tabdi’ sebagai pendapat yang syadz atau dia telah melakukan tindakan yang syadz?! Jadi kalau menurut ucapan Ar-Ruhaily ini maka dia akan memvonis mayoritas imam jarh wa ta’dil sebagai orang-orang syadz dalam menetapkan hukum mereka, karena para imam tersebut hanya menilai seorang rawi berdasarkan sebab-sebab yang memenuhi syarat dalam jarh wa ta’dil menurut mereka dan mereka tidak menoleh kepada pendapat yang lain, padahal secara asal mereka berbicara berdasarkan ilmu disertai sikap wara’.

Jadi berdasarkan ucapan Ar-Ruhaily kita akan memvonis Syu’bah, Ibnul Qaththan, Ibnu Mahdy, Malik, Ibnul Madiny, Abu Hatim, Abu Zur’ah dan yang lainnya telah melakukan tindakan syadz atau perkataan mereka syadz, dan ini merupakan kengawuran fatal dari Ar-Ruhaily.

Hanyalah dihukumi syadz bagi siapa yang melemahkan orang yang masyhur keadilannya dan terkenal tsiqahnya, seperti yang menilai lemah terhadap Malik, Asy-Syafi’iy dan Ahmad bin Hanbal. Juga seperti yang menilai lemah terhadap Asy-Syaikh Ibnu Baz, Al-Albany dan Ibnu Utsaimin di masa ini.

Adapun dari sisi penerapan, siapakah satu atau dua ulama yang mentabdi’ Ahlus Sunnah dan menyelisihi para ulama?! Jika yang dia maksud adalah Asy-Syaikh Rabi’ maka sungguh –demi Allah– ini termasuk kezhaliman. Jadi siapakah Ahlus Sunnah yang ditabdi’ oleh Asy-Syaikh Rabi’?! Apakah Sayyid Quthub atau Hasan Al-Banna atau Abdurrahman Abdul Khaliq atau Al-Ghazaly atau Ar’ur atau Al-Ma’riby?!

Mana buktinya, ataukah semua itu hanya tuduhan tanpa dalil dan bukti yang benar?! Wallahul musta’an.

Ar-Ruhaily telah terjatuh pada sikap kontradiksi yang aneh dengan menilai Asy-Syaikh Rabi’ atau sebagian ulama yang dikenal dengan kelurusan akidah dan manhaj serta mengerti keadaan manusia di masa ini sebagai orang-orang yang melakukan tindakan syadz atau keras dalam menghukumi orang-orang tertentu dan dia mencela tindakan syadz yang dituduhkan ini.

Padahal dia sendiri menetapkan bahwa siapa yang tidak mentabdi’ Jahm bin Shafwan dia boleh diambil ilmunya dan boleh belajar tauhid kepadanya. Dia juga tidak menghukumi orang yang tidak mentabdi’ Jahm bin Shafwan minimalnya dengan syadz, bahkan dia menganggapnya termasuk ulama yang boleh belajar tauhid kepadanya. Jadi mana sikap adil yang dia klaim itu?!

3. Menyandarkan sifat syadz terhadap ucapan-ucapan Ar-Ruhaily lebih pantas dibandingkan perkataan ulama lain, hal itu karena dia ucapan-ucapan yang lemah menurut para ulama dan sebagiannya bathil.

Diantaranya adalah mendahulukan ta’dil atas jarh terperinci, dan pendapat ini tidak ada yang mengatakannya kecuali sebagian ahli ilmu ushul yang ucapan mereka tidak teranggap dalam ilmu hadits. Adapun ulama hadits dan ahli musthalah maka mereka sepakat untuk mendahulukan jarh terperinci atas ta’dil, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al-Khathib di dalam Al-Kifayah.
Sedangkan yang termasuk ucapan Ar-Ruhaily yang bathil adalah siapa yang tidak mentabdi’ Jahm bin Shafwan dia boleh diambil ilmunya dan boleh belajar tauhid kepadanya, padahal ulama sepakat mengkafirkan Jahmiyah.

Ar-Ruhaily berkata dalam mejelisnya bersama Masayikh di Kuwait yang terekam dan tersebar di situs kulalsalafiyen:

“Seandainya ada seseorang yang tidak mentadi’ Jahm bin Shafwan datang kepadamu namun dia menguasai kitab Al-Ushuluts Tsalatsah lalu engkau mengatakan: ‘Jangan belajar kepadanya karena dia tidak mentabdi’ Jahm.’ Saya akan katakan kepadanya: ‘Belajarlah kepadanya!’ Jika dia menjawab: ‘Syaikh, dia ini tidak mentabdi’ ahli bid’ah.’ Maka saya buat contoh baginya dengan saya katakan: ‘Dengar, seandainya ada seseorang tidak mentabdi’ Jahm bin Shafwan, namun dia memiliki ilmu dan kebaikan, ambillah ilmu yang ada padanya dan tinggalkan sikapnya yang tidak mentabdi’ Jahm bin Shafwan!”

Perhatikan perkataan Al-Imam Ahmad yang dinukil oleh Adz-Dzahaby di dalam Taarikhul Islam 4/367:

“Al-Marrudzy berkata di dalam kitab Al-Qashash: Hasan bin Al-Bazzar dan Abu Nashr bin Abdul Majid serta yang lainnya ingin mendatangkan kitab Al-Mudallisun yang ditulis oleh Al-Karabisy yang di dalamnya dia mencela Al-A’masy dan Sulaiman At-Taimy. Maka saya pergi kepadanya pada tahun 234 H lalu saya katakan: ‘Sesungguhnya kitabmu ini ada yang ingin menunjukkannya kepada Abu Abdillah (Al-Imam Ahmad –pent), maka tampakkanlah bahwa engkau telah menyesalinya!’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya Abu Abdillah adalah orang yang saleh, yang semisal dengan beliau akan mendapatkan taufik untuk sesuai dengan yang benar. Saya rela kitabku ditunjukkan kepada beliau. Abu Tsaur telah memintaku untuk menghapus kitab tersebut, tetapi saya menolak.’ Maka kitab tersebut ditunjukkan kepada Abu Abdillah dalam keadaan beliau tidak mengetahui itu tulisan siapa. Maka orang-orang pun mengetahui berbagai kesesatan dari kitab tersebut dan sebuah tempat yang padanya terdapat celaan terhadap Al-A’masy, di dalamnya juga disebutkan: ‘Jika kalian menganggap bahwa Al-Hasan bin Shalih (bin Hayyi –pent) meyakini bolehnya memberontak, maka ini Ibnuz Zubair juga telah memberontak.’ Maka Abu Abdillah berkata: ‘Penulis ini ingin membela Al-Hasan bin Shalih dengan cara mencela Shahabat Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, dia juga mengumpulkan hadits-hadits Rafidhah di dalam kitab ini.’ Abu Nashr berkata: ‘Sesungguhnya para pemuda kita sering mendatangi penulis kitab ini.” Beliau berkata: “Kalau begitu peringatkan manusia dari bahayanya!’ (ini juga dalil yang membantah orang-orang yang mengharuskan menasehati sebelum tahdzir –pent). Kemudian terbongkarlah perkaranya hingga terdengar oleh Al-Karabisy. Maka sampailah kepada saya bahwa dia mengatakan: Saya mendengar Husain Ash-Shayigh berkata: Al-Karabisy mengatakan: ‘Sungguh saya akan mengatakan sebuah ucapan agar Ahmad bin Hanbal kafir karena menyelisihinya.’ Lalu dia mengatakan: ‘Lafazhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.’ Maka saya katakan kepada Abu Abdillah: ‘Sesungguhnya Al-Karabisy mengatakan: ‘Lafazhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.’ Dia juga mengatakan: ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah kalam (perkataan) Allah dan bukan makhluk dari semua sisi, hanya saja lafazhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk, dan barangsiapa tidak mengatakan: ‘Lafazhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk’ maka dia kafir.’ Maka Abu Abdillah berkata: ‘Bahkan dialah yang kafir, semoga Allah memeranginya, apa yang dikatakan oleh Jahmiyah selain ini?! Mereka mengatakan: ‘Kalam Allah.’ Kemudian mereka mengatakan: ‘Makhluk.’ Itu tidak ada manfaatnya karena tidaklah kebaikan ucapannya yang pertama kecuali telah dia batalkan ketika dia mengatakan ‘Lafazhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.’ Kemudian beliau berkata: ‘Allah tidak akan membiarkannya dalam keadaan dia mencela Tabi’in seperti Sulaiman Al-A’masy dan yang lainnya. Bisyr Al-Mirrisy mati lalu meninggalkan pengganti Husain Al-Karabisy.’ Kemudian beliau bertanya: ‘Bagaimana kabar Abu Tsaur, apakah dia menyetujui pendapatnya?’ Saya jawab: ‘Dia telah meninggalkannya.’ Beliau berkata: ‘Dia telah melakukan sesuatu yang tepat.’ Saya berkata: ‘Saya telah bertanya kepada Abu Tsaur tentang orang yang menyatakan: ‘Lafazhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.’ Abu Tsaur menjawab: ‘Dia mubtadi.’ Maka Abu Abdillah marah dan mengatakan: ‘Apa, mubtadi’, ini keyakinan Jahm itu sendiri, orang yang menggeluti ilmu kalam tidak akan beruntung.”

–selesai penuturan Al-Marrudzy–

Maka perhatikan perkataan Al-Imam Ahmad yang mana beliau tidak ridha dengan vonis mubtadi’ dari Abu Tsaur dan beliau marah serta menganggapnya sebagai sikap menganggap enteng.

Sedangkan sekarang Ar-Ruhaily datang dan menetapkan bahwa boleh belajar tauhid kepada orang yang tidak mentabdi’ Jahm bin Shafwan. Yang lebih mengherankan lagi adalah karena dia professor di dalam bidang akidah, wallahul musta’an.

Maka katakanlah dengan jujur, siapa yang lebih pantas dianggap syadz?! Apakah orang yang membantah ahli bid’ah dan membela As-Sunnah dan Ahlus Sunnah?! Ataukah orang yang membela ahli bid’ah dengan dalih sikap adil serta membantah ulama Ahlus Sunnah, bahkan membantu ahli bid’ah memerangi ulama dengan dalih menolak kezhaliman dan alasan lain?!

CATATAN KETIGA:

Ar-Ruhaily berkata: “Dan sesungguhnya Ahlus Sunnah sekarang ditabdi’ dan dicela, padahal mereka memiliki jasa yang jelas dan terang. Para ulama dan penuntut ilmu yang memiliki jasa besar di luar negeri ini dan di dalamnya –semoga Allah menjadikan mereka bermanfaat– mereka ditabdi’ hanya karena semata-mata terjatuh pada kesalahan atau sampai dengan cara mencari-cari alasan. Maka orang yang seperti ini tidak perlu didengar ucapannya, tetapi hal ini dirujuk kepada ulama besar. Jika mereka berpendapat yang mengharuskan untuk menyalahkan atau mentabdi’, maka kita mengikuti ulama kita.”

Catatan:

Pertama: Siapa Ahlus Sunnah yang mereka sekarang ditabdi’ dan dicela?!

Ar-Ruhaily menyebutkan secara umum tanpa menjelaskan, sehingga urusannya mungkin tertuju pada siapa saja yang mengaku dia termasuk Ahlus Sunnah. Jadi bisa saja Sayyid Quthub dan Hasan Al-Banna termasuk Ahlus Sunnah menurut Ar-Ruhaily. Bisa juga Muhammad Al-Ghazaly dan Al-Qaradhawy termasuk Ahlus Sunnah menurutnya. Atau Abdurrahman Abdul Khaliq, Al-Ma’riby, Ar’ur, Al-Halaby, dan Muhammad Hassan termasuk Ahlus Sunnah menurutnya.

Maka wajib atasnya untuk menyebutkan nama-nama mereka dengan jelas agar diketahui apakah benar mereka itu termasuk Ahlus Sunnah atau bukan. Demikian juga agar diketahui apa sebenarnya yang membuat mereka dicela dan apa sebab-sebab celaan tersebut. Ar-Ruhaily menyebutkan secara umum dan tidak menjelaskan serta membiarkan perkaranya bisa ditujukan kepada siapa saja yang mengaku bahwa dirinya termasuk Ahlus Sunnah, padahal semua pihak mengklaim bahwa mereka termasuk Ahlus Sunnah.

Kedua: Ar-Ruhaily mengikuti manhaj muwazanah yang bid’ah itu dalam membela orang-orang yang dia anggap termasuk Ahlus Sunnah, hal itu dengan penilaiannya bahwa mereka memiliki jasa yang jelas dan terang dan bahwasanya mereka adalah ulama dan penuntut ilmu.

Ini termasuk alasan-alasan yang bathil yang digunakan sebagai tameng oleh siapa saja yang ingin membela salah seorang ahli bid’ah.

Maka yang wajib atas Ar-Ruhaily adalah menolak jarh dari mereka yang telah disebutkan oleh para ulama dengan menunjukkan bukti bahwa mereka benar-benar termasuk Ahlus Sunnah, bukan semata-mata klaim tanpa bukti.

Kemudian saya katakan kepadanya: Manakah usaha mereka dalam menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan membelanya, dan mana usaha mereka dalam membantah ahli bid’ah dan mentahdzir mereka?!

Bahkan sesungguhnya usaha mereka yang sebenarnya adalah melancarkan perang terhadap ulama Salafiyun, mentahdzir, membatah serta menuduh para ulama tersebut dengan sifat yang paling buruk dan paling jelek. Dan usaha mereka yang sebenarnya adalah membela tokoh-tokoh mereka dari ahli bid’ah serta membela kaedah-kaedah dan perbuatan bid’ah mereka.

Seandainya Ar-Ruhaily memperhatikan keadaan mereka, niscaya dia akan mengetahui bahwa mereka sangat jauh sekali dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan dari kaedah-kaedah agung para ulama. Dan siapa saja yang memperhatikan keadaan mereka, pasti mengetahui bahwa mereka menampakkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah sebentar saja, kemudian tatkala mereka telah dikenal oleh orang-orang awam dan telah menguasai hati mereka, maka mereka pun menampakkan penyelisihan mereka terhadap manhaj yang agung ini, bahkan mereka menampakkan permusuhan terhadapnya dan terhadap orang-orang yang berpegang teguh dengannya. Contoh dari itu semua sangat banyak sekali.

 

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.

Ditulis oleh: Abu Umar Abdul Basith

Sumber artikel:
www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=133506

© 1445 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks