Apakah di Syaratkan Menasehati Sebelum Mentahdzir?

89-1

APAKAH DISYARATKAN MENASEHATI SEBELUM MENTAHDZIR

Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah

Pertanyaan: Ada pertanyaan pada pertemuan yang telah lalu, yaitu apakah nasehat merupakan syarat sebelum mentahdzir seseorang yang terjatuh pada kesalahan?

Jawaban:

Kita katakan –baarakallahu fiikum–: Ada kaedah syariat bahwa semua kesalahan itu tertolak dari siapapun orangnya, karena tidak ada seorang pun kecuali bisa diambil dan bisa ditolak perkataannya, kecuali Rasulullah shallallahu alaihi was sallam. Jadi kita harus mengagungkan kebenaran. Tinggal menasehati orang yang salah tersebut. Sebuah kesalahan memiliki dua keadaan:

1.  Kesalahan yang tersembunyi, tidak nampak dan tidak tersebar. Tidak diragukan lagi untuk jenis ini mensehatinya adalah lebih utama. Hanya saja bukan berarti bahwa sebuah ungkapan yang salah secara mutlak tidak boleh diungkap dengan tujuan untuk dibantah agar diketahui kebathilannya, karena terkadang ucapan tersebut telah tersebar. Di sini menasehati adalah lebih utama.

2.  Kesalahan tersebut telah nampak, tersebar, meluas dan ke mana-mana. Maka di sini benar-benar wajib atas siapa saja yang mengetahui kebenaran untuk membantah kebathilan dan juga membantah orang yang mengatakannya. Karena Allah memerintahkan kita untuk mengatakan yang benar dan tidak menyembunyikan kebenaran, jelas?!

Jika perkaranya demikian maka tinggal masalah menasehati antara engkau dengan dia, ini adalah masalah yang utama. Jadi kita menghadapi sebuah kesalahan yang wajib untuk dijelaskan, dan ada juga nasehat yang termasuk perkara afdhal untuk kita lakukan. Ada amalan yang afdhal dan ada amalan yang wajib. Maka tentu kita tidak akan melakukan amal yang afdhal ini untuk menggugurkan amal yang sifatnya wajib, jelas?!

Sebagian pihak menggunakan amal yang sifatnya afdhal untuk menggugurkan kewajiban, padahal kesalahannya telah tersebar. Ini merupakan kesalahan.

Al-Imam Qatadah mengatakan: “Seseorang jika melakukan kebid’ahan maka wajib untuk disebutkan agar diwaspadai.” Harus ada upaya menjelaskan kebenaran. Para nabi dan para rasul datang untuk menjelaskan kebenaran kepada hamba-hamba Allah, yaitu:

أَنِ اعْبُدُوْا اللهَ وَاجْتَنِبُوْا الطَّاغُوْتَ.

“Hendaklah kalian menyembah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

Jadi tauhid berdiri di atas dua pondasi, bukan penafian murni dan juga bukan penetapan murni, tetapi dia adalah penafian dan penetapan. Jadi padanya terdapat penjelasan kebenaran dan bantahan terhadap kebathilan. Kalimat “laa ilaha” ini merupakan bantahan terhadap ahli kebathilan yang menyembah selain Allah, dengan menjadikan berhala dan yang lainnya. Sedangkan kalimat “illallah” merupakan penetapan kebenaran. Kalimat ini mengandung kebenaran serta bantahan terhadap kebathilan. Demikian juga kalimat “Muhammad Rasulullah” mengandung penetapan kebenaran dan bantahan terhadap kebathilan. Yaitu penetapan kenabian dan kerasulan Muhammad shallallahu alaihi was sallam dan bahwasanya beliau adalah utusan Allah. Ini merupakan bentuk bantahan terhadap siapa saja yang mengingkari risalah atau kerasulan serta menyatakan bahwa itu adalah sesuatu yang bisa diusahakan dan demikian demikian. Dan juga merupakan penetapan kebenaran yaitu penetapan bahwa Nabi shallallahu alaihi was sallam adalah utusan Rabbul Alamin. Demikian juga mengandung bantahan terhadap siapa saja yang melampaui batas dalam memuliakan beliau hingga berdoa kepada beliau dan menjadikan beliau sebagai sesembahan selain Allah. Jadi kalimat tauhid tegak di atas prinsip menjelaskan kebenaran dan membantah kebathilan. Hal inilah yang dibawa oleh para nabi. Jelas ikhwah sekalian?!

Maka orang yang salah tersebut disikapi dengan lembut jika dia adalah seorang Ahlus Sunnah, dia disikapi dengan lembut di samping tetap membantah kesalahannya. Tetapi kalau dia menentang dengan sombong maka dijelaskan perkaranya bahwa dia telah salah dalam perkara tersebut.

لَيْسَ الكَريمُ عَلَى القَنا بِمُحَرَّمِ

Al-Imam Ali Ibnul Madiny menilai ayahnya sendiri sebagai perawi yang lemah, dan Abu Dawud melemahkan anaknya sendiri. Mereka tidak bersikap basa-basi atau takut kepada seorang pun dalam rangka menjalankan agama Allah, walaupun terhadap orang yang paling dekat sekalipun.

Perhatikanlah perkataan Al-Imam Al-Khathib rahimahullah (tentang sikap di atas –pent) di dalam kitab Syarfu Ashahabil Hadiits (hal. 65 terbitan Maktabah Ibnu Taimiyyah, Kairo –pent) dan selainnya. Tidak kemudian mengatakan: “Ini ayahku.” Tidak demikian, bahkan dijelaskan keadaannya dan diteliti. Jadi harus mengatakan: “Hati-hatilah terhadap perkataan si fulan.” Walaupun yang mengatakannya adalah si Zaid atau si Amr misalnya. Katakan pula: “Ini salah.” Jadi kembalikanlah orang yang salah tersebut kepada kebenaran dan yang lebih kita cintai adalah dengan dia kembali kepada kebenaran. Yaitu terasa lebih dingin bagi hati kita dengan kembalinya seseorang kepada kebenaran. Karena tidak ada permusuhan antara kita dengan kebenaran. Tetapi sikap terus-menerus di atas kebathilan wajib untuk diperingatkan darinya.

~Audio Download di Sini

Alih bahasa: Abu Almass
Jum’at, 14 Jumaadal Ula 1435 H

© 1445 / 2024 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.
Enable Notifications OK No thanks