Jangan Meremehkan Satu Kebaikan

Jangan Meremehkan Satu KebaikanJANGAN MEREMEHKAN SATU KEBAIKANPUN

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Idral Harits

Barangkali kita sering menganggap bahwa perbuatan yang bernilai adalah yang besar dan berat, sebagaimana diriwayatkan:

الْأَجْرُ عَلَى قَدْرِ الْمَشَقَّةِ

“Pahala itu tergantung kepada tingkat kesulitan.”

Kelirunya kalau kita jadi sering meremehkan perbuatan-perbuatan kecil. Padahal, sekecil apa pun, jika dikerjakan dengan ikhlas nilainya berlipat ganda di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلاَ يَصْعَدُ إِلَى اللهِ إِلاَّ الطَّيِّبُ، فَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهَا كمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ

“Siapa yang bersedekah dengan separuh kurma dari usaha yang baik (halal)—dan tidak akan naik kepada Allah melainkan yang baik—sesungguhnya Allah akan menerimanya dengan Kanan-Nya, kemudian mengembangkannya untuk pemiliknya seperti salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya hingga menjadi sebesar gunung.” [1]

Berapa banyak amalan yang sedikit namun berlipat ganda nilainya di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebaliknya, banyak pula amalan besar yang akhirnya menjadi debu yang beterbangan. Terlebih jika diselingi dengan syirik, besar atau kecil.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar: 65)

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahfi: 103—104)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعْمَتَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدتُ. قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ

Sesungguhnya orang yang mula-mula diputuskan perkaranya adalah; (pertama), seseorang yang mati syahid, dihadapkan (kepada Allah) lalu diperlihatkan kepadanya nikmatnya, dan dia mengenalnya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat dengan kenikmatan itu?”

Orang itu berkata, “Saya berperang demi Engkau hingga mati syahid.”

Allah berkata, “Engkau dusta. Sebetulnya engkau berperang agar dikatakan pemberani, dan itu sudah diucapkan (orang),” lalu dia dibawa dalam keadaan diseret di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka.

(Yang kedua) orang yang menuntut ilmu (syar’i), mengajarkannya, dan membaca Al-Qur’an. Dia dibawa ke hadapan Allah, diperlihatkan nikmatnya, lalu dia mengenalnya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat padanya?”

“Saya mencari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an karena Engkau,” jawabnya.

Kata Allah, “Kamu dusta. Sebetulnya engkau mencari ilmu agar dikatakan alim dan membaca Al-Qur’an agar digelari qari`. Sungguh, semua itu sudah diucapkan (orang).” Dia pun dibawa dalam keadaan diseret di atas mukanya lalu dilemparkan ke dalam neraka.

(Yang ketiga), orang yang telah diberi kecukupan dan harta oleh Allah, dia dihadapkan kepada Allah, dan diperlihatkan nikmatnya, lalu dia mengenalnya. Allah bertanya, “Apa yang engkau perbuat padanya?”

“Tidak saya biarkan satu jalan yang Engkau cintai saya berinfak padanya, melainkan saya melakukannya karena Engkau,” katanya.
Allah berkata, “Kamu dusta. Sebetulnya kamu berbuat demikian agar dikatakan dermawan, dan itu sudah diucapkan (orang),” lalu dia diseret di atas mukanya hingga dilemparkan ke dalam neraka. [2]

Lihatlah betapa sia-sia amalan mereka. Perbuatan mulia dan besar yang mereka kerjakan, ternyata berujung di neraka.

Di antara Faedah Tauhid

Tauhid, yakni keikhlasan, demikian tinggi dan penting dalam hidup seorang manusia. Terlebih lagi bagi seorang mukmin. Sampai pun dosa yang besar sekalipun, lebur dengan adanya tauhid dan keikhlasan yang murni dalam hati seseorang.

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Hai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menghadap-Ku tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, sungguh, Aku pasti datangkan kepadamu ampunan sepenuh itu pula.”

Kisah berikut ini adalah salah satu buah tauhid dan keikhlasan dalam diri seseorang. Hal itu, karena tidak mungkin perbuatan ringan seperti yang akan diceritakan di sini membuahkan hasil begitu besar, yaitu ampunan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (az-Zumar: 7)

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ

“Ketika seekor anjing berputar-putar di sekeliling sebuah sumur, dalam keadaan dia hampir mati kehausan. Tiba-tiba, dia terlihat oleh seorang baghiy (pelacur) di kalangan Bani Israil. Kemudian wanita itu melepas sepatunya lalu memberi minum anjing tersebut. Karena itu, dia diampuni oleh Allah.” [3]

Di siang terik itu, tanah dan batu bagai tungku api raksasa. Ia membakar semua yang di atasnya. Seekor anjing, berjalan tertatih-tatih sambil menjulurkan lidahnya. Namun, itu bukan sekadar kebiasaannya.

Semangat hidupnya seolah terbangkit ketika mencium bau air yang segar. Dia pun berjalan mengitari sebuah sumur yang ada di tanah sunyi itu, mencari jalan untuk meminum airnya. Tentu saja tidak mungkin. Air itu jauh di dasar sumur.

Akhirnya, anjing itu hanya berputar-putar di sekelilingnya. Bagaimana caranya agar dia dapat minum? Adakah jalan untuk menuruni sumur itu? Berkali-kali dia mengitari sumur itu dengan rasa panik karena kehausan. Apakah dia akan mati di tepi sumur itu?

Jangan dikira dia sekadar berusaha. Anjing juga makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala, yang malah lebih mulia dari kebanyakan makhluk yang berpakaian. Anjing juga hamba-hamba Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan, ada yang lebih taat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala daripada sebagian orang yang bersorban.

Pernah dinukil dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Anjing yang tepercaya lebih baik daripada manusia yang khianat.”

Itulah seekor anjing. Dia juga bertasbih, beribadah, berdoa dengan cara yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala bagi mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka….” (al-Isra: 44)

Sambil berputar-putar dia tetap berdoa dengan cara yang hanya dimengerti oleh Penciptanya l. Keadaan darurat yang dialami anjing itu sudah merupakan ungkapan permohonan sendiri.

Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang kepada hamba-hamba-Nya, siapa pun dia, makhluk apa pun dia. Apa pun pekerjaannya, dan bagaimanapun statusnya.

Semua yang ada di bumi dan di langit, Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengatur rezeki mereka. Walaupun seekor anjing, Allah Subhanahu wa ta’ala tetap memerhatikan kebutuhannya.

Tak berapa lama, lewatlah seorang wanita Bani Israil. Wanita ini dikenal sebagai baghiy (pelacur). Dari kejauhan, dia melihat seekor anjing berputar-putar di sebuah sumur. Ada apa dengan anjing tersebut? Mengapa dia berputar-putar di sekeliling sumur itu? Apakah makanannya terjatuh ke dalam sumur itu? Atau ada anjing lain yang terjatuh ke dalamnya? Ada apa?

Akan tetapi, karena dia juga kehausan, dia pun melangkah menuju sumur itu. Ternyata, itulah sumur satu-satunya di jalan yang sunyi itu. Semakin dekat, wanita itu baru mengerti kalau anjing itu ternyata hampir mati kehausan.

Wanita itu melihat-lihat adakah sesuatu yang dapat dipakai untuk mengambil air di dalam sumur tersebut? Ternyata tidak ada. Akhirnya, dia nekat menuruni sumur itu sambil membawa sepatunya untuk mengambil air.

Tak lama, wanita itu keluar dari dalam sumur sambil menenteng sepatunya yang berisi air. Setelah itu dia meminumkannya kepada anjing itu. Tidak diceritakan berapa kali dia naik turun mengambil air. Paling tidak dengan hanya sebuah sepatu, tentu tidak cukup menghilangkan haus anjing itu.

Dengan telaten dia meminumkannya kepada anjing tersebut sementara dia sendiri juga kehausan. Tak lama anjing itu pun segar kembali.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mengampuninya. Hanya karena memberi minum seekor anjing, wanita itu diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Padahal, pekerjaannya selama ini bukanlah pekerjaan yang mulia. Dosa besar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, serta jalan yang buruk.” (al-Isra: 32)

Tentu saja, semua ini didasari oleh keimanannya yang murni, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu di atas. Kalau tidak, belum tentu semua baghiy akan memperoleh ampunan hanya karena memberi minum seekor anjing. Renungkan kembali hadits tentang tiga orang yang dilemparkan ke dalam neraka pertama kali.

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala memelihara keikhlasan itu dalam hati kita sampai kita menghadap-Nya. Amin.

Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1. HR. al-Bukhari (2/134) (1410) dan Muslim (3/85) (1014) (64).

2. HR. Muslim (1905).

3. HR. al-Bukhari (4/216 [2467]) dan Muslim (2245).

————————————————

Sumber: Majalah Asy Syariah

© 1445 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks