Jika Komplek Pemakaman Telah Penuh, Maka Tidak Boleh Lagi Memakamkan Di Sana

JIKA KOMPLEK PEMAKAMAN TELAH PENUH MAKA TIDAK BOLEH LAGI MEMAKAMKAN DI SANA

Asy-Syaikh Shalih bin Al-Fauzan hafizhahullah

الْحَمْدُ للهِ وَبَعْدُ

Saya telah membaca sebuah makalah di surat kabar Madinah tertanggal 20 November 2013 dengan judul “Baqi’ Kesempatan Terakhir” yang ditulis oleh Abdullah Al-Jamily. Pada makalah tersebut terdapat kalimat yang membutuhkan untuk diluruskan, diantaranya:

1. Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi was sallam akan memberi syafa’at pada hari kiamat nanti bagi 70 ribu orang yang sebagian mereka adalah orang-orang yang dimakamkan di Baqi’.

Ucapan ini membutuhkan dalil. Memang syafa’at Nabi shallallahu alaihi was sallam benar adanya dan hal itu bagi umat beliau yang tidak menyekutukan Allah sedikitpun. Hanya saja penentuan bilangan tertentu (di sini dengan memasukkan orang-orang yang dimakamkan di Baqi’ pent) atau jumlah tertentu bagi yang mendapatkan syafa’at, ini membutuhkan dalil yang shahih. Kalau tidak, maka hal itu merupakan sikap berbicara atas nama Allah tanpa ilmu, dan itu merupakan keharaman terbesar.

2. Penulis mengatakan: “Area Baqi’ telah menyempit dan sudah sangat sulit untuk bisa dimakamkan di sana. Dan telah banyak warga kota Madinah yang menulis surat kepada saya sebagai bentuk pengaduan dan berharap agar ada proyek perluasan Baqi’ Al-Gharqad. Sebenarnya kondisi sekarang dan di masa yang akan datang mengharuskan hal tersebut.”

Dia juga mengatakan: “Itu adalah surat yang dibebankan oleh sekelompok warga kota Madinah An-Nabawiyyah kepada saya.”

Saya katakan kepada penulis dan selainnya: Yang sesuai dengan syari’at adalah jika sebuah komplek pemakaman telah sempit dan padanya tidak tersisa lagi tempat untuk memakamkan, maka tempat tersebut dipagari, ditutup, dan tidak boleh lagi memakamkan di sana. Lalu mencari tempat lain yang baru yang digunakan hanya khusus untuk memakamkan orang yang meninggal. Bumi Allah sangat luas, dan berapa banyak Shahabat dan Salaf dimakamkan di luar Baqi’. Yang menjadi tolak ukur adalah amal, dan Allah Jalla wa Alaa berfirman:

وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ.

“Dan seorang jiwa tidak mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)

Jadi seorang muslim dimakamkan bersama kaum Muslimin yang lain di mana saja di bumi ini. Dan tidak boleh bersikap ghuluw atau berlebihan dalam meyakini keutamaan sebuah pemakaman atau tempat atau seseorang, karena hal ini merupakan sarana yang akan menyeret kepada perbuatan syririk. Siapa yang telah dimakamkan di sebuah tempat, maka dia lebih berhak di tempat tersebut. Dia tidak boleh dikeluarkan darinya dan juga tidak boleh memakamkan orang lain bersamanya dalam satu liang, kecuali jika di sana ada kebutuhan yang sifatnya darurat yang tidak ada solusi lainnya. Adapun di sini maka sifatnya belum darurat, karena tanah di Madinah masih luas dan daratan sekitarnya juga masih lapang, walhamdulillah. Jadi masih cukup luas untuk membuat komplek pekuburan baru untuk memakamkan orang-orang yang meninggal.

Kemudian sesungguhnya bertepatan dengan diselenggarakannya seminar ilmiyah di Universitas Islam Madinah yang bertemakan “Hak-Hak Nabi shallallahu alaihi was sallam Terhadap Manusia” saya berharap kepada moderator seminar ini untuk menjelaskan bahwa termasuk hak Nabi shallallahu alaihi was sallam yang paling besar adalah mengikuti dan meneladani beliau.

Allah Ta’ala berfirman:

فَالَّذِيْنَ آمَنُوْا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ.

“Maka orang-orang yang beriman kepada beliau, membelanya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersama beliau, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 157)

Juga firman-Nya:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا.

“Dan apa saja yang diberikan oleh Rasul maka ambillah, sedangkan apa saja yang beliau larang maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Juga firman-Nya:

وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوْا.

“Dan jika kalian mentaati beliau, pasti kalian mendapatkan hidayah.” (QS. An-Nuur: 54)

Termasuk bentuk ketaatan dan sikap mengikuti beliau adalah meninggalkan sikap berlebihan dalam mengagungkan bekas-bekas peninggalan beliau berupa tempat-tempat di Madinah dan di tempat lain, dan tidak mencari-carinya serta tidak menghidupkannya kembali atau melestarikannya. Kecuali tempat-tempat yang memang disyariatkan untuk mengunjunginya dan mengerjakan shalat padanya, seperti Masjid Nabawi dan Masjid Quba’. Adapun selainnya yang tidak memiliki dalil pensyariatannya dari Nabi shallallahu alaihi was sallam untuk diziyarahi maka ditinggalkan.

Adapun komplek pekuburan maka diziyarahi untuk mengucapkan salam untuk orang-orang yang meninggal, mendoakan mereka, dan mengambil nasehat dan pelajaran darinya. Seperti ziyarah ke Baqi’ dan kuburan para syuhada’ di Uhud.

Jadi agama dan kebaikan itu dengan cara mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, bukan dengan mengada-adakan bid’ah. Semoga Allah memberi taufik kepada semuanya agar bisa mentaati-Nya dan mengamalkan syari’at-Nya, serta mengikuti Nabi-Nya dan mentaati beliau.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.

Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Anggota Hai’ah Kibarul Ulama

Sumber artikel:
http://alfawzan.af.org.sa/-node/15055

Alih Bahasa: Abu Almass
Ahad, 19 Dzulqa’dah 1435 H

© 1445 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks