Tanya: Apakah benar disyariatkan untuk banyak bertakbir mulai dari awal bulan Dzulhijjah hingga akhir hari-hari tasyriq? Apa yang dimaksud dengan takbir mutlak dan muqayyad serta pelaksanaannya?
Jawab:
Takbir mutlak adalah bertakbir kapan saja selain seusai shalat dan di mana saja selain tempat yang terlarang (toilet/WC). Takbir muqayyad adalah bertakbir setelah shalat lima waktu (termasuk shalat Jum’at).
Bertakbir di malam dan hari ‘Idul Adha (10 Dzulhijjah), hal itu adalah ijma’ (kesepakatan) ulama. [1]
Adapun disyariatkan takbir mutlak pada tanggal 1—9 Dzulhijjah adalah menurut mazhab Ahmad. Pendapat ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, dan al-‘Utsaimin. Yang masyhur pada mazhab Hanbali, disyariatkan bertakbir meskipun seseorang tidak melihat hewan-hewan kurban yang akan disembelih.
Syariat bertakbir dari malam 1—10 Dzulhijjah, hal itu masuk dalam keumuman makna dua dalil berikut.
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Supaya mereka (jamaah haji) menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan berzikir membesarkan nama Allah pada hari-hari yang telah diketahui (ditentukan) atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa hewan-hewan ternak (penyembelihan hewan kurban).” (al-Hajj: 27—28)
Menurut salah satu tafsiran ayat ini, hari-hari yang telah diketahui (ditentukan) tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini adalah tafsiran Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هِذِهِ اْلأَيَّامِ -يَعْنِي أَيَّامَ اْلعَشْرِ-. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيءٍ.
“Tidak ada hari-hari yang amal saleh di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini—yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, begitu pula halnya dibandingkan dengan jihad di jalan Allah?”
Beliau menjawab, “Begitu pula halnya dibandingkan dengan jihad di jalan Allah, selain seorang mujahid yang keluar berjihad di jalan Allah dengan jiwa raga dan hartanya, lalu dia tidak kembali dengan sesuatu pun darinya (gugur sebagai syahid).” (HR. al-Bukhari, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lainnya) [2]
Bertakbir termasuk amalan saleh yang dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala yang masuk dalam keumuman makna hadits ini. [3]
Keumuman makna dua dalil ini dikuatkan dengan dua dalil khusus berikut.
1. Hadits Muhammad bin Abi Bakr ats-Tsaqafi
Ia bertanya kepada Anas radhiyallahu ‘anhu ketika bersama dengannya dari Mina ke Arafah, “Apa amalan kalian pada hari ini bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam?”
Anas radhiyallahu ‘anhu menjawab,
كَانَ يُلَبِّي الْمُلَبِّي فَلاَ يُنْكَرُ عَلَيْهِ، وَيُكَبِّرُ الْمُكَبِّرُ فَلاَ يُنْكَرُ عَلَيْهِ.
“Ada yang membaca talbiyah dan tidak diingkari. Ada pula yang bertakbir dan tidak diingkari.” (Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bertakbir pada hari-hari itu.
2. Atsar Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma
كَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِيْ أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا.
“Adalah Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah g keluar ke pasar pada sepuluh hari awal Dzulhijjah dengan bertakbir, dan kaum muslimin ikut bertakbir bersama keduanya.” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al-’Idain, pada Bab “Fadhlu al-’Amal fi Ayyam at-Tasyriq” secara ta’liq/tanpa penyebutan sanad dengan shigat periwayatan yang tegas) [4]
Takbir mutlak ini terus berlanjut hingga hari-hari tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) dan berakhir dengan tenggelamnya matahari di akhir hari tasyriq. Ini menurut pendapat yang rajih yang dipilih Ibnu Qudamah, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin. Dalilnya adalah:
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Dan hendaklah kalian berzikir (menyebut Allah) pada hari-hari berbilang.” (al-Baqarah: 203)
Hari-hari berbilang adalah hari-hari tasyriq.
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ.
“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (HR. Muslim no. 1141 dari Nubaisyah al-Hudzali radhiyallahu ‘anhu)
Terdapat beberapa atsar yang mendukung pendapat ini. Atsar-atsar itu disebutkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq (tanpa penyebutan sanad) dengan shigat periwayatan yang tegas, yaitu:
1. Atsar ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ عُمَرُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ، فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ اْلأَسْوَاقِ، حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا.
“Adalah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertakbir di kubahnya di Mina [5] hingga didengar oleh penghuni masjid, sehingga mereka dan kaum muslimin yang ada di pasar-pasar pun ikut bertakbir hingga Mina bergelora dengan takbiran.”
Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Atsar ini dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dengan sanad yang bersambung.”
2. Atsar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنًى تِلْكَ الْأَيَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ، وَعَلَى فِرَاشِهِ، وَفِي فُسْطَاطِهِ، وَمَجْلِسِهِ وَمَمْشَاهُ تِلْكَ الْأَيَّامَ جَمِيعًا.
“Adalah Ibnu ‘Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu [6]; bertakbir di belakang shalat-shalatnya, di atas kasurnya, di dalam kemahnya, di majelisnya (tempat duduknya), dan di jalan yang dilaluinya, pada hari-hari itu seluruhnya.”
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Atsar ini dikeluarkan dengan sanad yang bersambung oleh Ibnul Mundzir dan al-Faqihi dalam kitab Akhbar Makkah.”
Adapun takbir muqayyad (takbir terikat), terjadi silang pendapat di antara para ulama mengenai waktu pelaksanaannya. Yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa takbir muqayyad dimulai dari usai shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arafah) hingga diakhiri dengan takbir muqayyad seusai shalat ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Ini adalah mazhab al-Imam Ahmad, sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni dan al-Inshaf, yang dipilih oleh Syaikhul Islam, asy-Syaikh Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Ini pula salah satu pendapat asy-Syafi’i, yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, al-Baihaqi, dan an-Nawawi rahimahumullah, sebagaimana dalam al-Majmu’.
Terdapat beberapa atsar dari sahabat yang mendukung pendapat ini. Adapun hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini, tidak ada yang sahih. [7]
Dalam Fathul Bari (Kitab al-’Idain pada Bab “At-Takbir Ayyama Mina”), Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tidak ada hadits yang tsabit (tetap) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun atsar dari sahabat yang paling sahih dalam masalah ini adalah atsar ‘Ali dan atsar Ibnu Mas’ud bahwa (takbir muqayyad) dimulai dari subuh hari Arafah hingga akhir hari tasyriq.”
Lafadz Atsar ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sebagai berikut.
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَومَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ وَيُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ.
“Sesungguhnya ‘Ali pernah bertakbir seusai shalat subuh pada hari Arafah hingga shalat ashar pada akhir hari-hari tasyriq dan bertakbir seusai shalat ‘ashar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al-Hakim, dan al-Baihaqi)
Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu serupa dengan atsar ‘Ali, dikeluarkan oleh al-Hakim. Atsar yang serupa dari Ibni ‘Abbas juga dikeluarkan oleh al-Baihaqi. Ketiga atsar ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa’ (3/125).
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu juga melakukan takbir muqayyad di hari-hari tasyriq, sebagaimana pada atsar Ibnu ‘Umar yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (Kitab al-’Idain pada Bab “At-Takbir Ayyama Mina”) mengatakan, “Atsar-atsar yang disebutkan oleh al-Bukhari rahimahullah tersebut menunjukkan adanya takbir pada hari-hari tersebut (‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq) seusai shalat dan selainnya.
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama pada beberapa hal. Di antara mereka ada yang mengkhususkan takbir hanya di belakang shalat saja (tidak ada takbir mutlak). Ada juga yang mengkhususkan takbir muqayyad hanya di belakang shalat lima waktu, tidak di belakang shalat sunnah. Ada yang mengkhususkannya untuk kaum lelaki saja dan tidak bagi kaum wanita, di belakang shalat lima waktu secara berjamaah dan tidak bagi yang shalat sendiri, yang dilaksanakan pada waktunya dan tidak untuk yang diqadha (di luar waktu), yang bermukim dan tidak bagi musafir, penduduk perkotaan dan tidak bagi penduduk perdesaan. Tampaknya, yang dipilih oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah adalah bahwa syariat bertakbir mencakup semuanya, dan atsar-atsar yang disebutkannya mendukungnya.” [8]
Atsar-atsar tersebut adalah:
1. Atsar ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang telah kami sebutkan sebelumnya.
2. Atsar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang juga telah kami sebutkan sebelumnya.
3. Atsar Maimunah radhiyallahu ‘anha,
كَانَتْ مَيْمُونَةُ تُكَبِّرُ يَوْمَ النَّحْرِ
“Adalah Maimunah bertakbir pada Hari Raya ‘Idul Kurban.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tidak menemukan siapa yang mengeluarkannya dengan sanad yang bersambung)
4. Atsar:
كُنَّ النِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ خَلْفَ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزَ لَيَالِيَ التَّشْرِيقِ مَعَ الرِّجَالِ فِيْ الْمَسْجِدِ
“Adalah kaum muslimat bertakbir di belakang Aban bin ‘Utsman [9] dan di belakang ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz pada malam-malam tasyriq bersama kaum muslimin di masjid.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dikeluarkan dengan sanad yang bersambung oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam Kitab al-’Idain.”
Masalah ini seperti kata al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Majmu’ ar-Rasail (16/263), “Semestinya diketahui bahwa tidak ada nash yang sahih dan gamblang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menetapkan adanya takbir muqayyad. Yang ada adalah beberapa atsar dari sahabat dan ijtihad sebagian ulama. Maka dari itu, terdapat kelonggaran dalam masalah ini. Meskipun seseorang meninggalkannya sama sekali dan mencukupkan diri dengan zikir setelah shalat, hal itu tidak mengapa, karena semuanya merupakan zikir kepada Allah Subhanahu wata’ala.”
Kesimpulan
Tersimpulkan dari pembahasan di atas hal-hal berikut ini.
1. Takbir mutlak berlangsung mulai dari malam hari tanggal 1 Dzulhijjah dan berakhir dengan terbenamnya matahari 13 Dzulhijjah yang mengakhiri hari-hari tasyriq.
2. Takbir muqayyad berlangsung sejak usai shalat subuh hari Arafah 9 Dzulhijjah dan berakhir dengan takbir muqayyad seusai shalat ashar pada 13 Dzulhijjah.
Alhasil, sejak 1 Dzulhijjah hingga subuh 9 Dzulhijjah hanya terdapat takbir mutlak tanpa takbir muqayyad. Sejak usai shalat subuh 9 Dzulhijjah hingga 13 Dzulhijjah terdapat takbir mutlak dan takbir muqayyad. [10]
Adapun tata cara pelaksanaan takbir muqayyad di belakang shalat lima waktu (termasuk shalat Jum’at), terdapat beberapa pendapat, di antaranya:
1. Setelah imam salam, terlebih dahulu ia beristighfar dan membaca:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ …. الخ
Allahumma antas salam …. dst.
Setelah itu, ia bergeser dari arah kiblat kemudian bertakbir. Hal ini karena kedua zikir tersebut lebih melekat dengan shalat daripada takbir.
Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu ‘Utsaimin. Inilah pendapat terkuat, insya Allah Subhanahu wata’ala.
2. Setelah imam salam, ia langsung bertakbir dengan tetap menghadap ke kiblat. Setelah itu baru ia membaca zikir shalat tersebut.
3. Jika imam telah salam, ia langsung bergeser dari arah kiblat kemudian bertakbir. Setelah itu ia baru membaca zikir shalat tersebut. [11]
Inilah yang dapat kami terangkan dalam masalah ini, wallahu a’lam.
Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi kita hidayah dan taufik untuk mengetahui al-haq serta mengamalkannya.
******************************
Catatan Kaki:
1. Lihat kitab al-Mughni (3/287), Syarhu Muslim lin-Nawawi (6/Kitab Shalatul ‘Idain pada Bab “Dzikri Ibahati Khuruji an-Nisa’ fil ‘Idain”), Majmu’ al-Fatawa (24/221), dan Tafsir Ibni Katsir (pada tafsir al-Baqarah: 185)
2. Lihat kitab Irwa’ al-Ghalil no. 953.
3. Pada sebagian jalan riwayat hadits ini ada tambahan lafadz:
فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ التَّهْلِيلَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّكْبِيرَ.
“Maka dari itu, perbanyaklah membaca tahlil, tahmid, dan takbir di hari-hari itu!”
Namun, tambahan riwayat ini dha’if (lemah), dinyatakan lemah oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (2/Kitab al-’Idain pada Bab “Fadhli al-’Amal fi Ayyam at-Tasyriq”) dan al-Muhaddits al-Albani rahimahullah dalam Dha’if at-Targhib wat Tarhib no. 735.
4 Ibnu Hajar tidak menemukan riwayat maushul (sanad yang bersambung) dalam periwayatan atsar ini. Al-Albani menyatakannya sahih dalam al-Irwa’ no. 651. Wallahu a’lam.
5 Yaitu hari ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq.
6 Yaitu hari ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq.
7 Adapun hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa seusai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat subuh di hari Arafah, beliau menghadap kepada para sahabat dan bertakbir hingga akhir hari tasyriq, tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali. Hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan lainnya, dihukumi dha’if jiddan (sangat lemah) oleh al-Albani. Pada sanadnya terdapat rawi bernama ‘Amr bin Syamr dari kalangan orang-orang yang rusak (binasa), haditsnya sangat lemah dan munkar (keliru/ganjil). Bahkan, ada yang menjarahnya sebagai penyeleweng dan pendusta. Selain itu, pada sanadnya ada Jabir al-Ju’fi yang juga lemah. Lihat al-Irwa’ no. 653.
8 Lihat kitab Fathul Bari (2/Kitab al-’Idain pada Bab “At-Takbir Ayyama Mina”).
9 Amir (gubernur) Madinah pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, sebagaimana dalam Fathul Bari.
10 Adapun pendapat yang mengatakan bahwa takbir mutlak hanya sampai imam selesai dari khutbah ‘Idul Adha dan setelahnya yang ada hanyalah takbir muqayyad, ini adalah pendapat yang marjuh (lemah).
Lihat kitab al-Mughni (3/291—292, 294) terbitan Dar ‘Alam al-Kutub, al-Majmu’ (5/39—45, 46—47), Majmu’ al-Fatawa (24/220, 225—228), Fathul Bari (2/Kitab al-’Idain pada Bab “Fadhli al-’Amal fi Ayyam at-Tasyriq” dan Bab “At-Takbir Ayyama Mina”), al-Inshaf (2/435—437), Majmu’ Fatawa Ibni Baz (13/18—19), asy-Syarh al-Mumti’ (5/215—216, 222) terbitan Muassasah Asam.
11 Lihat kitab al-Inshaf (2/437) dan asy-Syarh al-Mumti’ (5/216).
————————————————
Sumber: Majalah Asy Syariah