Ilmu dan Akhlak Pemiliknya

Ilmu Dan Akhlak PemiliknyaILMU DAN AKHLAK PEMILIKNYA

Nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz

Ulama adalah pewaris para nabi. Mereka adalah pemimpin manusia sepeninggal para nabi. Mereka membimbing manusia kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, memberi arahan dan mengajari manusia tentang agama mereka. Sehingga akhlak para ulama ini demikian agung, sifat-sifat mereka demikian terpuji. Mereka adalah ulama yang haq, ulama petunjuk dan pengganti para rasul. Mereka memiliki sifat sangat takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, senantiasa merasakan pengawasan-Nya, mengagungkan perintah dan larangan-Nya sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya.

Para ulama memiliki akhlak yang paling tinggi karena mereka menempuh jalan para rasul. Mereka berjalan di atas manhaj dan jalan para rasul dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala serta memberi peringatan kepada umat dari sebab-sebab datangnya kemurkaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah orang yang bersegera mengamalkan kebaikan yang mereka ketahui, baik berupa ucapan ataupun perbuatan. Dan sebaliknya, mereka amat jauh dari kejelekan yang mereka ketahui, baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan. Mereka adalah qudwah dan uswah setelah para nabi dalam akhlak mereka yang agung, sifat mereka yang terpuji dan amal mereka yang mulia. Mereka berilmu dan beramal serta mengarahkan para murid mereka kepada akhlak yang tinggi dan jalan yang terbaik.

Telah lewat penjelasan kami bahwa ilmu itu adalah ucapan Allah Subhanahu wa ta’ala dan ucapan Rasul-Nya. Inilah ilmu syar’i, ilmu tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta ilmu yang mendukung untuk memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wajib bagi ahlul ilmi untuk berpegang dengan asas yang agung ini, mengajak manusia kepadanya, mengarahkan murid-murid mereka kepadanya. Dan hendaklah yang selalu menjadi tujuan adalah ilmu tentang apa yang diucapkan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, mengamalkannya, mengarahkan dan membimbing manusia kepadanya.

Dalam berdakwah, ahlul ilmi tidak boleh berpecah belah dan berselisih. Tidak boleh pula berdakwah kepada kelompok/partai si Fulan, atau kepada pendapat si Fulan atau kepada pikiran si Allan. Namun yang wajib, dakwah itu hanyalah satu yaitu dakwah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan dakwah kepada madzhab Fulan, atau kepada dakwah si Allan, atau kepada partai tertentu atau pendapat tertentu. Wajib bagi muslimin untuk menempuh jalan yang satu, tujuan yang satu yaitu mengikuti kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama dalam madzhab yang empat dan selainnya, maka yang wajib adalah mengambil pendapat yang paling dekat kepada kebenaran, yaitu pendapat yang paling dekat kepada ucapan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya atau yang lebih dekat kepada kandungan kaidah-kaidah syar’iyyah.

Para imam mujtahid, tujuan mereka hanyalah demikian itu. Para sahabat sebelum mereka pun demikian. Para sahabat yang berposisi sebagai para imam/pemimpin sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan orang-orang yang paling tahu tentang Allah Subhanahu wa ta’ala, paling utama di kalangan manusia, paling sempurna ilmu dan akhlak mereka. Mereka pun pernah berbeda pendapat dalam sebagian masalah. Akan tetapi dakwah mereka tetap satu, jalan mereka hanya satu. Mereka mengajak kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula orang-orang yang datang setelah para sahabat dari kalangan tabi’in dan atba’ut tabi’in, seperti Al-Imam Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selain mereka dari kalangan para imam yang memberi petunjuk seperti Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Ishaq bin Rahuyah dan yang semisal mereka dari kalangan ahlul ilmi dan iman rahimahumullah.

Dakwah mereka satu yaitu dakwah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melarang para pengikut mereka untuk taqlid terhadap mereka. Mereka mengatakan, “Ambillah dari mana kami mengambil.” Yang mereka maksudkan adalah ambillah dari Kitabullah dan As-Sunnah.

Siapa yang tidak mengetahui al-haq, wajib baginya untuk bertanya kepada ahlul ilmu yang dikenal memiliki ilmu dan keutamaan, memiliki akidah dan perjalanan hidup yang baik. Ia mengambil ilmu dari mereka disertai dengan sikap memuliakan ulama dan mengetahui kadar/keutamaan mereka, mendoakan agar mereka mendapat tambahan taufik dan pahala yang besar.

Semua itu dikarenakan para ulama adalah orang-orang terdepan dalam melakukan kebaikan yang besar. Mereka telah mengajarkan dan memberi bimbingan serta menjelaskan jalan kebenaran kepada manusia. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala merahmati mereka…

Kita harus tahu kadar dan keutamaan mereka, mendoakan rahmah bagi mereka, mencontoh mereka dalam semangat berilmu dan berdakwah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala serta mendahulukan ucapan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya daripada yang selainnya. Kita harus bersabar di atas semua itu, bersegera dalam beramal shalih dan mencontoh mereka dalam keutamaan yang agung. Akan tetapi kita tidak boleh sama sekali ta’ashshub/fanatik buta kepada salah seorang dari mereka atau kita menganggap ucapan/pendapatnya adalah kebenaran mutlak. Tapi yang semestinya kita katakan: “Setiap orang terkadang salah, terkadang benar.” Yang benar hanyalah apa yang mencocoki ucapan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Bila ada perselisihan/beda pendapat maka wajib mengembalikannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah.” (An-Nisa`: 59)

Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

“Apa saja perkara yang kalian berselisih di dalamnya maka hukumnya dikembalikan kepada Allah.” (Asy-Syura: 10)

Tidak boleh sama sekali fanatik buta dengan si Zaid misalnya atau si ‘Amr. Tidak boleh pula kepada pendapat si Fulan atau si Allan. Sebagaimana tidak boleh fanatik buta kepada partai A atau jalan B, atau jamaah C. Sikap fanatik buta seperti ini termasuk kesalahan terkini di mana mayoritas manusia jatuh ke dalamnya.

Ketahuilah, wajib bagi kaum muslimin menempuh satu tujuan yaitu mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam segala keadaan, baik dalam keadaan sempit ataupun lapang, ketika safar (bepergian ke luar kota) ataupun mukim (berdiam/tidak safar). Bila seseorang mendapatkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, hendaklah ia melihat pendapat-pendapat mereka dan mengikuti pendapat yang mencocoki dalil, tanpa ta’ashshub kepada seorang pun.

Seorang alim dikenali dengan kesabaran dan takwanya, rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bersegeranya kepada perkara yang diwajibkan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya serta menjauhnya dari perkara yang Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya haramkan.

Demikianlah seharusnya keberadaan seorang alim, baik ia berprofesi sebagai guru, hakim, ataupun juru dakwah (da’i yang mengajak manusia kepada Allah Subhanahu wa ta’ala). Wajib baginya untuk menjadi qudwah dalam kebaikan, uswah dalam keshalihan. Ia wajib beramal dengan ilmunya, bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala di mana saja ia berada. Ia wajib membimbing manusia kepada kebaikan, sehingga dapat menjadi qudwah yang shalih bagi murid-muridnya, keluarganya, tetangganya dan selain mereka dari orang-orang yang mengenalnya. Mereka mencontohnya dalam ucapan dan amalannya yang mencocoki syariat Allah Subhanahu wa ta’ala.

Seorang penuntut ilmu wajib untuk berhati-hati sekali dari sikap menyepelekan perkara yang Allah Subhanahu wa ta’ala wajibkan atau menggampang-gampangkan dirinya ketika jatuh dalam perkara yang Allah Subhanahu wa ta’ala haramkan. Karena penuntut ilmu menjadi contoh bagi yang lain. Bila ia bersikap demikian, maka orang yang lain pun akan bersikap sama.

Sepantasnya pula bagi penuntut ilmu untuk bersemangat menjalankan amalan sunnah agar ia terbiasa dengan amalan tersebut dan manusia pun dapat mencontohnya. Sebaliknya, ia harus menjauh dari perkara yang makruh dan syubhat hingga manusia tidak mencontohnya.

Penuntut ilmu itu mulia keberadaannya. Mereka adalah orang pilihan di alam ini. Mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang tidak dipikul oleh selain mereka.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang kepemimpinannya.” [1]

Orang yang berilmu adalah para pembimbing dan pemberi petunjuk. Maka wajib bagi mereka memerhatikan orang-orang yang di bawah bimbingannya. Hendaklah mereka takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan membimbing manusia kepada sebab-sebab keselamatan serta memperingatkan mereka dari sebab-sebab kebinasaan.

Hendaklah mereka menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya di antara mereka, istiqamah di atas agama Allah Subhanahu wa ta’ala, rindu kepada-Nya, kepada surga dan kemuliaan-Nya. Sebaliknya, mereka berhati-hati dari api neraka karena neraka adalah seburuk-buruk tempat kembali.

Ilmu-ilmu selain ilmu syar’i seperti pertambangan, pertanian, perikanan dan seluruh industri yang bermanfaat, terkadang bisa menjadi wajib bila memang dibutuhkan oleh kaum muslimin, dan hukumnya fardhu kifayah. Hendaklah pemerintah memerhatikan perkara yang memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin, membantu orang-orang yang menempuh bidang tersebut untuk memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin dan sebagai persiapan menghadapi musuh-musuh mereka. Amal seorang hamba akan menjadi ibadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bila murni/tulus niatnya, ikhlas karena Allah Subhanahu wa ta’ala. Namun bila tanpa niat, maka terhitung perkara mubah.

Adapun ilmu syar’i, haruslah dituntut oleh setiap orang (fardhu ‘ain). Karena Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan bertakwa pada-Nya. Sementara, tidak ada jalan untuk beribadah dan bertakwa kecuali dengan ilmu syar’i, ilmu Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Seharusnya penuntut ilmu tafaqquh (mendalami) agamanya, mempelajari hukum-hukum Allah, mengenali akidah salafiyyah yang shahihah yang dipegangi oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Berupa iman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, iman kepada nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, membiarkannya sebagaimana datangnya sesuai dengan sisi yang pantas bagi kemuliaan Allah Subhanahu wa ta’ala tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil [2], tidak dikurangi dan tidak ditambah.

Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar memberikan taufik kepada para penuntut ilmu dan agar Allah Subhanahu wa ta’ala membantu mereka dalam perkara yang mendatangkan ridha-Nya, agar Dia memberi petunjuk kepada para hamba dan memperbaiki keadaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Shalawat dan salam semoga tertuju kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula untuk keluarga beliau dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan.

[Dinukil oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-Ilmu wa Akhlaqu Ahlihi, Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah]

Sumber:  Majalah Asy Syariah

————————————————

Catatan Kaki:

  1. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim dalam Shahih keduanya. -pen
  2. Lihat makna dari semua kata ini dalam pembahasan Tauhid Asma dan Sifat dalam rubrik Kajian Utama dalam Majalah Syariah Vol. III/No. 30. –pen

© 1445 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks